EDITORIAL
Kalau kita lihat sejarah—dari 1945, 1966, sampai 1998—selalu ada tokoh-tokoh yang turun ke jalan, dampingin rakyat. Mereka bukan cuma ngomong doang, tapi hidupnya sederhana, dekat sama wong cilik, dan berani teriak keadilan. Dari ceramah sampai diskusi budaya, mereka jadi suara yang didenger, bahkan bikin semangat rakyat tetap nyala.
Tapi sekarang? Sedih, bro. Banyak tokoh yang dulu dielu-elukan malah kejerat korupsi. Ormas-ormas besar yang harusnya jadi pembela rakyat, malah sibuk berebut proyek, cari rente, dan main politik uang. Mereka duduk nyaman di kursi kekuasaan, lupa sama rakyat yang susah.
Nah, di tengah situasi kayak gini, yang muncul justru gerakan dari bawah—dari rakyat biasa yang lelah dieksploitasi sistem. Mereka nggak punya figur panutan lagi. Yang ada cuma kemarahan yang meledak-ledak. Ini bukan demo biasa, ini tanda perang kelas yang bisa guncang negara.
Contoh nyatanya? Anak-anak muda, driver ojol, yang tiap hari gigih cari rezeki, tiba-tiba jadi korban kekerasan aparat. Mereka yang sehari-hari sibuk kerja keras dan punya impian, harus terkapar di aspal. Bukan cuma sakit fisik, tapi juga mental—harga diri mereka diinjak-injak.
Yang bikin makin geram, dunia sekarang udah berubah. Globalisasi bawa konsep baru: pelanggaran HAM bisa disidang di pengadilan internasional. Kekerasan oleh aparat nggak cuma bikin luka sosial, tapi juga bikin ekonomi hancur. Satu tembakan bisa bikin investor kabur, rupiah anjlok. Chaos sosial = chaos ekonomi = rezim bisa tumbang.
Anak muda yang demo sekarang bukan cuma mahasiswa. Mereka generasi produktif di bawah 40 tahun, melek teknologi, kritis, tapi udah nggak percaya sama sistem. Mereka lihat Mahkamah Konstitusi ngasih putusan yang ngeselin, partai politik pada busuk, jadi mereka memilih bersuara lewat aksi massa.
Akar masalahnya jelas: susah cari kerja, harga mahal, janji pemerintah cuma omong kosong. Mereka udah lelah dengar cerita “pembangunan” yang cuma nikmatin segelintir orang. Bahasa terakhir yang mereka pilih: melawan.
Jadi, inilah potret politik Indonesia hari ini: elite sibuk cari untung sendiri, ruang moral kosong, dan anak muda marah yang nyuarakan perlawanan—bukan lewat parlemen, tapi lewat jalanan.

Baca juga:














