If Life Too Easy, There’s Something Wrong

Penulis: Erri Subakti

Merry memberikan berkas pelamar kerja yang telah diseleksi dan lolos tes dari HRD.

“Ini berkas calon tenaga kerja yang ibu minta. Sudah diseleksi dan dites oleh HRD. Sesuai kualifikasi yang ibu inginkan,” ucap Merry.

-Iklan-

Jess menerima berkas itu, duduk di kursi kerjanya, membaca sekilas, satu almamater dengannya, juniornya. Jess nampak tertarik namun tetap dengan raut muka flat dan datar, tak nampak happy, tapi juga apakah kecewa atau marah, tak bisa ditebak oleh siapapun.

“Ok, jam berapa interviewnya?” ucap Jess sambil meletakan berkasnya di atas meja.

“Sekarang, bu,” balas Merry.

***

Pria usia awa 30 tahunan mengetuk pintu lalu membukanya dan masuk ruangan dan langsung menyapa, “Selamat siang bu.”

Ia menghampiri bangku di depan meja Jess.

Dengan tatapan dingin dan intimidatif Jess mulai dengan beberapa pertanyaan complicated yang sedikit banyak berkaitan dengan masalah perusahaan di site yang paling bermasalah dan sering terjadi aksi demonstrasi masyarakat adat di Kalimantan Tengah.

Tanpa disangka oleh Jess, pria di hadapannya ini malah memberikan ekspresi berbinar seakan pertanyaan yang ia ajukan bukanlah persoalan sulit baginya. Ia seperti ditawari makan enak dan langsung bernafsu untuk segera memakannya. Dengan terstruktur dan lancar ia jawab beberapa langkah yang mungkin akan ia lakukan seandainya diterima bekerja di grup bisnis ini.

Herannya pria ini juga tak nampak nervous dan terintimidasi. Begitu percaya diri. Apa iya dia bakal sanggup mengatasi masalah yang telah menahun dan begitu banyak manajer keluar dari perusahaan hanya karena ditempatkan di site tersebut. Bahkan ada yang hanya seminggu bertahan. Paling parah hanya sehari, esoknya sudah keluar.

Site ini menjadi momok bagi grup perusahaan ini. Permasalahan sudah berkelindan pelik, entah solusi harus dimulai dari mana. Bahkan tak ada yang selesai. Hanya menunda jalan keluar, yang tak ada ujungnya. Lalu permasalahan akan bertambah lagi ke depannya. Direktur di site tersebut sudah hopeless dan lebih banyak zikir, karena otaknya sudah buntu mencari solusi yang tak ada.

Pria 30-an tahun ini tiba-tiba bersemangat dan tak sabar untuk segera nyebur dalam kolam masalah dan dengan percaya diri bisa berenang atau berselancar di atas gelombangnya. Lalu apakah ia punya solusinya?

Jess menimbang-nimbang. Tak ada salahnya memberikan kesempatan ini. Tak ada ruginya. Let’s give him a shot.

Persis saat itu sebuah pesan masuk ke telepon genggamnya. Dari Pak Agus, Community Development Manager di site Muara Teweh, yang mengabarkan adanya informasi masyarakat lokal akan demo besar bersama Aliansi Masyarakat Adat di sana soal lahan-lahan mereka yang diklaim telah diserobot perusahaan.

“Lusa kamu berangkat ke Kalteng. Siapkan dirimu,” ujar Jess dingin ke Mario.

Mario senang sekaligus terkejut. Dan mengucapkan terimakasih.

“Baik bu. Saya akan segera bersiap-siap,” jawabnya lalu mohon diri.

“Nanti HRD akan menghubungimu soal tanda tangan kontrak, penggajian, dan penempatan kerja. Sekaligus tiket untuk ke Kalimantan,” pesan Jess ke Mario lagi saat Mario membuka pintu hendak keluar ruangan.

“Siap,” jawab Mario pendek.

Jessica kemudian memanggil Merry untuk menyiapkan tiket untuknya kembali terbang ke Kalimantan esok lusa.

Dalam hari-harinya di dunia kerja, Jess berusaha untuk bahagia. Masih ia sempatkan mengajak anak-anaknya bermain di sela-sela waktunya. Ia sadar anak-anaknya masih membutuhkannya. Ia harus tetap kuat. Jika roh dan jiwanya sedang melayang entah ke mana, ia berusaha melakukan sesuatu supaya bisa berbahagia lagi. Berenang dan fitness adalah salah satu pelariannya, jam 7 sampai jam 9 malam biasanya.
Usai itu ia tak langsung pulang. Ia bisa kembali ke kantor untuk meeting dengan tim Media Monitoring yang memang biasa bertugas hingga larut malam.

