Kementerian BPN Langgar HAM, Cek Faktanya

Penulis: Dahono Prasetyo

Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi kesepakatan tertinggi pengakuan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Pancasila dan UUD 45 sebagai dasar negara Indonesia dengan tegas mengakui HAM sebagaimana dijamin oleh konstitusi UUD 45.

HAM sejatinya adalah hak-hak dasar yang dimiliki manusia karena kodrat dan martabat sebagai manusia ciptaan Tuhan. Hak dasar yang diberikan kepada setiap individu, oleh karenanya telah diatur dalam hukum positif .

UUD 45 pasal 28 menjamin HAM setiap individu.

Terkait dengan kepemilikan hak milik, sebagaimana tercantum dalam pasal 28H ayat 4: Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

Sandang pangan dan papan adalah kebutuhan dasar yang dijamin konstitusi. Kepemilikan Tanah adalah bagian tempat berdirinya papan (tempat tinggal) dan juga sarana untuk memproduksi sandang dan pangan yang diatur oleh UU.

Kepemilikan tanah warga negara secara administratif dikelolah oleh kementrian BPN/ATR. Dalam urusan administrasi seringkali timbul masalah yang disebabkan maladministrasi oleh BPN, terkadang tidak tertutup kemungkinan kekeliruan sistematis oleh BPN?

Salah satu fakta nyata ada di depan mata. Sepelemparan batu dari ibukota negara, di kelurahan Jatikarya, kota Bekasi jawa barat.

Konflik agraria pengakuan hak kepemilikan tanah berlangsung dari tahun 1992 hingga 2021 belum tuntas diselesaikan BPN, padahal sudah incracht sejak 2019 oleh putusan PK II. Hak kepemilikan tanah sah warga Jatikarya yang telah berkekuatan hukum tetap melalui keputusan MA PK II No 815 PK/Pdt/2018 tidak kunjung dihormati dan dilaksanakan oleh Kementerian ATR/BPN.

Di atas sebagian objek perkara tanah tersebut, yakni seluas 4,2 hektar sudah dibangun Proyek Strategis Nasional Jalan Tol. Biaya pembebasan tanah warga dititipkan uang ganti rugi melalui konsinyasi di PN Bekasi.

Tetapi karena sikap BPN yang tidak menghormati hukum, walau sudah berulang kali dimohonkan surat pengantar kepada BPN Bekasi, permohonan tersebut tidak dikabulkan, justru persoalannya dilimpahkan ke level kementerian.

Dengan berbagai alasan, Kementerian BPN bersikap diam, dan sama sekali tidak ada respon. Padahal UU cipta kerja bermaksud mempermudah dan memastikan PSN berlangsung dengan baik. Sehingga perbuatan Kementerian ATR/BPN kontraproduktif dengan maksud mulia undang-undang tersebut. Dengan sikap diam tersebut BPN disinyalir telah mengambil hak tanah warga masyarakat Jatikarya secara sewenang-wenang, yang dapat dikategorikan melanggar HAM.

Sesuai UU 2 tahun 2012 serta aturan pelaksanaannya PP 19 tahun 2021 dan Peraturan Menteri Nomer 19 tahun 2021, untuk mengambil uang ganti rugi diperlukan putusan berkekuatan hukum tetap dengan disertai surat pengantar dari ketua tim pengadaan tanah.

Alhasil degan tidak dikeluarkannya surat pengantar, BPN dengan sengaja telah keluar dari UU tersebut. Tanpa payung hukum UU 2 tahun 2012, pengadaan tanah akan berpotensi merampas tanah warga masyarakat dan melanggar HAM

Tanah warga Jatikarya hingga hari ini masih belum diakui oleh BPN sebagai milik warga, dengan mengabaikan Putusan MA yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal di atas tanah tersebut sudah beroperasi jalan tol secara komersial.

Bukan MA yang tidak adil dengan putusannya, bukan pula Kementerian PUPR yang sewenang-wenang membangun proyek di atas tanah warga. Tetapi BPN tidak menghormati putusan yang berkekuatan hukum tetap, abai atas hak warga masyarakat, sehingga pengadaan tanah tol tersebut merampas tanah masyarakat secara semena-mena dan melanggar HAM ratusan warga Jatikarya.

Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dilaksanakan, bukan sekedar disosialisasikan atau dijadikan dasar pembelaan. UUD 45, UU No 2 Tahun 2012, UU Cipta Kerja sudah tepat dijadikan landasan hukum Kementrian BPN. Ketika ada putusan hukum yang sudah sejalan dengan semua undang-undang di atas, namun Kementrian BPN tidak melaksanakannya disitulah letak pelanggaran hukum yang sebenarnya. Lebih jauh lagi terjadi pelanggaran HAM terkait hak fundamentalis manusia.

Bukan juru bicara Kementerian BPN yang berargumentasi, bukan pula Dirjen-dirjen BPN yang bersembunyi di balik meja, tetapi Menteri BPN/ATR Sofyan Djalil yang harus bertanggung jawab.

Semoga Presiden Jokowi dengar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here