Abuse of Power, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Kegagalan Pemetaan Birokrasi

Penulis: Setiyawan Hari P.

Salatiga, 30 januari 2025

Tulisan sebelumnya: Abuse of Power, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Kegagalan Pemetaan Disharmonisasi, Rumitisasi, Desinkronisasi Regulasi

-Iklan-

Melanjutkan tulisan sebelumnya dengan judul yang sama mari kita mulai masuk dalam berbagai penyebab kegagalan pemetaan disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi yang sering menjadi penyebab penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Namun sedikit penjelasan, bahwa tulisan ini bukan dimaksudkan untuk bersifat sok ilmiah, karena sejarah telah mencatat bahwa hampir dapat dikatakan seluruh studi ilmiah, diskusi ilmiah, naskah akademik dalam lima aspek, yaitu; perencanaan, penyusunan, pambahasan dan pengesahan serta penyebarluasan regulasi yang seluruhnya diklaim sangat ilmiah, telah terbukti fatal gagal dalam memetakan disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi yang mengakibatkan abuse of power, korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sangat tidak mungkin lahirnya regulasi di semua level tidak ada peran serta dari minimal alumnus civitas akademika diberbagai lembaga, baik eksekutif, yudikatif, legislative maupun lembaga akademis yang yang pasti pernah mencicipi dan mempunyai tradisi, kultur, system nilai, ide gagasan, norma dan perilaku ilmiah dalam merencanakan serta menyusun berbagai regulasi yang kemudian terbukti gagal dalam meminimalkan disharmonisasi, rumitisasi, dan desinkronisasi sebagai rahim penyalahgunaan kekuasaan. Saya sebagai kasta terendah dalam berwarga negara sangat memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas kegagalan tersebut.

Nasib kita memang fatal telah menikmati seluruh akibat kegagalan pemetaan tersebut di atas yang dipastikan akan sangat mempengaruhi seluruh aspek kehidupan berbangsa, bernegara, berhukum, bermasyarakat dan bersosial yang ujungnya adalah kenikmatan bermiskin-ria, bersengsara-ria dan berketidakadilan-ria. Sementara di ujung lain dari penikmat yang mengambil keuntungan dari disinkronisasi, rumitisasi, desinkronisasi dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan baik swasta sebagai user dari oknum berjamaah organisasi kekuasaan, hanya bisa mencicipi hidup bergelimpangan kemewahan, foya-foya, kaya raya, surga dunia yang bergaya jadi majikan-majikan dari hasil maling, meras, suap-menyuap dan berbagai nikmat atas longgarnya aturan kekuasaan.

Masih belajar dari sejarah, mulai dari hal yang mendasar dan paling sederhana, jangan-jangan istilah-istilah legal regulasi birokrasi kita terlalu mentereng setinggi langit yang dipakai oleh cerdik pandai dan pencipta regulasi tidak bisa dipahami oleh pelaku pejabat pembuat kebijakan oknum organisasi pemerintah yang berderet-deret meja? Kurang sederhana mungkin bahasanya, atau mungkin juga karena rendahnya kompetensi?

Berbusa-busa kita berbicara tentang istilah birokrasi kalau ternyata birokratnya tidak paham, nggak ada gunanya

2. Kegagalan Pemetaan Birokrasi

Izinkan saya kasta terendah berwarga negara ini mendefinisikan pemetaan birokrasi, yang tentu sangat tidak ilmiah. Menurut saya, Pemetaan Birokrasi adalah proses atau kegiatan representasi eksisting atau simulasi dari berbagai kebutuhan serta keperluan yang seharusnya juga dituangkan dalam redaksi dan bagan dari suatu area birokrasi termasuk di dalamnya kekuasaan dan kewenangan sebagai refleksi apa adanya tentang semua potensi birokrasi baik secara positif maupun negatif. Pemetaan ini seharusnya memberikan informasi lengkap, terukur, presisi dan pasti tentang detail keterlibatan kekuasaan dan kewenangan birokrasi di seluruh level secara jelas, menyeluruh, lengkap baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif yang dituangkan dalam sebuah produk terbuka untuk kepentingan siapapun dengan tujuan apapun. Anda cari definisi referensi ini gak bakalan ketemu.

Peta birokrasi ini harusnya dikeluarkan oleh lembaga yang representatif mempunyai sifat validatif terhadap keseluruhan refleksi detail birokrasi yang dapat dikoreksi atau direvisi secara berkala dalam menjawab tantangan birokrasi. Pemetaan ini juga tidak boleh bersifat parsial, namun lengkap harus disajikan secara terang benderang.

Peta ini dimaksudkan untuk dapat menjadi cermin manfaat, kegunaan, tugas, struktur, fungsi, komposisi, kompetensi dan seterusnya, sekaligus juga berisi potensi cara nyuri, cara maling, cara ngutip, cara jadi raja kecil, cara jadi pemeras, cara nilep, cara main mata, cara memperpanjang prosedur dan seterusnya.

