Antara Aku, Kamu, dan Ibumu

Penulis: Dahono Prasetyo

“Jadi sudah berapa bulan kamu gak masuk kerja?” tanyaku membuka pembicaraan.

“Tanggal 20 besok jadi 3 bulan, Mas,” jawab lelaki yang duduk di sebelahku.

-Iklan-

Dia kawanku semasa sekolah. Kami berbeda kelas namun karena sama-sama terkenal bandel kita pun jadi akrab.

“Trus untuk biaya pengobatan ibu kamu dari mana?” tanyaku.

“Kalau kemarinnya sih dari uang simpananku kerja di proyek. Tapi belakangan ini sudah berubah jadi tanggungan hutang,” jawabnya datar.

“Maksudnya?”

“Ya uang simpanan habis jadinya ngutang ke sana ke mari, Mas.”

Sudah 3 bulan ibundanya tergolek sakit. Rumah sakit menyarankan berobat jalan. Sakit karena faktor usia lanjut bagi yang kurang mampu hanya bisa berharap dari doa dan pertolongan Tuhan. Ikhtiar medis butuh pengorbanan materi lebih jika mampu. Kawanku lebih memilih merawatnya sendiri di rumah. Istri dan anaknya yang tinggal di lain kota pun hanya bisa ikut mendoakan.

“Yo wis, aku pamit sik yo. Tetep contact kirim kabar saja. Nanti kalau aku pas ke Semarang lagi kasih kabar,” kalimat undur diriku sedikit menyisakan tarikan nafas.

Ngobrol ngalor ngidul yang terpaksa dibatasi suara pengeras di peron memberitahukan kereta yang akan kunaiki segera datang. Kami berpisah sederhana saja. Aku lumayan gelisah karena tak bisa memberinya solusi kenyataan yang sedang dijalaninya. Sekedar menguatkan hatinya saja, bahwa segala ujian datangnya dari Tuhan. Kita hanya menjalani sambil memohon kekuatan untuk tetap bertawaqal.

Dua minggu kemudian pesan SMS masuk di HPku.

“Gimana kabarnya, Mas? Bisa minta tolong sedikit gak?”

“Iya ada apa sob?” balasku sambil menyeruput kopi sore.

“Bisa bantu dana sedikit untuk malam ini mas? Saya sudah gak pegang uang sama sekali. Buat beli pampersnya ibu. Sudah 3 hari habis.”

Seketika kopi yang kuseruput terasa hambar. Membayangkan seorang wanita tua tergolek pasrah di tempat tidur dengan kotoran dan aroma tak sepantasnya. Ditemani anak lelakinya yang setia menemani di samping ranjang. Tak bisa berbuat apa apa.

“Tunggu nanti habis maghrib aku kabari ya. Nomer rekeningmu kirim ke sini,” balasku SMS sambil kikuk tak tahu harus berbuat apa.

Uang di dompet tinggal selembar Rp50 ribu untuk pegangan jalan ke kantor besok. Sore itu terasa menyesak dari kepala hingga ke dada.

Adzan maghrib pun berlalu tak juga kutemukan ide. Di laci meja komputer aku ingat masih ada beberapa buah buku. Seketika ruang kamar terasa terang benderang. Bergegas aku raih HP, aku tulis pesan untuk seseorang.

“Mas bro lagi sibuk gak? Jadi mau order buku saya yang jilid 2 gak? Buat iseng istri baca-baca di rumah saja. Saya tunggu kabarnya ya. Thks.”

Semenit dua menit hingga 10 menit tak kunjung kuterima balasan. Aku forward pesan yang sama ke lain nomer. Begitulah hingga 5 nomer sahabat terkirimi pesan promosi sales buku. Kamar yang tadi terasa benderang perlahan redup seiring penantian balasan yang tak kunjung aku terima satu pun. Aku lihat jam sudah mendekati waktu Isya’. Janjiku pada kawan masih menyisakan dilema.

“Sob, sabar ya, malam ini pasti aku transfer. Jagain saja ibu kamu,” tulis pesanku kepada kawan.

“Ya mas, saya tidak ke mana-mana, ini lagi menenangkan ibu. Dari tadi gelisah terus,” jawaban pesan aku baca.

Sebaris Istighfar aku ucap dalam hati, pelan-pelan, agar serangga pun gak mendengar aku sedang memohon ampun.

Beberapa menit kemudian layar HP-ku menyala pertanda ada pesan masuk.

“Halo mas bro, maaf telat balas. Buku masih ada? Kalau nggak repot besok kirim 1 ke rumah 1 lagi ke rumah mertua di Bandung. Alamatnya nanti aku kirim. Nomer rekening masih yang dulu kan? Sebentar lagi aku transfer.”

