Bom Nuklir, Takuttt…! Bah, Bom Kotor, Apa Pula?

Penulis: Togap Marpaung
Inspektur Keselamatan Radiasi yang Dipaksa Pensiun
Badan Pengawas Tenaga Nuklir

Pada tanggal 7 Maret 2022, media memberitakan Ukrania nyaris sudah membuat bom kotor berbasis plutonium, judul berita “Awas Perang Nuklir, Media Rusia Sebut Ukrania Bikin Bom Kotor”.

Judul berita mengenai bom kotor tetapi gambar yang disajikan adalah roket yang sedang meluncur. Gambar ini sangat menakutkan seolah-olah bom kotor dipabrikasi secara khusus yang wadahnya bagaikan rudal nuklir. Apakah memang pemimpin Ukrania sudah sekalap itu?

Penulis tergerak hatinya untuk memberi ulasan karena dalam pemberitaan tidak ada penjelasan mengenai bom kotor tersebut. Jika benar Ukrania menggunakan bom kotor, kebijakan Presiden Ukrania adalah tindakan seorang intruder yang malah dianggap teroris dari perspektif keamanan sumber radioaktif. Pemimpin negara-negara dunia harus komit menjaga kemanan sumber radioaktif dinyatakan dalam publikasi International Atomic Energy Agency (IAEA) sebagai lembaga pengawas nuklir di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selain bom nuklir ada pula bom kotor. Pertama kali dengar istilah bom kotor (dirty bomb) tidak kaget, hanya penasaran, ada apa gerangan? Oh, iya… ulah orang jahat supaya manusia celaka dan panik. Cerita penyalahgunaan sumber radioaktif terbuka yang mencoba mecelakaan orang lain sudah pernah dengar ketika mengikuti fellowship di Atomic Energy Control Board Kanada yang disponsori oleh IAEA pada tahun 1993. Nilai aktivitas sumber radioaktifnya kecil sehingga tidak berakibat parah.

Pengertian bom kotor adalah senjata radiologi spekulatif yang menggabungkan zat radioaktif secara sengaja dengan bahan peledak konvensional. Tujuan pembuatan bom kotor adalah tidak hanya mematikan orang tetapi juga menjadikan orang yang masih hidup menjadi sakit akibat radiasi. Juga daerah di sekitar kawasan ledakan bom terkontaminasi zat radioaktif berdampak pada kerugian ekonomi untuk membersihkan kawasan tersebut supaya bebas kontaminasi radioaktif.

Pengelolaan limbah radioaktif menghabiskan biaya besar bila sumber radioaktif yang digunakan mempunyai karakteristik yang mudah menyebar (dispersible) terbawa air bila turun hujan. Zat radioaktif ini adalah Cs-137, masih ingatkan kasus pembuangan limbah radioaktif Cs-137 di perumahan Batan Indah Serpong awal tahun 2000. Ratusan drum tanah dan rerumputan yang diangkut ke pusat pengelolaan limbah radioaktif milik Batan di Serpong sebagai upaya dekontaminasi agar daerah tersebut bebas dari bahaya radiasi.

  • Peran Pengawas Nuklir Dunia (IAEA)

Sejak serangan Sebelas September Dua Ribu Satu, hancur leburnya gedung kembar World Trade Center di New York Amerika yang merupakan kebanggaan rakyatnya, phobia rasa kecemasan dan ketakutan terhadap kelompok teroris yang menggunakan bom kotor mulai meningkat pesat sebagaimana berita media asing. Arti terorisme sesuai definisi Departemen Pertahanan Amerika Serikat, yaitu “penggunaan kekerasan yang tidak sah atau ancaman kekerasan yang melanggar hukum untuk menanamkan rasa takut; dimaksudkan untuk memaksa atau mengintimidasi pemerintah atau masyarakat dalam mengejar tujuan yang umumnya tujuan politik, agama, atau ideologis”.

Amerika Serikat dan Rusia merencanakan konferensi tiga hari untuk mempromosikan keamanan sumber radioaktif, dengan sesi yang berfokus pada pencegahan ancaman yang ditimbulkan oleh perangkat penyebaran radiologi, atau yang disebut “bom kotor”. Konferensi ini direncanakan minggu kedua bulan Maret 2003, di Istana Hofburg, Wina dan terbuka untuk semua negara anggota IAEA.

Organisasi Polisi Kriminal Internasional, Organisasi Pabean Dunia, Komisi Eropa dan Kantor Polisi Eropa juga telah diundang untuk bekerja sama. Direktur Jenderal IAEA, Dr. Mohamed El Baradei, mengatakan fokus utama akan lebih memperkuat kerangka kerja untuk keselamatan dan keamanan sumber radioaktif yang banyak digunakan di bidang kesehatan, industri dan penelitian. Tetapi kurangnya pengawasan atas ribuan sumber radioaktif di seluruh dunia memungkin teroris untuk menggunakannya menjadi bom kotor. Harus ada pengawasan yang kuat dari hulu sejak sumber radioaktif dibuat atau diimpor hingga dilimbahkan (hilir).

Topik utama yang dipertimbangkan untuk sesi konferensi meliputi:

  • Memulihkan dan mengamankan sumber radioaktif yang berisiko tinggi dan tidak diawasidengan baik;
  • Memperkuat kendali pengaturanjangka panjang atas sumber-sumber radioaktif;
  • Menghentikan perdagangan gelapdi perbatasan; dan
  • Merencanakan tanggap darurat radiologikyang timbul dari penggunaan sumber radioaktif yang berniat Menteri Energi AS Spencer Abraham menekankan pentingnya kerja sama global. “Kita semua rentan, jadi kita semua harus bekerja sama”.

Pada bulan Juni tahun2002, Amerika Serikat dan Rusia membentuk kelompok kerja tripartit tentang “Mengamankan dan Mengelola Sumber Radioaktif”. Kelompok ini mengembangkan strategi untuk menemukan, memulihkan, mengamankan, dan mendaur ulang sumber radioaktif tidak bertuan (orphan sources) di bekas Uni Soviet.

Peristiwa 11 September 2001 tersebut menginspirasi dan memicu negara maju maupun IAEA untuk memperhatikan aspek keamanan. IAEA menerbitkan Code of Conduct on the Safety and Security of Radioactive Source pada tahun 2004 dan Indonesia memgutus delegasinya turut berpartisipasi sebagai salah satu anggota IAEA menyusun Code of Conduct tersebut.

Code of Conduct Keamanan Sumber Radioaktif Publikasi IAEA

Kemudian pada tanggal 20-21 November 2013 diselenggaran Simulasi Latihan Bom kotor di Vienna Austria. Direktur Jenderal IAEA Yukiya Amano memberi pengarahan tentang perkembangan terbaru dalam skenario latihan, yang untuk pertama kalinya melibatkan ledakan perangkat penyebaran radiologik yang diakibatkan bom kotor.

  • Partisipasi Indonesia Aspek Keamanan Sumber Radioaktif

Sebagai kepatuhan terhadap komitmen Indonesia untuk mengawasi aspek keamanan sumber radioaktif terkait ancaman dari teroris maka terbitlah Peraturan Kepala BAPETEN No. 7 Tahun 2007 tentang Keamanan Sumber Radioaktif, yang koordinator penyusun adalah penulis. Isi dari peraturan tersebut, diantaranya mengatur persyaratan manajemen meliputi: (1) Organisasi Keamanan Sumber Radioaktif; (2) Program Keamanan Sumber Radioaktif dan/atau laporan verifikasi Keamanan Sumber Radioaktif; (3) Pemeriksaan Latar Belakang; (4) Sistem keamanan informasi; dan (5) Inventarisasi dan rekaman hasil Inventarisasi.

Sistem keamanan informasi Sumber Radioaktif harus menjamin informasi yang dapat membahayakan Keamanan Sumber Radioaktif tetap dijaga dan dikendalikan, mencakup : (1) lokasi Sumber Radioaktif pada saat tidak dioperasikan; dan (2) program Keamanan Sumber Radioaktif dan/atau laporan verifikasi Keamanan Sumber Radioaktif

Foto sebelah kiri (atas) adalah pada saat menyambut staf kedutaan Amerika Serikat yang turut berpartisipasi aktif dalam memberikan bantuan peralatan keamanan sumber radioaktif yang dipasang di bagian radiologi, instalasi radioterapi menggunakan sumber radioaktif cobalt (Co-60) RSUP Persahabatan Jakarta. Sedangkan foto sebelah kanan pada saat mengikuti Training of Trainer (TOT) dan menyiapkan Peraturan Kepala BAPETEN tentang Keamanan Sumber Radioaktif.

