Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Kembali ke saat masih TK. Sejak TK sampai kelas 5 SD, setiap hari antara jam 11 – 1 siang, ada satu orang yang selalu lewat di depan rumah. Karena sekolah selesai jam 12, saya hanya bisa menemuinya hari Minggu. Seorang Kakek Tua yang berjalan kaki dengan tertatih-tatih, setengah diseret, badannya bungkuk hampir 90 derajat ke depan, memegang tongkat kayu yang jadi tumpuan keseimbangan tubuhnya.
Setiap hari Minggu, saya akan kasih tahu Mama kalau Kakek Tua lewat, itu jadi kegemaran, karena Kakek Tua selalu menerima bungkusan sambil berucap “Terima kasih kasep…”. Kasep dalam bahasa Sunda artinya ganteng, senanglah dibilang ganteng, walau tahu kenyataan sebenarnya hanya mendekati pas-pasan, hehehe.
Sampai saya kelas 0 Besar, keluarga kami masih pas-pasan secara ekonomi, sesekali kami hanya makan nasi yang dihanguskan dicampur garam, yang penting ada yang masuk ke dalam perut kami. Tapi setiap Kakek Tua itu lewat, Mama selalu memberikan dia nasi dan lauk (kalau ada), pokoknya apa yang kami makan akan dibagi ke Kakek Tua. Berbagi tidak perlu menunggu kita berlebih, itu pelajaran yang kami dapat dari Mama.
Saya pernah bertanya; “Mama, kenapa Mama selalu kasih Kakek Tua nasi…? Kita kan harus kerja kalau mau dapat makan, tidak boleh minta-minta…”, dan Mama bilang; “Kakek Tua itu dulu tukang kebun, setiap hari dia bekerja keras untuk mencari uang, dari pagi sampai sore. Tapi sekarang dia sudah tidak bisa bekerja lagi, jadi kita bantu dia supaya tetap bisa makan”.
Setelah saya masuk SD, ekonomi keluarga kami membaik, dan Mama selalu selipkan uang entah berapa, padahal anak-anaknya tidak pernah dikasih uang jajan, tapi tidak ada anaknya yang iri pada Kakek Tua, saat itu kami sudah cukup mampu memahami bahwa Kakek Tua itu membutuhkan bantuan, dan harus dibantu, bukan hanya makan, tapi pakaian, sandal yang selalu diseretnya, dan banyak lagi.
Saat saya kelas 5 SD, Kakek Tua tiba-tiba tidak lewat lagi di depan rumah, kabar dari Pak RW (Mang Sunadi) bilang bahwa Kakek Tua sudah meninggal. Entah di mana dia dimakamkan dan oleh siapa, karena dia tidak punya siapa-siapa, hidupnya sendirian di bedeng kecil di Sekeloa, ini kata Mama yang sempat sesekali mengajak Kakek Tua berbincang sambil memberikan nasi bungkus.
Hilang satu hal yang menggembirakan, ada rasa sedih saat Mang Sunadi bilang Kakek Tua sudah meninggal. Tidak ada lagi yang saya tunggui sehabis pulang Sekolah Minggu. Tidak ada lagi yang bilang “Terima kasih kasep…”.
Saling bantu, empati, berbagi, adalah sifat dasar dan bagian dari budaya Indonesia. Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh. Nilai luhur yang diwariskan turun temurun, tapi semakin hari semakin dilupakan.
Bila ditarik ke masa sekarang, nilai ini masih tampak jelas di beberapa kalangan selama pandemi berlangsung, ada banyak orang berbagi nasi bungkus, sembako, ada yang membahikan uang, obat, alat kesehatan, dll. Senang bahwa pandemi membangkitkan kembali nilai luhur itu, tampil kembali, menyejukkan kembali. Kita sudah terlalu lama tidak peduli, semoga pandemi ini mampu menggerus sikap tidak peduli, ego, individualis, kesombongan hingga lupa sesama. Semoga pandemi membawa Indonesia menjadi semakin Indonesia.
Nilai asli bangsa Indonesia adalah kegotong-royongan, segala hal diselesaikan secara bersama, segala masalah diatasi bersama-sama. Yang kaya membantu yang miskin, yang sehat membantu yang sakit, yang kuat membantu yang lemah, dan seterusnya. Berbagi dalam segala hal dan semua manifestasinya adalah Indonesia.
Berbagi, itulah Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini merupakan bagian dari seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca artikel lainnya:
Seberapa Indonesia Kamu? Menjadi Indonesia Sejak TK dengan Nilai-nilai Ke-Indonesia-an