Penulis: Andre Vincent Wenas
Pembangunan insfrastruktur besar-besaran yang dikerjakan Presiden Jokowi itu selain berbentuk fisik, juga berupa “pemberesan” carut-marutnya bangsa dengan berbagai paham radikal anti-Pancasila, anti-NKRI yang kerap bikin gaduh tidak karuan.
Freeport diambil alih, kebakaran hutan ditangani, ekspor bahan mentah satu persatu disetop demi peningkatan nilai tambahnya, perbatasan negeri ditata, tol laut diupayakan demi memangkas biaya distribusi (logistik) di negeri kepulauan ini. Dan banyak lainnya. Termasuk dengan berani melawan mafia migas (bubarkan Petral), mengebiri mafia migor, mengambil alih sertifikasi halal dari ormas MUI, serta semua yang mengejawantah dalam bentuk ormas intoleran pun dibubarkan.
Itu semua Langkah-langkah konkrit yang telah kita rasakan bersama. Dan pasca dua periode kepemimpinannya, banyak pihak yang ingin serta bertekad untuk meneruskan semangat kerja… kerja… kerja… yang seperti itu. Pendeknya, legacy Presiden Jokowi yang seperti itu mesti dilanjutkan!
Salah satu pihak yang bertekad merawat legacy itu adalah ormas Pelangi Kebangsaan. Ini ormas nasionalis, narasinya soal ke-Indonesia-an, bangsa yang de facto beragam namun bersatu. Laksana Pelangi yang warna-warni dengan segala nuansanya membentuk satu busur yang indah di cakrawala. Ketua Dewan Penasehat ormas ini adalah Dr. HR Agung Laksono.
Oleh ormas Pelangi Kebangsaan semua keragaman itu diikat dalam rumusan visi untuk: “Memperjuangkan persatuan dan kesatuan dari beraneka ragam suku, agama, ras dan antar golongan demi tegaknya Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika untuk diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, demi tercapainya NKRI yang adil, makmur, sejahtera, harmonis, toleran dan bergotong royong.”
Wuihh… panjang ya kalimat visinya, kalau mesti diucapkan dalam satu tarikan nafas kita perlu latihan berenang atau menyelam dua kali seminggu minimal.
Dengan tujuan besar seperti itu, maka rasionalisasi dari eksistensi keberadaannya (reason for being/mission) ormas ini dirumuskan – tahan napas lagi – dengan lengkap:
“Turut serta menciptakan dan mengembangkan sumber daya manusia yang unggul, professional, ahli, berbudi pekerti luhur, berjiwa Pancasila, nasionalis, toleran dan ber-bhinneka tunggal ika serta mendorong dan mendukung tokoh-tokoh yang sama visi misi dan cita-cita untuk dapat menjadi pemimpin regional, nasional dan internasional yang dapat membawa kemakmuran dan kejayaan bangsa Indonesia di antara bangsa-bangsa di dunia.”
Bagi yang bisa mengulang itu tanpa baca teks dan tanpa jeda nafas itu pastilah sehat jasmani-rohani serta punya daya memori yang luar biasa.
Minggu lalu saya ikut sebagai salah satu nara-sumber diskusi kebangsaan ormas itu. Berkumpul di sebuah resto Kawasan Senayan dalam acara Halal Bihalal pada 18 Mei 2022 yang bertema “Bersilaturahmi Memperkuat Persatuan dan Kesatuan”. Bersama saya juga ada Zen Assegaf alias Habib Kribo, Rudi Kamri, dan Mazdjo Pray yang humoris itu.
Setelah Ir. Johanes W. Nurwono (Ketua Umum) serta tiga penasihat Pelangi Kebangsaan yang hadir malam itu: Irjen Polisi (Purn) Drs. Sidarto Danusubroto,SH., Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto,SIP,MA., dan Maxi Gunawan (tokoh Kadin) menyampaikan pandangan dan wejangannya, kita pun angkat bicara.
Topik sekitar Pemilu 2024 (ini soal suksesi kepemimpinan nasional) serta segala tantangannya. Pertanyaan besar tentang Siapa? Mengapa dan bagaimana kira-kira kalau dia yang memimpin? Serta apa peran yang mesti kita jalankan sebagai masyarakat sipil (civil-society) yang peduli dengan nasib bangsa ini?
Pertama soal siapa yang kira-kira bakal jadi calon presiden (serta wakilnya). Saya sampaikan, paling logis tentu dengan memperhitungkan matematika politik yang faktual saat ini. Yaitu, sesuai undang-undang, hanya fraksi di parlemen (DPR-RI)-lah yang bisa mengajukan siapa bakal paslon presiden/wakil presiden selama memenuhi 20 persen ‘presidential threshold’. Dan – ini factor yang penting – bahwa semua fraksi di DPR itu sangatlah dipengaruhi (dikendalikan?) oleh parpolnya, maka peran Ketua Umum parpol jadi krusial.
Bahwa siapa pun yang punya ambisi untuk jadi presiden mestilah diusung oleh parpol-parpol itu. Kalau cuma berambisi – walau popularitas serta dugaan elektabilitasnya di berbagai survey itu lumayan – tapi kalau tanpa didukung parpol secara de-jure (20% batas ambang), maka de-facto ia hanya mimpi di siang bolong. Tong kosong nyaring bunyinya. Bagai katak merindukan bulan. Ratapan anak tiri.