Terus terang, penulis tidak setuju jika dibuat persyaratan teknis yang sangat ketat penerapannya di bidang kesehatan dan industri hingga memastikan indikator kinerja (performance indicator) tiap peralatan yang dipasang, misalnya alarm dan sebagainya karena membutuhkan anggaran yang cukup besar untuk pemeliharaan. Kecuali anggaran disiapkan Amerika yang sepaket dengan bantuan peralatan yang diberi hibah cuma-cuma. Anggaran pun disipakan Amerika selama tiga tahun, setelah itu tidak tau lagi apakah peralatan keamanan sumber radioaktif tersebut masih berfungsi efektif. Lagi pula, aspek keselamatan adalah yang paling utama sedangkan potensi terjadinya pencurian sumber radioaktif yang terpasang tetap adalah nyaris tidak mungkin karena memerlukan peralatan, tenaga dan waktu yang lama.

Kasus Terkait Bom Kotor di Luar Negeri

  • Ada dua kasus bom kotor yang mengandung Cs-137, dan tidak ada yang diledakkan. Keduanya melibatkan Chechnya. Upaya teror radiologis pertama dilakukan pada November 1995 oleh sekelompok separatis Chechnya, yang mengubur Cs-137 yang dimasukkan ke dalambahan peledak di Taman Izmaylovsky di Moskow. Seorang pemimpin pemberontak Chechnya memberi tahu media, bom itu tidak pernah diaktifkan, dan insiden itu hanyalah aksi publisitas belaka.
  • Pada bulan Desember 1998, upaya kedua diumumkan oleh Dinas Keamanan Chechnya, yang menemukan sebuah wadah berisi zat Bom itu disembunyikan di dekat jalur kereta api di daerah pinggiran kota Argun, sepuluh mil sebelah timur ibu kota Chechnya, Grozny. Kelompok separatis Chechnya yang sama diduga terlibat.
  • Pada April 2009, Dinas Keamanan Ukraina mengumumkan penangkapan seorang legislator dan dua pengusaha dari Oblast Ternopil. Yang disita dalam operasi penyamaran itu adalah 3,7 kilogram dari apa yang diklaim oleh para tersangka selama penjualan sebagai Pu-239, yang sebagian besar digunakan dalam reaktor nuklir dan senjata nuklir.Tetapi berdasarkan temuan pemeriksaan para ahli, bukan Pu-239 tetapi amerisium (Am-241), zat radioaktif yang yang biasa digunakan untuk pembuatan detektor asap. Am-241 ini juga dapat digunakan dalam bom kotor. Para tersangka dilaporkan menginginkan mendapatkan uang sejumlah US$ 10 juta untuk zat radioaktif tersebut, yang menurut Dinas Keamanan diproduksi di Rusia selama era Uni Soviet dan diselundupkan ke Ukraina melalui negara tetangga.

Isu Bom Kotor di Dalam Negeri

Terkait dengan penggunaan bom kotor di Indonesia, Kepala Bapeten mengatakan bahwa kelompok teroris yang diringkus di Bandung berniat menggunakan senjata nuklir dengan menyebut thorium sebagai sumber radioaktifnya. Media yang meliput memberitakan sebagai bom nuklir. Narasi dari pihak media tersebut keliru, malah sangat menakutkan sekaligus menyesatkan karena memang materi yang disampaikan kepala Bapeten adalah “Anda tahu bom di Bandung kemarin? Kan sudah menggunakan kaus lampu petromaks. Itu mengandung thorium. Gampangnya nuklir” kata Jazi usai bertemu Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 27 September 2017.

Media lain menulis: Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, Presiden RI Joko Widodo telah meminta Bapeten untuk memasang alat pemantau nuklir di Istana Presiden Jakarta. “Dipasang RPM Radiation Portal Monitor di 3 pintu gerbang, dan di atapnya ada RDMS untuk memantau radiasi lingkungan,” jelasnya. Kelompok intruder tidaklah mungkin membuat bom kotor apalagi bom nuklir jika bahan yang digunakan ke bom konvesional adalah material yang mengandung thorium (Th-232) yang ada di dalam kaus lampu. Dari beberapa ancaman penggunaan bom kotor di Eropa Timur yang merupakan negara pecahan Uni Soviet tidak ada menggunakan Th-232. Zat radioaktif Th-232 yang terkandung dalam kaus lampu dibebaskan dari pengawasan karena efek radiasinya amat sangat kecil, dapat diabaikan. Ketentuan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2008 tentang Perizinan Pemanfaatan Sumber Radiasi Pengion dan Bahan Nuklir, yang koordinator penyusun PP tersebut adalah penulis. Pembahasan mengenai RPM dan RDMS sudah diulas secara menyeluruh dan kedua jenis alat deteksi radiasi tersebut termasuk renacana pengadaan surveymeter ditegaskan tidak bermanfaat dalam buku satu.

Penulis telah membuat makalah sekitar sepuluh tahun lalu terkait dengan kaus lampu dan lampu HID sebagai barang  konsumen bahwa paparan radiasinya sangat kecil dan tidak perlu pengawasan.

Laju Dosis Radiasi Kaus Lampu Dikur Dengan Surveymeter

Bacaan laju dosis radiasi yang dipancarkan kaus lampu adalah 0,11 µSv/jam. Alat ukur radiasi yang digunakan adalah surveymeter Rad Eye PRD 03114, jenis detektor NaI (Tl), Faktor kalibrasi: 1,00 µSv dan tanggal dikeluarkan sertifikat kalibrasi, 01 Desember 2011dan pengukuran dilakukan pada bulan September 2012. Seandainya pun jumlah kaus lampu yang digunakan semakin banyak tetap tidak ada risiko bahaya radiasi. Memang terjadi kenaikan laju dosis tetapi tidak besar dan pada saat bom kotor meledak maka tingkat kontaminasi pun menjadi tidak terukur karena kaus lampu akan menyebar kemana-mana. Sangat berbeda jika yang digunakan adalah sumber radioaktif terbungkus, terlebih lagi jika Cs-137 yang menjadi pilihan seperti kasus di Goiania Brazil. Opini Kepala BAPETEN dan Jajarannya sebagaimana pemberitaan media adalah asalan, tidak ada alasan logis.

  • Pembelajaran Berharga Kecelakaan Radiasi di Goania Brazil

Sebagai contoh studi kasus dari dampak radiologik yang sangat mengerikan adalah pada saat terjadi kecelakaan radiasi dengan sumber radioaktif bekas Cs-137 di Goania Brasil pada tahun 1987. Dua puluh orang segera dibawa ke rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan secara intensif, 14 orang diopname di RS. Poval Rio de Jeneiro, 6 orang di RS. Goiania. Jumlah yang dimonitor dengan alat khusus radiasi sebanyak 112.000 orang dan 249 orang diperkirakan terkontaminasi radioaktif internal maupun eksternal. Beberapa orang yang terkontaminasi internal sangat tinggi karena mereka telah memegang serbuk cesium-clorida tersebut, mengoleskan pada kulitnya dan makan dengan tangan yang telah terkontaminasi radioaktif atau melalui benda-benda yang sudah terkontamonasi, seperti bangunan, perabotan dan perkakas rumah tangga.

Publikasi IAEA The Radiological Accident in Goiania

Dosis radiasi diperkirakan sekitar 7 Gy (sangat tinggi). Tanah dan puing sebanyak 3.500 meter kubik (27 gerbong kereta api) harus dipindahkan dalam drum khusus karena terkontaminasi. Untuk pengelolaan limbah radioaktif tersebut maka dibuat tempat penyimpanan limbah radioaktif berupa bunker dan drum penyimpanan limbah sementara dibuat sesuai dengan ketentuan keselamatan. Pada bulan Oktober 1987, korban akibat kecelakaan radiasi tersebut akhirnya meninggal 4 orang yang terdiri dari 2 orang laki-laki dan 2 orang perempuan dewasa.

IAEA terlibat langsung membantu pemerintah Brazil untuk mengatasi masalah kecelakaan radiasi ini. Demikian juga dengan sejumlah negara maju ikut serta berpartisipasi untuk meringankan beban penderitaan korban. Data sumber radioaktif Cs-137 pada bulan September 1987 sebagai berikut: radioaktivitas sumber: 59,7 TBq (1.375 Ci) dan laju dosis pada jarak 1 meter: 4,56 Gy/jam (456 Rem/jam) sangat tinggi sehingga sangat berbahaya.

Penulis berbasis ilmu pengetahuan proteksi radiasi, bekerja di bidang pengawasan nuklir didukung pengalaman dalam forum nasional dan internasional terkait aspek keselamatan radiasi dan keamanan sumber radioaktif, dalam batin adalah “perang nuklir tidak pernah terjadi”.

Percayalah, tidak pernah terjadi! Mengapa?

Salam Nuklir

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here