Kemana APBD Jakarta Rp 87,9 Trilyun dan Bantuan Penangan Covid 19 yang diterima Jakarta? Mulut Anies Bergetar

Penulis: Azas Tigor Nainggolan

Miris sekali kinerja pemrov Jakarta. Dua kota lain yakni Surakarta, Jawa Tengah dan Malang, Jawa Tengah sudah menyatakan semua pasien Covid-19 sembuh. Sementara kota Jakarta terus menjadi kota paling banyak penderita Covid-19 dan yang paling banyak yang meninggal dunia. Padahal fasilitas kesehatan, rumah sakitnya dan tenaga medisnya jauh lebih banyak milik Pemprov Jakarta.

Pertanyaan, mengapa prestasi penyembuhan pasien Covid 19 Jakarta jauh di bawah kota Surakarta dan Malang? Pasalnya Anies Baswedan tidak bisa kerja sebagai gubernur Jakarta. Anies Baswedan hanya sibuk menjadi humas pemprov Jakarta melakukan jumpa pers. Begitu pula fokus pikirannya bukan menolong warganya tetapi fokusnya kampanye pribadi.

-Iklan-

Begini ceritanya.

Jakarta oh Jakarta APBD paling tinggi se-Indonesia tetapi kontribusi untuk penangan Covid-19 paling kecil di banding daerah lain. Memalukan dan mencurigakan, korban Covid paling banyak, tapi dana yang dikasih untuk penanganan Covid-19 paling kecil dibanding daerah lain yang APBDnya jauh di bawah Jakarta.

Jawa Tengah yang APBDnya Rp 28,3 Trilyun mengalokasikan Rp 1,4 Trilyun untuk penanganan Covid-19. Begitu pula Jawa Barat yang APBDnya Rp 46 Trilyun mengalokasikan anggaran sebesar Rp 500 Milyar untuk penanganan Covid 19.

Sudah banyak daerah yang membagikan masker gratis kepada masyarakat di daerahnya. Sementara warga Jakarta hingga hari tidak satu pun menerima bantuan masker dari pemprov Jakarta. Padahal beberapa hari lalu Jakarta melalui Anies menerima sumbangan 500.000 ribu masker dan 100.000 alat rapid test dari yayasan Buddha Tzu Chi. Sampai hari ini pemprov Jakarta melalu PD Pasar Jaya menggelar penjualan masker di Pasar Pramuka.

Sebagai gubernur Jakarta, apakah Anies Baswedan tidak malu, hanya mengambil anggaran dari APBD 2020 sebesar Rp 130 M? Padahal Anies untuk adakan acara Balapan Formula E yang tidak ada manfaatnya, keluarkan dana Rp 1,4 Trilliun. Konon karena balapan ini dibatalkan maka uang muka Rp 300 Milyar hangus. Ini ada kaitannya dengan sejak awal Anies teriak dan mencurigai data penderita Covid-19.

Pada tanggal 30 Maret 2020 lalu Anies menyampaikan dalam jumpa pers di balaikota dengan mulut bergetar bahwa Pemprov Jakarta sejak 6 hingga 29 Maret 2020 menguburkan 283 orang diduga terserang virus corona atau Covid-19. Menurut Anies dengan mulut bergetar bahwa penyebaran Covid 19 sudah sedemikian membahayakan dan perlu langkah mengamankan Jakarta. Sementara data pemerintah pada web covid-19.go.id sampai pada tanggal 30 Maret 2020 jam 16.20 wib disebutkan untuk Jakarta ada 698 kasus Covid 19, 74 pasien meninggal dunia dan 48 pasien sembuh.

Melihat perbedaan data itu, sepertinya Anies mencurigai data yang dipublikasi pemerintah pusat dan juga mau mengatakan pemerintah pusat lambat dalam menangani wabah Covid-19. Ada keinginan Anies, seharusnya pemerintah pusat sudah menangani Covid-19 sejak awal dan sudah melakukan langkah penyelamatan dengan menutup (lockdown) Jakarta.

Dalam hal ini ada kaitannya antara minimnya atau kecilnya anggaran yang disediakan oleh Anies untuk menangani Covid-19 di Jakarta dan keinginan Anies bersama pendukungnya mendesak presiden Jokowi melakukan karantina wilayah (lockdown) terhadap kota Jakarta.

Anggaran kecil yang disediakan Anies adalah agar bisa meminta-minta uang anggaran kepada pemerintah pusat atas nama penanganan Covid-19. Akibatnya memang penangan Covid 19 di pemprov Jakarta terlihat lambat dan korbannya jauh lebih tinggi dibanding kota lain yang lebih tanggap menangani wabah Covid-19.

Terbukti kota lain lebih sigap dan sudah banyak yang menyembuhkan pasien Covid 19.

