Penulis: Andre Vincent Wenas
Ada dua hal yang menarik baru-baru ini.
Pertama. Larangan ekspor migor. Yang jelas ini ‘shock-therapy’ ala Presiden Joko Widodo yang telah sangat efektif “menggiring” semua pemain sawit berembuk bersama aparatus negara untuk: memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat (minyak goreng) dengan harga yang wajar.
Yang kedua, Jokowi blusukan ke Ancol untuk melihat langsung sampai dimana proses pembangunan sirkuit yang rencananya diperuntukan untuk balapan internasional mobil listrik Formula-E.
Pembelajaran dari blusukan Jokowi adalah bahwa uang rakyat yang telah banyak dihabiskan untuk persiapan perhelatan Formula-E ini tak boleh sia-sia. Proyek infrastruktur (sektor riil) yang sedang dibangun ini memakai uang rakyat, maka jangan sampai mangkrak seperti Candi Hambalang.
Sayangnya, masih banyak pihak (dengan motifnya masing-masing) yang kerap mencampur-adukan kerja politik kerakyatan Presiden Joko Widodo dengan persoalan hukum (ranah yudikatif), maupun mengacaukannya dengan proses politik di parlemen (ranah legislatif).
Persoalan hukum: OTT Kejaksaan terhadap mafia migor, dan proses penyelidikan KPK terhadap dugaan korupsi proyek Formula-E tetap berjalan. Begitu pula proses politik di parlemen: yaitu usulan hak interpelasi di DPRD DKI Jakarta.
Sejak dulu bukankah Presiden Jokowi (sebagai eksekutif) selalu menyatakan bahwa ia tak akan mencampuri proses hukum yang sedang berjalan. Lantaran itu sudah ranahnya yudikatif. Ingat saja kasus Ahok dulu. Sementara proses interpelasi adanya di ranah legislatif atau parlemen.
Kita meyakini, Presiden Jokowi tetap menghormati pemisahan atau pembagian kekuasaan ala trias politika itu. Semata-mata demi mencegah terjadinya kolusi yang menjurus pada korupsi yang absolut.
Lord Acton bilang, “power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely.” Kekuasaan itu cenderung korup, maka kekuasaan yang absolut akan korup secara absolut pula.
Karena itulah penyelenggaraan administrasi negara dibagi kekuasaannya menjadi tiga ranah: eksekutif, legislatif dan yudikatif. Supaya terjadi ‘check-and-balances’. Perimbangan kekuasaan, saling kontrol, saling periksa.
Komunikasi politik ala Jokowi pun rupanya mesti dibaca dengan ekstra teliti. Ambil contoh soal pengumuman larangan ekspor minyak goreng dan “bahan-baku minyak goreng” kemarin, serta kerja blusukannya ke Ancol. Keduanya adalah kecerdikan komunikasi politik khas Jokowi.
Soal pelarangan ekspor. Istilah “bahan-baku minyak goreng” yang dikatakan Jokowi adalah istilah yang semestinya dicermati baik-baik. Lantaran dalam proses produksi minyak goreng itu ada beberapa tahapannya dari semenjak Tandan Buah Segar (TBS) dipanen dan diproses jadi Crude Palm Oil (CPO), untuk kemudian dikirim ke pabrik rafinasi (refinery).
Di pabrik rafinasi itu prosesnya harus melewati beberapa tahapan lagi sebelum jadi minyak goreng yang siap digoreng oleh emak-emak komplek. Dan setiap tahapan proses rupanya adalah “bahan baku” bagi proses selanjutnya. Wah, cerdas juga ya.
Jadi yang mana yang dimaksud Presiden Jokowi dengan “bahan baku minyak goreng”? Ini masih terbuka untuk ditentukan kemudian. Tergantung “kepatuhan semua pihak” terhadap “pemenuhan kebutuhan domestik dengan harga wajar”. Mantap.
Dan, jangan lagi ada yang nakal dengan bermain gila di proses Persetujuan Ekspor (PE) Kementerian Perdagangan. Proses hukum di Kejaksaan masih terus berjalan.
Kemudian komunikasi politik Jokowi pasca muter-muter di sirkuit Ancol disopiri Gubernur Anies, “Ya… saya ini ingin melihat persiapan Formula-E seperti apa, dan di lapangan seperti kita lihat saya kira untuuk… apaa… (terdiam beberapa saat) untuk…. (lalu disela oleh Gubernur Anies: track) …track balapannya sudah siap, kemudian mungkin yang tinggal dikejar… mmm… paddock dan untuk… mmm… grand-stand-nya… Saya kira masih ada waktu nanti habis… lebaran ya. Kita harapkan nanti di awal Juni kita bisa melihat… balapannya.”
Ya, Jokowi ingin memastikan infrastruktur sirkuit jangan sampai mangkrak, dan “diharapkan” kita bisa melihat balapannya nanti di awal Juni. Syukur-syukur jika penyelenggaraannya pun terlaksana dengan tidak memalukan muka Indonesia di depan publik internasional. Semoga.
Sekali lagi, blusukannya Jokowi ke Ancol ini tak ada hubungannya dengan proses hukum (proses penyelidikan) yang tengah dilakukan oleh KPK. Itu tetap berjalan. Juga tak ada kaitannya dengan proses politik kerakyatan (hak interpelasi, bertanya) yang tengah diupayakan oleh Fraksi PSI dan PDIP di parlemen Jakarta. Ini semata-mata demi memperoleh kejelasan tentang pertanggungjawaban publik soal penggunaan uang rakyat.
Jadi, dua kerja Presiden Jokowi baru-baru ini (larangan ekspor migor dan kunjungan ke Ancol) semata adalah demi mengejawantahkan substansi politik kerakyatan, yaitu semua proyek yang dibiayai APBN atau APBD adalah demi kepentingan rakyat dan tak boleh sia-sia. Tak ada relevansinya dengan mendukung Si Polan atau merestui proyek Si Bedul.
Ayo kerja, kerja, kerja!
28/04/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis (LKS) PERSPEKTIF, Jakarta.