Pelariannya yang lain adalah hang out di Fountain Lounge Hyatt bersama teman atau koleganya, hingga tengah malam.

Work hard, play hard, baginya. Seringkali kembali ke kantor untuk memeriksa analisa konten dari Media Monitoring.

Hidup Jess seperti layangan putus. Tetapi ia tetap bertanggung jawab untuk anak-anaknya. Di tengah pergulatan bathin dan kegilaan kerjanya.

Dengan segala cara Jess berusaha untuk menjalankan hidupnya lagi setelah perceraian yang menyakitkan luar biasa.

Orang-orang atau teman-temannya melihat dirinya sebagai perempuan tegar. Tapi mereka tidak tahu bagaimana Jess bergumul dengan keterpurukannya. Ia berusaha tampil tegar, terutama di depan anak-anaknya. Dan berusaha agar kedua ortunya tak melihat keterpurukannya.

Jess tampil sebagai seorang perempuan, single parent, ibu yang menjadi tulang punggung keluarga. Jess mengurus ortu dan anak-anaknya seperti seekor singa yang mengaum jika ada yang mengganggu mereka. Jess si singa betina yang pongah menantang binatang-binatang lain untuk menjaga keluarganya.

Tidak ada yang bisa melangkahi aku.
Tidak ada yang bisa menaklukkan aku.

Jessica bekerja tidak kenal waktu. Tanda-tanda tubuhnya semakin lemah tak dihiraukannya. Kepala yang sering sakit berdenyut karena tekanan darah semakin tinggi ia abaikan.

Tiga tahun sebelumnya Jess mengalami stress berat sewaktu ia dalam gelombang perceraian. Ia sangat terpuruk. Menangis terus. Ortunya lantas membawanya ke psikolog, lalu disarankan juga ke psikiater di RSCM, kemudian diperiksakan juga ke dokter syaraf, medical check up juga. Dari situ keluar hasil bahwa dirinya mengalami hipertensi akut.

Untuk masalah psikisnya, selama 6 bulan Jess menjalani pengobatan psikis. Ia diberi obat penenang. Hanya diminta untuk diminum di kala ia merasa down. Namun setiap harinya ia merasa mentalnya drop sehingga ia bisa menenggak obatnya 2 kali sehari.

Betul, Jess menjadi tenang jika meminum obat tersebut. Tapi otaknya menjadi lemot.

Biasanya ia bisa membereskan berkas-berkas yang menumpuk dan laporan-laporan tebal program Corcom-nya, namun jika habis minum obat penenang, otaknya lelet bukan kepalang. Satu halaman berkas pun tak bisa ia tuntaskan.

Menyadari efek samping obat penenangnya Jess nekat tak lagi mengkonsumsinya. Psikolognya menyarankan agar ia istirahat saja jika merasa down.

Otaknya kembali bekerja normal saat Jess tak lagi meminum obat penenangnya.

Meski perasaannya tentang perceraian semakin bertumpuk, ia usir segala kegalauan itu dengan bekerja keras sekali untuk melupakan semuanya.

***

Hampir jam 12 tengah malam, di meja ruang rapat lantai 11 kini tersedia makanan. Entah, apakah ini sajian makan malam atau “makan siang.”

Masih terjadi brainstorming antara CEO, BOD, dan MD atas konsep Public Relation yang dipaparkan Jessica sebelumnya. Jess menganggap publikasi dan pendekatan perusahaan pada masyarakat sudah basi. Model ‘kampanye propaganda periklanan’, dengan mengusung slogan macam “kecap no.1″ adalah sebuah konsep yang usang.

Pencitraan perusahaan berada dalam kondisi paling buruk. Penolakan warga masyarakat lokal di wilayah perusahaan beroperasi, sangatlah tinggi. Tingkat resistensi masyarakat berdasarkan analisa konten dari Media Monitoring, 80% pemberitaan mengenai perusahaan bersentimen negatif. Publik menganggap eksploitasi sumber daya alam oleh perusahaan berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Hampir tiap minggu masyarakat berdemonstrasi dengan beragam tuntutannya.

Jess mengungkapkan bahwa program PR yang harus dijalankan adalah program yang terintegrasi dengan kegiatan CSR yang memang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Bukan saja sebagai “sinterklas” bagi masyarakat. Masyarakat harus terbangun dengan pola bottom up, bukan lagi menjalankan program CSR dengan pola top down, yang belum tentu sesuai dengan pola mencari nafkah di wilayah tersebut.

