Flowers of Joy, Bunga Kejujuran Mbak Enny

Penulis: Roger “Joy” P. Silalahi

Setelah lulus kuliah dan katanya jadi sarjana itu, saya yang senang dengan tantangan positif mengambil satu kalimat dari ucapan Prof. Dr. dr. Muhammad Kamil Tadjudin Sp.And sebagai Rektor UI saat itu yang berkata; “Sebagai Sarjana, kalian dituntut untuk menciptakan lapangan pekerjaan, bukan memanfaatkan apa yang sudah ada…”, maka saya berusaha berbisnis.

Setelah gagal dalam bisnis satu ke bisnis lain sampai tinggal tunggu mati, saya frustrasi. Saya merenung, sedih karena merasa gagal, dan memilih pergi ke Bandung, “mengadu” pada Mama, maka berangkatlah saya ke Bandung, lalu ke Pandu, tempat makam Mama berada.

Saya bawa bunga, rangkai-rangkai bunga sedikit, berdoa, lalu mulai “menyampaikan keluh kesah” saya pada Mama. Saat itu yang saya lihat hanya bunga, bunga Chrysant putih kesukaan Mama, beberapa Chrysant Spray merah dan daun-daun bercampur Peacock yang saya sebar. Tiba-tiba saja saya berpikir, saya mau buka toko bunga, di Margonda tidak ada toko bunga. Saya pulang ke Depok dengan niat baru.

Sampai Depok, saya pastikan saya harus belajar tentang toko bunga. Saya pergi ke Tebet dari pagi sampai sore, ada juga dari sore sampai pagi, pendeknya saya melakukan riset kecil tentang toko bunga. Satu bulan berjalan, saya buat proposal, lalu ngasong proposal cari pinjaman buat buka toko bunga. Dapat, total modal waktu itu 35 juta, bunga 3% per bulan, apa boleh buat, jalani saja. Tanggal 14 November 2000 toko dibuka dan berjalan dengan lumayan bagus, dikenal dengan nama “Flowers of Joy“, dengan tag line “When care needs to be shown...”, keren deh pokoknya, saya punya karyawan, saya menciptakan lapangan kerja, walau hanya untuk beberapa orang.

Tidak lama setelah toko buka, saya diminta untuk bekerja di bidang saya, dengan job desc yang tidak umum, dan menantang untuk saya. Toko saya jadikan sampingan, pokoknya saya sudah menunaikan kewajiban sesuai pesan Rektor UI saat itu, menciptakan lapangan pekerjaan. Tapi toko harus ada yang jaga dan awasi, maka pilihan jatuh ke seorang Ibu yang namanya Enny Nuraini. Mbak Enny bersedia, dan mulai menjdi “Store Manager“, kerenlah jabatannya walau gajinya nggak bisa keren.

Mbak Enny.

Enny Nuraini lahir di Bogor 11 Mei 1965, menikah dengan Alesandro J.C. Zitter yang turunan Ambon, Manado, Belanda, dan dikatuniai 2 anak. Sekolah tidak tinggi, hanya tamatan SMP, tapi terbukti cukup handal mengatur keuangan. Tinggal di Citayam, dekat Stasiun KA Citayam, tepatnya di Kampung Lebak Pos Citayam No.24 RT 01/011 Citayam, Desa Pabuaran, Bojong Gede – Bogor.

Tahun berganti terus, saya harus ke Bali tahun 2006, kendali toko bunga sepenuhnya ada di Mbak Enny. Semua masalah toko ditangani walau kadang pakai telepon sambil nangis mengadu ke saya.

Lama berjalan, sudah seperti kakak sendiri rasanya. Banyak hal diceritakan pada saya, banyak kejadian yang bentuknya tempaan dan musibah untuk mereka berdua. Kehidupan yang serba minim dengan masalah keluarga yang tergolong berat menurut saya, ditanggung berdua oleh Mbak Enny dan Alex, rukun walau susah, bertahan walau penuh duka. Setiap bulan gaji disisihkan untuk mencicil rumah dan memperbaiki sedikit demi sedikit, Alex kerja apa saja, supir, tukang, montir, serba bisa.

Setahun 2 kali saya pulang ke Depok, satu hari pasti saya gunakan untuk memeriksa pembukuan secara rinci di luar laporan bulanan yang dikirim setiap bulan, tidak sepeser hilang, tidak sedikitpun kecurangan.

Pagi ke pasar, cuci baju, belanja, masak, berangkat kerja, lalu pulang sore, sholat, bereskan rumah, siapkan makan malam, tidur, begitu terus setiap hari. Taat beragama, sholat 5 waktu tidak pernah lewat, pecut untuk semua karyawan, termasuk di urusan sholat. Karena di dalam toko ada tempat khusus sholat yang saya sediakan.

Keterbatasan usia dan pendidikan membuat Mbak Enny tidak mampu mengejar kemajuan teknologi, todak bisa mengejar persaingan dalam penjualan yang semakin hari semakin serba online. Hingga akhirnya tahun 2018 Mbak Enny menyerah, minta mundur dari Flowers of Joy.

Saya tidak bisa menahan Mbak Enny, usia yang semakin bertambah membuat pulang pergi naik KRL terasa sangat berat, belum lagi pekerjaan di rumah, belum lagi masalah perawatan cucu 3 orang menjadi tambahan beban.

Mbak Enny resign. Toko tidak punya orang lain yang memenuhi poin utama yang saya patok sebagai dasar untuk bisa memegang toko, kejujuran. Kepintaran tanpa kejujuran tidak ada nilainya bagi saya. Penghargaan untuk kerja keras 17 tahun dalam bentuk uang pensiun tidak bisa saya penuhi, hanya anak kedua Mbak Enny saya tarik ke Bali untuk bekerja di warung, setidaknya ada pemasukan sehingga beban biaya hidup bisa sedikit berkurang.

Mbak Enny bukan orang yang luar biasa dari sisi perjalanan hidupnya, dia hanya seorang perempuan yang jujur dan menjalani apapun yang harus dijalaninya, sampai batas kekuatannya.

Himpitan ekonomi yang terus menjadi bagian hidup selama 17 tahun bekerja di toko bunga, tidak berhasil mematahkan kejujurannya, kelelahan fisik dan asam urat serta vertigo yang menyulitkannya untuk bergerak, tidak berhasil membuatnya meninggalkan sholatnya.

Sosok ini, sosok mantan karyawan yang hanya orang biasa, tapi layak menjadi contoh orang Indonesia yang sebenarnya, yang nyata ada. Tidak berpendidikan tinggi, berkekurangan secara ekonomi, fisik yang menurun tapi tetap berpegang pada Tuhannya, bertahan pada sikap mental yang memiliki nilai tertinggi bagi seorang manusia, kejujuran.

Menjadi orang Indonesia itu tidak perlu  memiliki gelar yang tinggi, tampil gagah dengan gaya hidup seperti selebriti, atau bicara manis dan melulu menepuk dada sendiri, cukup dengan menjalani hidup jujur bermartabat dan punya harga diri. Hidup seperti Mbak Enny.

Mbak Enny, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini bagian dari seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca tulisan lainnya:

Ririn

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here