Tetapi bagaimana kita bicara tentang kegagalan pemetaan birorasi? Ini jawabannya; setahu saya kegiatan pemetaan birokrasi tidak pernah dilakukan, oleh karena itu kegiatan pemetaan birokrasi tidak pernah gagal sebab memang tidak pernah dipetakan dan tidak pernah ada produk pemetaan birokrasi yang tervalidasi. Koreksi bila pernyataan saya salah, namun hati-hati koreksi anda bisa senjata yang bisa menyerang balik koreksi tersebut.

Jika uraian di atas terlalu sulit atau terlalu tidak popular karena menghambat berbagai kepentingan berkaitan dengan pundi-pundi emas di segala level, mari kita turunkan grade-nya; oke, apakah kita pernah mendengar di semua organisasi-organisasi pemerintahan mempunyai kewajiban atau diberi kewajiban untuk memetakan seluruh potensi baik positif atau negatif di lembaganya masing-masing? Jawabnya, minimal saya tidak pernah dengar instruksi atau perintah regulasi “setiap organisasi pemerintahan mempunyai kewajiban melakukan pemetaan birokrasi dan seluruh potensinya sesuai bidang organisasinya”, tentu dengan definisi pemetaan birokrasi seperti tersebut diatas.

Uraian di atas masih bersifat makro, untuk itu mari kita masuk dalam hal-hal yang bersifat kontraksi regulasi, yaitu; disharmonisasi, rumitisasi, dan desinkronisasi regulasi yang disengaja atau yang sangat kecil kemungkinan tidak disengaja.

Mulai masuk dalam pembahasan disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi, perlu diketahui sesungguhnya ada penghalang besar terhadap sistematika regulasi yang simple dan saling support, yaitu kepentingan politik di berbagai level, misalkan presiden mengangkat menteri yang tidak mempunyai kompetensi di bidang tugasnya, gubernur mengangkat kepala dinas yang tidak berkompeten atau bupati/walikota mengangkat kepala dinas yang tidak mempunyai kompetensi, hanya berdasarkan balas budi politik yang sekaligus ditumpangi kepentingan politik. Misalkan di balik kepentingan politik tersebut ternyata ada bandar pemenangan pemilu maka akan semakin parah terkait pengembalian cost politik tersebut yang dibebankan kepada misalkan kepala dinas tersebut. Belum lagi titipan kebijakan kepada kepala dinas oleh politikus makelar proyek, tapi jangan khawatir, pejabatnya masih kecipratan koq.

Contoh keterampilan inkompetensi misalkan; pernyataan dan kebijakan menteri yang berlawanan dengan peraturan menteri pada kementeriannya sendiri, atau kepala dinas yang membuat surat edaran yang kontradiktif terhadap regulasi di atasnya dan tidak ada payung hukumnya. Sebetulnya betapa lucunya jika Menteri tidak tahu peraturan menteri di kementeriannya sendiri atau kepala dinas yang menabrak regulasi perda atau permen yang berkaitan dengan bidang tugasnya dengan mengeluarkan kebijakan tertentu yang kontradiktif dengan regulasi di atasnya. Saya tidak mengerti apakah ini benar-benar karena ketidaktahuan atau pura-pura tidak tahu. Saya mau bilang inkompetensi koq nylekit tapi nyatanya diangkat menjadi pejabat, dibilang tidak tahu koq kebangetan.

Gambaran di atas menunjukkan pemetaan birokrasi dengan definisi tersebut yang telah tertulis diatas jelas sulit diwujudkan karena pemetaan tersebut jelas membuka dengan transparan tujuan regulasi dirancang sederhana, cepat dan murah. Oleh karena itu dibuatlah sistem kontraksi regulasi sebagai payung hukum agar menjadi rumit, mahal, bisa meras pakai tangan oknum LSM atau ormas, makin panjang prosedurnya, bikin pusing Masyarakat, bisa bergaya mirip kompeni didepan masyarakat sebagai pengguna yang berdaulat, yang akhirnya cuan masuk ke kantong dan sebagian bisa setoran ke pimpinan di atasnya sekaligus mengamankan jabatan lewat setoran politikus sebagai backing.

Pernyataan Mendagri beberapa hari lalu bahwa para pembantu kepala daerah sepenuhnya diserahkan kepada kebijakan kepala daerah tanpa pagar regulasi yang ketat, jelas sangat membuat nyaman scenario rancang bangun dishamonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi sebagai Rahim maraknya penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme. Tidak ada uji kompetensi kepada kepala dinas dan saya yakin Mendagri tidak memiliki pemetaan birokrasi seperti definisi diatas…. Enak tho bisa berkorup-ria yang dijamin oleh kebijakan atau regulasi???

Modusnya hampir sama bahkan di aparat penegakan hukum, apalagi dengan system pengawasan yang hampir seperti lelucon. Lha kalau pemetaannya saja tidak dikuasai ngawasinnya bagaimana?
(Bersambung)…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here