Adil dan Keadilan Masih Sebatas Kiasan

Penulis: Erika Ebener

Hari ini saya dimintai bantuan oleh seorang teman untuk menyelesaikan PR dia mengupas kata ADIL yang dia hubungkan dengan “Pro Justitia” yang kalau diartikan berarti “demi keadilan”. Yang pertama saya pahami dari apa yang dia ungkapkan adalah mengupas kata ‘adil’ dalam konteks hukum. Namun, mau dilihat dari sudut pandang apapun, kata ‘adil’, menurut saya tetap memiliki makna yang sama. Artinya, mau dilihat di sudut literasi bahasa percakapan ataupun bahasa hukum, kata adil berarti sama rata. Permasalahan muncul ketika kita membicarakan kata adil yang dihubungkan dengan “demi keadilan”. Karena kata adil dan keadilan memiliki arti dan makna yang berbeda.

Ketika saya lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘adil’ diartikan dengan tidak berat sebelah, sementara kata ‘keadilan’ diartikan sebagai kata sifat dari kata ‘adil’. Artinya kata ‘adil’ itu sendiri dipandang sebagai kata benda. KBBI mencontohkan kata keadilan pada kalimat : … (n)… sifat (perbuatan, perlakuan, dan sebagainya) yang adil: dia hanya mempertahankan hak dan ~ nya; Pemerintah menciptakan ~ bagi masyarakat;~ sosial kerja sama untuk menghasilkan masyarakat yang bersatu secara organis sehingga setiap anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan nyata untuk tumbuh dan belajar hidup pada kemampuan aslinya;

-Iklan-

Hhhmmm…, jadi ngga salah juga yah, kalau pada fakta lapangannya “adil” menjadi komoditi dagangan yang bisa diperjualbelikan. Karena secara literasi Bahasa Indonesia “adil” adalah kata benda, sedangkan “keadilan” pada fakta lapangannya baru dimaknai sebagai sebuah kiasan. Karena kalimat yang dicontohkan adalah kalimat yang pada fakta lapangannya mustahil untuk diwujudkan.

Kemudian teman saya melanjutkan diskusi ini dengan memunculkan pertanyaan :
Apa sih adil…?
Dimanakah letak adil..?
Kapan ada adil…?
Buat siapa adil…?
Mengapa ada kata adil…?
Siapa yang membuat keputusan adil…?

Kemudian teman saya bilang kalau dirinya tidak mau membahas kata adil dan keadilan hanya sebatas teori, dia ingin mengupas adil dan keadilan pada praktek di lapangan.

Untuk pertanyaannya, saya jawab begini:
Apa sih adil? Ini bicara arti dan makna (literasi).
Di manakah letak adil? Ini bicara kondisi.
Kapan ada adil? Ini bicara waktu.
Buat siapa adil? Ini bicara pihak yg berhak.
Mengapa ada kata adil ? Ini bicara situasi.
Siapa yang membuat keputusan adil? Ini bicara wewenang.

Tapi keinginan teman, untuk membahas adil dan keadilan pada praktek di lapangannya.

Saya bilang itu sama dengan membicarakan sesuatu yang ghoib atau sesuatu yang tidak ada tapi ada. Karena selama kata adil dan keadilan itu dimaknai sebagai kata kiasan, maka tidak akan ada yang namanya praktek di lapangan.

Jika bangsa Indonesia memaknai kata adil dan keadilan sebagai sebuah kata kerja, maka tujuan negara menciptakan bangsa yang adil dan makmur pun pasti sudah tercapai. Fakta bahwa bangsa Indonesia masih belum menjadi bangsa yang makmur, itu karena adil dan keadilan masih belum dimaknai sebagai kata kerja atau sesuatu yang harus dilakukan.

Lalu teman saya berargumen, “Sampai saat itu, adil itu baru saya temukan atau saya simpulkan pada tubuh manusia…, di dunia lho, ini”.

Dengan enteng saya bertanya, “Maksudnya jiwa dan raga?” yang disanggahnya bahwa jiwa dan raga adalah satu kesatuan. Sejujurnya saya tidak paham cara pandang teman saya itu, hingga saya merasa perlu menyatakan bahwa kunci dari kata adil adalah adanya 2 pihak.

Artinya bahwa adil dan keadilan akan lahir ketika ada 2 pihak atau lebih. Karena Ketika hanya ada satu pihak, maka tak perlu ada kata adil. Semuanya bisa diputuskan semau dia tanpa mempertimbangkan pihak lain.

Karena teman saya bicara soal adil pada diri sendiri, saya jadi tergelitik untuk bilang, “Bapak poligami deh. Terus buktikan apakah bapak bisa bersikap adil pada istri-istri bapak? Nanti kasih tahu saya…”.

Well, sorry sorry to say, yah…. Rasanya mencontoh nyatakan adil dan keadilan yang paling gampang itu cuma poligami. Karena persyaratan utama seorang laki-laki bisa berpoligami, selain izin dari istri pertama, adalah bisa bersikap adil. Jadi pas kan?

Tapi ternyata teman saya tidak bersedia untuk berpoligami…. Ha ha ha….

Sedianya sebagai rakyat Indonesia, kita berhak untuk mendapatkan adil dan keadilan. Namun pada fakta lapangannya, di Indonesia adil dan keadilan masih merupakan barang mahal yang untuk dimiliki harus diperjuangkan, bahkan dibeli.

Hanya jika dalam bentuk kiasan, kata adil dan keadilan bisa didapatkan dengan mudah diucapkan, dituliskan bahkan didiskusikan. Mungkin karena Indonesia adalah negara dengan penduduk yang beragama Islam terbanyak di dunia, makanya menjaga kata Adil hanya dimiliki Tuhan semata, Tuhan Yang Maha Adil. Sementara manusia menolak untuk diserahi kewajiban berlaku adil? Entahlah….

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here