Mendadak ruangan kembali benderang. Ada malaikat pembagi rizki lewat di kamar ini. Sebentar, tapi cukup jadi penebal iman. Aku balas pesan itu dengan bertubi-tubi ucapkan terima kasih.

Selanjutnya bergegas ke ATM terdekat demi menunggu transfer masuk untuk kemudian transfer ke lain rekening.

“Sob, aku barusan transfer. Cukup buat beli stok pampers ibumu,” pesan singkat aku kirim.

Di seberang ATM aku lihat ada warkop. Rokok di saku masih setengah bungkus lagi. Mampir sebentar menikmati kopi yang rasanya pasti tak sehambar sore tadi.

Hari ini aku merasa beruntung masih diberi kesempatan untuk berbuat baik. Bersyukur diberiNya rejeki meski baru sebatas dicukupkan.

Dua hari berikutnya.

Pagi pagi sebelum sempat kusantap sarapan nasi uduk di meja, HP berbunyi tanda telepon masuk. Dari kawanku di Semarang.

“Mas, mohon doanya buat ibu ya. Kalau ibu ada salah merepotkan sampeyan mohon dimaafkan. Tadi sehabis subuh ibu dipanggil Gusti Allah,” suara kawanku di telpon bernada terbata-bata.

“Inna lillahi wa inna illiaihi roji’un. Yang tabah ya, sob. Jam berapa mau dimakamkan?” tanyaku ikutan campur haru.

“Insya Allah ba’da Dhuhur mas.”

“Yo wis, pokoknya mulai nanti malam sampai genap tujuh harinya, kamu jangan ke mana-mana. Ikut tahlil Yasinan jangan sampai putus 7 hari,” saranku padanya.

“Iya Mas. Trima kasih banyak support dan perhatiannya,” jawabnya di ujung telepon.

Seusai dia menutup telepon, segera aku telepon nomer ibuku di Jogja. Karena tiba-tiba aku kangen kabarnya, suaranya, nasihatnya.

Dan di malam ke tujuh setelah itu kawanku mengirim pesan di WA. Isinya gambar foto desain renovasi rumah. Awalnya aku tak nyambung sedikit pun dengan foto-foto yang jumlahnya lebih dari 10.

“Mas ada kabar baik. Barusan aku dapat proyek renovasi rumah. Lusa aku harus sampai ke Bandung. Itu desain yang harus aku kerjakan. Nilainya lumayan,” jelas kawanku dalam pesan di bawah deretan foto-foto.

Aku senyum sambil membalas pesannya.

“Syukurlah…, itu rejeki anak soleh namanya. Hikmah kesabaranmu merawat ibundamu almarhum. Hadiah puasa prihatinmu beberapa bulan. Aku ikut seneng, sob.”

Begitulah di bulan berikutnya dia mengirim foto gambar desain lain. Proyek datang bertubi-tubi seolah diguyurkan dari langit. Belum selesai dia mengerjakan satu lokasi, sudah menunggu proyek lain. Semuanya selalu dia kabarkan kepadaku. Aku pahami sebagai kuasa Tuhan dengan segala misterinya.

“Mas buku yang jilid 2 dulu masih ada stok nggak?” tanya kawanku pada suatu malam via telpon.

“Masih ada 20 biji kayaknya. Kok nanyain buku, bukannya dulu kamu sudah pernah aku kasih?”

“Iya, benerapa hari ini aku baca-baca lagi. Kalau boleh aku beli semuanya deh. Aku mau bagi ke temen-temenku. Sepertinya bagus untuk bingkisan hadiah,” jelasnya.

“Ya nggak papa kalau mau borong semua. Kapan mau dikirim?” Aku turuti permintaan lisannya sambil menghitung tumpukan sisa buku yang belum laku, memastikan jumlahnya.

“Besok juga boleh. Kirim ke alamat kantorku saja. Habis ini aku transfer uangnya sekalian ongkos kirimnya.”

Kalimat terakhirnya spontan membuat mataku mengembun. Tanggungan tunggakan listrik, uang les anak-anak dan cicilan motor beberapa hari ini membuatku pusing mana yang harus diselesaikan duluan. Malam ini semuanya teratasi, tanpa sengaja, tanpa kuduga.

Sederhana saja. Bahwa Tuhan Maha memberi apapun yang kita butuhkan, bukan apa pun yang kita inginkan.

Antara aku, kamu dan ibumu, kiranya jadi kenangan manis saat aku bisa menyelesaikan tulisan ini.

Depok Des 16

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here