Tingginya angka kasus positif Covid 19 dan pasien meninggal dunia itu terus diangkat dan digunakan untuk mendesak presiden Jokowi melockdown Jakarta. Anies dan timnya sadar betul bahwa otoritas menentukan keputusan karantina wilayah (lockdown) menurut UU no:6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ada di tangan presiden. Tapi Anies licik dan gunakan situasi serta masyarakat untuk memaksa presiden Jokowi yang melakukan lockdown terhadap Jakarta. Upaya kotor itu terlihat dimana sejak awal Anies melakukan operasi pasar dan pengurangan layanan transportasi publik di Jakarta secara drastis. Upaya itu katanya adalah pesan kejut kepada masyarakat bahwa wabah Covid-19 di Jakarta sudah parah.

Artinya Anies mau memprovokasi masyarakat agar resah dan memaksa agar presiden melockdown Jakarta. Provokasi Anies ini berhasil dan banyak masyarakat yang menilai Anies lebih sigap dibanding presiden Jokowi. Masyarakat akhirnya mendesak seharusnya dilakukan karantina wilayah (lockdown) terhadap Jakarta oleh presiden untuk menghentikan wabah Covid-19.

Tetapi akhirnya presiden Jokowi tidak melakukan karantina wilayah (lockdown) terhadap Jakarta. Justru presiden Jokowi menetapkan langkah Darurat Kesehatan dengan melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) disertai Darurat Sipil.

Langkah Darurat Kesehatan menegaskan bahwa otoritas ada di tangan presiden melalui pemerintah pusat dalam menentukan PSBB. Kepala daerah tidak boleh melakukan kebijakan sendiri-sendiri semaunya seperti yang dilakukan Anies mengurangi drastis layanan transportasi publik dan mengeluarkan surat Dinas Perhubungan yang melarang bus AKAP beroperasi dari dan keluar Jakarta. Jika kepala daerah jalan sendiri dan membahayakan situasi negara maka presiden bisa mencopot gubernur atau kepala daerah yang bersangkutan.

Kebijakan PSBB ini selanjutnya diisi dengan memberikan program Pengaman Sosial Ekonomi atau bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang yang membutuhkan karena paling rentan terdampak akibat krisis wabah Covid-19.

Dalam hal ini pun terlihat latar belakang Anies memaksa lockdown bagi Jakarta. Jika dilakukan lockdown terhadap Jakarta maka pemerintah pusat harus menanggung kebutuhan hidup warga di Jakarta. Nah untuk itu Anies sebagai gubernur Jakarta bisa semaunya meminta anggaran pada pemerintah pusat atas nama pemenuhan kebutuhan hidup bagi warga Jakarta yang dilockdown. Tetapi dengan kebijakan PSBB, bantuan sosial ekonomi hanya bagi warga yang paling rentan terdampak dan membutuhkan. Begitu pula penyalurannya yang menentukan adalah pemerintah pusat.

Nah, itulah sebabnya Anies Baswedan dan para pendukungnya memaksa presiden Jokowi melakukan lockdown terhadap Jakarta, untuk memainkan anggaran. Melalui kebijakan lockdown Jakarta juga Anies menghitung akan terjadi kekacauan di Jakarta dan bisa membangun citra buruk pemerintahan Jokowi untuk dikatakan gagal menangani Covid-19.

Begitu pula ketika kemarin pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan mengeluarkan Surat Edaran (SE) Badan Pengelola Transportasi Jakarta (BPTJ), memberikan rekomendasi pembatasan transportasi dari dan ke Jakarta. Surat Edaran BPTJ memberikan rekomendasi kepada para pengelola layanan transportasi, baik angkutan umum dan jalan tol serta pengelola jalan untuk melakukan pembatasan transportasi untum mengurangi penyebaran Covid 19.

Surat Edaran BPTJ ini juga sekaligus membatalkan surat pemprov Jakarta melalui Dinas Perhubungan Jakarta tanggal 30 Maret yang melarang beroperasinya bus AKAP dari dan ke Jakarta. Setelah dikeluarkan surat edaran BPTJ, kemarin pemprov Jakarta akhirnya mengatakan soal pembatasan layanan transportasi di Jakarta menunggu pemerintah pusat.

Ya, sekarang niat Anies terbongkar, rencana di balik langkah memaksa lockdown Jakarta. Sekarang Mulut Anies Bergetar, sudah tidak bisa lagi ambil langkah semaunya atas nama Covid-19 karena dia bisa dicopot dari jabatannya sebagai gubernur Jakarta oleh presiden Jokowi karena dianggap melawan kebijakan presiden dalam rangka Darurat Kesehatan.

Jakarta, 2 April 2020.
Azas Tigor Nainggolan
Ketua Forum Warga Kota (FAKTA) Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here