Jadi pertama-tama bacalah peta politik yang ada di parlemen (DPR-RI): PDIP (128 kursi, atau 22,26%), Golkar (85 atau 14,78%), Gerindra (78, atau 13,57%), Nasdem (59 atau 10,26%), PKB (58 atau 10,09%), Demokrat (54 atau 9,39%), PKS (50 atau 8,7%), PAN (44 atau 7,65%) dan PPP (19 atau 3,3%). Total 575 kursi.
Hanya PDIP yang tanpa koalisi bisa mengajukan paslonnya sendiri. Dan baru-baru ini ada deklarasi poros “Koalisi Indonesia Bersatu”: Golkar (14,78%) dengan PAN (7,65%) dan PPP (3,3%), total: 25,73%. Jadi sudah memenuhi syarat ‘presidential-threshold’.
Sehingga tersisa: Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat dan PKS. Pertanyaannya jadi, mau ke koalisi mana ke-5 parpol itu akan berlabuh? Atau kalau mau ada poros ketiga, siapa saja di poros ketiga itu?
Apakah parpol oposisi: Demokrat (9,39%) dan PKS (8,7%) akan berkoalisi, total baru: 18.09%, ini belum cukup memenuhi ambang batas. Perlu “merekrut” parpol lain, maka siapa yang mau bergabung dengan mereka?
Sementara ini kita sudah mendengar tentang “kesepakatan Batutulis”, juga “politik/diplomasi nasi-goreng”, yang katanya – mengindikasikan – bakal berkoalisinya PDIP dengan Gerindra. Itu artinya: 35,83%, sudah jauh di atas ambang batas.
Kesepakatan “Batutulis” atau “Diplomasi Nasi-goreng” ini kabarnya demi mengusung Prabowo-Puan. Kalau ini yang terjadi maka tersisa pertanyaan, kemana Nasdem (10,26%) dan PKB (10,09%) yang totalnya 20,34%? Ataukah kedua parpol ini mau membentuk poros ketiga? Jika terbentuk tiga poros: 1) PDIP-Gerindra, 2) Golkar-PAN-PPP dan 3) Nasdem-PKB, maka konsekuensinya Demokrat serta PKS mau tidak mau mesti memilih untuk masuk ke salah satu dari ketiga poros itu.
Namun kita semua sudah tahu sama tahu, dan tempe sama tempe, bahwa di tengah dinamika pembentukan koalisi atau poros-porosan itu, tengah terjadi juga – it goes without saying (sebetulnya) – berbagai pola transaksional “wani-piro?” di belakang layar.
Setelah poros itu mengristal nantinya, maka – di depan layar – mulailah disimulasikan figur-figur yang “diduga” (salah satu yang terpenting adalah dari hasil survey) bakal punya elektabilitas (popularitas, kapabilitas serta rekam-jejak) yang ciamik punya. Artinya ya yang nasionalis, dianggap cerdas dan jujur, serta tidak punya rekam-jejak memecah belah bangsa atau yang pernah membiarkan (ignorance) terhadap anasir-anasir intoleran serta radikalis. Figur seperti itu bakal disebut: punya kapasitas!
Setelah (atau bersamaan dengan) faktor kapasitas itu maka dipertimbangkan juga soal: Isi Tas! (logistik politik). Kapasitas dan Isi-Tas ini penting dan realistis. Geng Kadin biasanya cukup tajam penciumannya soal ini. Karena ini akan menentukan kemana laju logistik mereka bakal dikirim. Bisa dalam bentuk fasilitas (private-jet misalnya), akses informasi, atau arus-kas.
Figur (nama) yang selama ini beredar cukup popular adalah para Ketua Umum parpol seperti: Prabowo Subianto, Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar, mereka tentu perlu diperhitungkan. Disampin para kader parpol maupun professional (teknokrat) seperti yang ada dalam daftar 9 tokoh “RembukRakyatPSI” (www.rembukrakyat.psi) : Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Ridwan Kamil, Andika Perkasa, Emil Dardak, Najwa Shihab, Sri Mulyani Indrawati, Mahfud MD dan Tito Karnavian tentu bukanlah figur kaleng-kaleng, sehingga juga ada dalam orbit yang cukup sentral.
Nama-nama lainnya ada Bambang Susetyo, Anies Baswedan, Sandiaga Uno dan Agus Harimurti Yudhoyono, mereka juga kabarnya sudah “bergerilya” kesana-kemari. Tinggallah para para tokoh sentral (driving-forces) dari dua atau tiga poros koalisi itu yang nanti menentukan mau mengusung siapa. Mungkin juga sambil berbisik-bisik: “wani-piro?” Mungkin lho ya.
Take away penting bagi para laskar Pelangi Kebangsaan (dan bagi kita semua tentunya) dari pertemuan itu adalah pesan dari anggota Wantimpres Irjen Polisi (Purn) Drs. Sidarto Danusubroto,SH.:
“Sekarang ini kita dipimpin oleh Presiden Jokowi, seorang Nasionalis-Pancasilais, sudah banyak meninggalkan legacy… perubahan yang nyata… merubah wajah Indonesia (lebih maju). Nah ini kita harapkan supaya legacy yang ditinggalkannya itu bisa diteruskan oleh seorang yang juga Nasionalis-Pancasialis!”
25/05/2022
Andre Vincent Wenas, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF, Jakarta.