Kursi Kosong dan Perlawanan Menteri Kesehatan

Penulis: Azas Tigor Nainggolan

Topik bahasan publik menarik di media dan sosial media pekan ini adalah wawancara Najwa Shihab dengan kursi kosong di Mata Najwa. Wawancara kursi kosong itu dikarenakan Najwa tidak berhasil menghadirkan Menteri Kesehatan Terawan sebagai narasumbernya pada Senin 28 September 2020. Padahal sebelumnya menteri kesehatan sudah mengirimkan seorang Dirjennya sebagai pengganti. Nah wawancara dengan kursi kosong inilah yang memicu banyak kritik publik terhadap acara Najwa Shihab. Publik mencurigai ada niat tertentu ingin memojokan atau menjebak menteri kesehatan secara sepihak dalam wawancara tersebut.

Ya, bisa saja menteri kesehatan tidak memiliki waktu cocok dengan yang diajukan Najwa Shihab. Bisa juga menteri kesehatan merasa berpikir undangan wawancara di acara Mata Najwa itu tidak netral dan tidak penting. Tapi menteri kesehatan sudah mengirimkan seorang dirjen dari kementerian kesehatan sebagai pengganti dirinya.

Sebagai seorang Aktivis Sosial, Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik saya juga memiliki banyak pengalaman diundang sebagai narasumber oleh media massa elektronik. Sebagai narasumber, saya tidak selalu memenuhi undangan wawancara terhadap diri saya. Ada banyak alasan saya terpaksa menolak undangan tersebut, seperti waktu tidak cocok. Sering saya mendapat undangan di akhir pekan atau liburan dan itu sering saya tolak jika berbenturan dengan acara keluarga atau tugas di gereja. Bisa juga saya menolak karena topik yang diajukan bukanlah isu yang saya geluti atau kerjakan setiap harinya. Ada juga penolakan saya lakukan karena saya curiga, mendapat informasi dan dugaan atau indikasi wawancara tersebut hanya menggunakan saya untuk menjatuhkan orang lain atau ingin memojokan saya sebagai pribadi atau seorang aktivis. Indikasi atau informasi tambahan penguat sekarang ini mudah didapat di berbagai media dan dapat kita gunakan saat membuat keputusan. Atau biasanya juga pihak produser atau tim kreatif acara yang mengundang saya itu akan bertanya dulu tentang sikap saya terhadap isu tertentu. Jika sikap saya pro atau kontra, dan sesuai kepentingan produser maka saya akan diundang untuk menjadi narasumber acara wawancara yang disiapkan. Cara pendekatan atau “pesanan” atau kepentingan tertentu sudah lazim dan banyak menjadi patokan pemilik acara atau produser acara talkshow sekarang. Sehingga seorang narasumber yang “terjebak” akan jadi sasaran dan permainan di acara wawancara tidak sehat juga tidak etis. Nah kondisi dan pengalaman ini banyak membuat pejabat publik, tokoh publik atau narasumber harus hati-hati menerima undangan sebagai narasumber sebuah acara wawancara atau talkshow. Jika si calon narasumber merasa tidak nyaman dan tidak aman atau curiga maka akan menolak bahkan melawan apabila terus dipaksa untuk hadir. Apabila memang undangan itu benar baik dan tidak patut dicurigai, seharusnya produser atau pemilik acara terus meyakinkan di narasumber agar mau hadir. Jangan cepat putus asa, emosi dan memojokan narasumber yang menolak, menggantikannya dengan kursi kosong serta mempermalukannya.

Saya pun sering menolak dan akan menolak undangan jika acara tersebut sudah disusun untuk kepentingan menghantam saya atau menggunakan saya untuk menghantam pihak lain. Ada banyak pengalaman undangan yang saya tolak dan lawan jika terus dibujuk, dipaksa bahkan dikritik dikatakan tidak mau bekerja sama dengan teman atau acara mengundang tersebut. Ya jika kita atau saya merasa tidak nyaman dan tidak aman, sebagai manusia, sebagai calon narasumber maka akan menolak agar tidak membahayakan dirinya serta pekerjaannya. Bisa jadi memang undangan itu ada maksud tertentu yang dicurigai tetapi kan menteri kesehatan tetap beritikat baik dan mengirimkan seorang dirjennya. Cara Najwa Shihab menolak dirjen yang diutus dan menukar kehadiran menteri kesehatan Terawan dengan kursi kosong adalah memperkuat dugaan indikasi undangan acaranya tidak nyaman atau tidak aman. Jadi keputusan menteri kesehatan tidak aman dan tidak nyaman maka menteri kesehatan Terawan melawan tidak mau hadir. Sebagai pekerja media, seharusnya punya banyak cara atau jaringan untuk meyakinkan narasumbernya agar merasa aman dan nyaman dengan undangan yang kita berikan. Tidak mudah emosional dan membuat langkah buruk memojokan atau menghina narasumbernya.

Jakarta, 2 Oktober 2020
Azas Tigor Nainggolan.
Advokat dan Pengamat Kebijakan Publik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here