Jess mengkritik program CSR sebelumnya yang menggulirkan program peternakan sapi.

“Masyarakat setempat telah terbiasa dengan pola bekerja “fast money.” Uang besar dan cepat, baik itu mereka sebelumnya melakukan pembalakan kayu di hutan atau pun mendulang tambang emas secara mandiri,” Jess menjelaskan dampak buruk atas bisnis logging yang berefek pada kebiasaan masyarakat lokal dalam mencari uang.

Sehingga program peternakan sapi sebagai CSR kurang tepat.

Karena itu Jess mengusulkan assessment yang lebih mendalam dan matang lagi sebelum menggulirkan program integratif PR dan CSR yang sesuai dengan karakter masyarakat setempat.

“Tidak saja hanya berbicara pendekatan kuantitatif, melainkan juga kualitatif. Kebutuhan sesungguhnya dari masyarakat harus kita fasilitasi,” ujarnya.

Kritiknya tentu membuat geram Pak Guntur yang menangani CSR perusahaan.

Tapi sebelum terjadi bantah-bantahan antara Jess dan pak Guntur, Pak Iman Direktur Operasional mengusulkan untuk menyudahi saja meeting ini.

“Mengingat otak manusia yang sudah pada lelah seharian ini. Kita perlu istirahat dulu, untuk menyegarkan pikiran dan dilanjutkan minggu depan,” usul Pak Iman.

Para peserta rapat menyetujui usul tersebut. Rapat direksi pun bubar.

Jess mengirim pesan ke Sudin, supirnya untuk menyiapkan mobil. Sesaat turun dari lift, Pak Sapri security kantor yang bertugas pada shift malam menanyakan pada Jess apakah meeting sudah usai, dan hanya anggukan kepala sebagai jawaban Jess.

Di luar lobby Alphard putih sudah menunggu. Sudin membukakan pintu untuk Jess. Ia naik dan menutup pintu.

Jalanan metropolitan sudah sangat lengang, meski kota tak pernah mati. Berseliweran berbagai mobil dari yang paling mewah hingga gerobak para pemulung melintasi ruas-ruas jalanan di Jakarta yang tak pernah tidur.

Persis di depan mobil Jess, sebuah mobil pick up bak terbuka yang berisi sayur mayur yang akan menuju Pasar Minggu. Di antara sayur-sayuran itu ada dua ibu-ibu yang silau dengan cahaya mobil Alphardnya. Nampak muka-muka lelah yang menahan kantuk, harus segera bersiap mencari nafkah pada dini hari yang dingin ini.

Sementara di sebelah pick up itu, ada sebuah mobil dengan lambang kuda jingkrak yang dikendarai anak muda bergaya metroseksual. Tampak paradox. Kota ini seakan menyisihkan mereka-mereka; para pedagang pasar, pedagang asongan, kaki lima, pemulung, bahkan tukang sampah jalanan. Namun tanpa mereka semua, bagaimanakah pergerakan perekonomian kota?

Melihat perjuangan orang-orang kecil, pikiran Jess melayang. Lalu dadanya terasa penuh, seperti ada sesuatu yang ingin meluap.

Tiap-tiap manusia menghadapi perjuangannya masing-masing.

Waktu menunjukkan pukul satu saat Jess tiba di rumah. Anak-anaknya terlelap dalam tidurnya yang damai. Lepas satu rintangan, lewat satu tekanan hidup, kembali ia harus menghadapi beban berat atas kondisi psikisnya.

Ibunya terbangun melihat Jess di kamar. Paham dengan lelah bathin dan fisik anaknya, sang ibu mendekatinya sambil memeluknya. Lalu berucap pelan.

“Kamu harus kuat sayang… Kamu harus membuktikan bahwa perceraian tak kan melumpuhkan perempuan tangguh sepertimu,” kata ibunya setengah berbisik.

Mata Jess berkaca-kaca.

“Kita mungkin memiliki 100 masalah, tapi percayalah bahwa Tuhan memiliki 101 jalan untuk menyelesaikannya.”

“Ibu cuma ingin mendengarkanmu berkata, ‘I will survive…'”

Kadang dalam hidup ini.., kita lebih suka menghitung masalah daripada menghitung kenyamanan yang sudah kita terima.
Bukankah ada terlalu banyak hal berharga yang kita dapatkan secara gratis setiap harinya?

… If life too easy.. there’s something wrong

Bersambung…

Warning

Baca dari awal:

Di Batas Kematian

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here