Ganjar

Penulis: Pepih Nugraha

Mungkin hasil riset The Republic Institute terbaru yang menempatkan Ganjar Pranowo pilihan masyarakat Jawa Timur sebagai calon presiden paling moncer, belum menunjukkan keterpilihan gubernur Jawa Tengah itu secara nasional. Namun jangan lupa, pemilih di Jatim itu sangat gemuk, beda dengan provinsi lainnya. Karenanya Jatim dijadikan barometer.

Tidak lama berselang, survei SMRC menunjukkan, elektabilitas Ganjar terus meningkat, mengejar Prabowo Subianto yang masih bertengger di atas dengan 18,1 persen, sementara Ganjar menguntit ketat 15,8 persen. Dengan melesatnya Ganjar yang di tahun 2020 “cuma” 6 persen ke hampir 16 persen saat ini, tidak tertutup kemungkinan dalam beberapa bulan ke depan Ganjar sudah menyejajari atau bahkan mengatasi Prabowo.

Mengapa Ganjar demikian fenomenal?

Beberapa lembaga survei menganalisa kesamaan Ganjar dengan Jokowi, Presiden RI saat ini, yang mereka anggap merakyat dan memiliki kepemimpinan membumi. Jika warga sudah punya asumsi sendiri mengenai sosok Ganjar yang dilekatkan dengan Jokowi, maka preferensi publik ini susah dibendung, meski dengan atribut “Celeng” yang dilekatkan kepada Ganjar dan pendukung di kandang Banteng sekalipun.

Di Jatim, jika Pilpres dilakukan saat survei dilaksanakan, elektabilitas Ganjar mencapai 31,4 persen, sedangkan Prabowo 23 persen. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menempati posisi ketiga dengan elektabilitas 12,3 persen.

Selain tiga nama teratas, di bawahnya ada nama Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Menparekraf Sandiaga Uno.

Namun menurut survei, elektabilitas nama-nama tersebut barusan masih di bawah 5 persen. Diperkirakan, sampai mendekati Pilpres 2024 sekalipun nama-nama ini sulit meraih elektabilitas melampaui dua digit. Realistis saja, tidak usah kecewa!

Sufyanto menjelaskan, sebab-musabab elektabilitas Ganjar Pranowo tinggi di Jatim, karena menurutnya sosok Ganjar yang merakyat. Sosok Ganjar juga diidentifikasi memiliki kemiripan dengan Jokowi selaku Presiden RI.

“Tampak bahwa Ganjar sangat mendominasi dari sisi elektabilitas. Hal ini terjadi karena Ganjar diidentifikasi oleh masyarakat Jatim sebagai sosok yang memiliki kepribadian dan jiwa kepemimpinan seperti Jokowi,” kata dr Sufyanto, Direktur The Republic Institute.

“Tingginya suara Ganjar juga disebabkan karena orangnya low profile, sehingga ketika turun di masyarakat sering langsung masuk warung dan ikut makan bersama-sama dengan masyarakat lain yang ada di warung, dan itu tidak ditemukan pada calon presiden yang lain,” imbuh Sufyanto.

Bagaimana PDIP, khususnya Megawati Soekarnoputri selaku ketua umum memandang moncernya elektabilitas Ganjar sebagai salah satu kader terbaiknya?

Sebagai “The Queenmaker”, Megawati cukup hati-hati membuka wacana mengenai Ganjar, apalagi berkonfrontasi. Akan tetapi, “mesin partai” terus bergerak untuk “mengerdilkan” peran dan sosok Ganjar. Publik maklum, sebab PDIP berharap Puan Maharani sebagai “anak biologis” ketua umum pendiri PDIP itulah yang maju sebagai Capres, bukan liyan yang berpotensi sebagai “petugas partai”.

Memaksakan Puan maju sebagai capres tanpa menghiraukan hasil riset lembaga survei dan preferensi publik yang lebih memilih Ganjar, adalah “bunuh diri” PDIP secara politik. Bahkan Prof Ryaas Rasyid pernah mengatakan, jika Puan dimajukan, artinya “PDIP bunuh diri dua kali”. Maksudnya, kalah di Pilpres dan suara PDIP pun ambyar. Tetapi itu baru pendapat.

Megawati bukan “politikus kemarin sore” (yesterday afternoon politician). Ia politikus yang sangat matang dan mampu mengambil keputusan presisi di saat-saat genting, sebagaimana terjadi dengan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Jika saat itu Megawati memaksakan diri untuk maju di saat preferensi publik bukan kepada dirinya, PDIP tidak akan menjadi “the rulling party” selama dua periode.

Kesannya Ganjar “dikuyo-kuyo” dan “dikerdilkan” secara sistematis oleh penghuni kandang Banteng sendiri, tetapi mana tahu ini sebagai strategi tersembunyi Megawati untuk diam-diam menjaring pfererensi publik lebih matang lagi, yang pada detik-detik terakhir pilihan jatuh kepada Ganjar sebagai salah satu kader paling moncer dari kandang Banteng, sebagaimana pernah terjadi pada Jokowi.

Memang sudah seharusnya Banteng tetaplah Banteng, jangan berubah jadi Celeng.

 

Penulis adalah jurnalis senior, berkarier di Kompas grup hingga pensiun, “founder” Kompasiana, Pepnews.com dan mengembangkan beberapa portal media warga lainnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here