SintesaNews.com – Kegiatan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU 2 tahun 2012.
Ketika ada pihak yang menolak bentuk dan/atau besar ganti rugi; atau objek sedang menjadi perkara hukum antar pihak maka uang akan dititipkan di Pengadilan Negeri, dan dapat diambil oleh pemenang yang berhak setelah putusan berkekuatan hukum tetap (BHT) disertai surat pengantar dari BPN.
Entah mengapa, seringkali BPN tidak menerbitkan surat pengantar tanpa alasan jelas. Menghambat pelaksanaan pengadaan tanah dan kontraproduktif UUCK yang justru ingin mempermudah dan mempercepat iklim investasi. Dengan kejadian demikian cukup dapat dimengerti kenapa ada tudingan kalau BPN adalah bagian dari MAFIA tanah itu sendiri?
Entahlah…., yang pasti itu suatu contoh PRAKTEK PELAYANAN PUBLIK YANG BURUK tentunya.
Sebagai konsekuensi, tidak dibayarnya uang konsinyasi, otomatis telah terjadi praktek mengambil tanah warga masyarakat dengan tanpa membayar ganti rugi, perbuatan demikian adalah sewenang wenang, bertentangan dengan pasal 3 UU 2 tahun 2012 dan pasal 28 UUD 45, yang melanggar HAM.
Hal tersebut terjadi juga dalam kegiatan Pengadaan Tanah Tol Cimanggis Cibitung ruas Jatikarya.
Uang sudah dititipkan sejak tahun 2016, saat ini Jalan Tol sudah beroperasi secara komersil, namun uang ganti ruginya belum juga diserahkan kepada masyarakat yang berhak, padahal sudah berkekuatan hukum tetap BHT (PK II) sejak Desember 2019, karena BPN tidak menerbitkan surat pengantar walau sudah dimohonkan berulang kali, bahkan juga dimohonkan ke Menteri Sofyan Djalil. BPN diam. Apakah sikap diam ini bagian untuk melindungi mafia di BPN?
Sehingga terhitung Desember 2019 telah terjadi pembiaran perampasan hak secara sewenang wenang yang melanggar HAM warga masyarakat Jatikarya (Candu bin Godo, dkk).
Bahwa Putusan PK II No. 815 PK/Pdt/2018 jo PK I No.218 PK/Pdt/2008, mengakhiri seluruh perkara yang ada. Menyatakan warga masyarakat adalah pemilik, menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya untuk membayar ganti rugi.
Dalam konteks objek perkara No. 218 PK/pdt/2008, dengan penetapan konsinyasi No.04/Pdt.P.Cons/2016/PN Bks , pihak PUPR adalah pihak lain yang telah menguasai sebagian tanah objek perkara seluas 4,2 ha untuk dibangun Jalan Tol, namun secara sukarela telah menitipkan uang ganti rugi di PN Bekasi. Peran PUPR clear.
Bahwa dengan penetapan konsinyasi sudah terjadi pemutusan hubungan hukum antara pemilik dengan objek tanah miliknya, surat2 kepemilikan dinyatakan tak berlaku, tanah langsung dikuasai Negara.
Secara konvensional surat pengantar BPN dipersyaratkan untuk mengambil uang konsinyasi, namun karena BPN BERMASALAH (tidak menghormati hukum dan melanggar HAM), maka sesuai amar putusan condemnatoir dapat dimohonkan pelaksanaan eksekusi.
Dalam pelaksanaan eksekusi tidak diperlukan syarat apapun termasuk surat pengantar.
Berdasarkan penetapan No 20/EKS.G/2021/PN. BKS telah di-anmaning secara patut kepada parapihak. (terhadap BPN telah ditegor 2 kali, namun tidak hadir).
Lagi lagi BPN bersikap tidak menghormati hukum (pelecehan terhadap lembaga peradilan?). Karena anmaning tidak diindahkan seyogiyanya wajib ditindaklanjuti dengan eksekusi penyerahan uang ganti rugi atas hak tanah seluas 4,2 ha (yang telah berubah menjadi uang konsinyasi ), kepada warga masyarakat yang berhak tanpa syarat apapun termasuk surat pengantar BPN.
Dalam tahapannya PN Bekasi sudah mendapat 2 surat petunjuk pelaksanaan pembayaran ganti rugi dari Pengadilan Tinggi Bandung (dari 2 era kepemimpinan KPT berbeda) dengan rekomendasi serupa dapat diserahkan kepada principal sejauh tidak ada perkara hukum lagi. Saat ini sudah clean & clear, tidak ada perkara hukum lainnya lagi.
Disadari, pelaksanaan putusan adalah kewenangan Ketua PN. Namun kewenangan tersebut bukanlah kewenangan yang tidak tak terbatas, wajib bagi Ketua PN untuk melaksanakan kewenanganya dengan penuh tanggungjawab! Jika tidak, akan timbul tanda tanya besar, ada apa gerangan dengan Ketua PN Bekasi?
Pengadilan Tinggi sebagai Kawal Depan MA harus bersikap tegas, dalam mengawal proses pelaksanaan eksekusi ganti rugi tanah tol tersebut. Pembiaran dalam hal ini bearti membiarkan pelanggaran HAM, harus ada ketegasan mengakhiri itu semua. Apalagi dengan putusan BHT, Pengadilan harus melaksanakan produk hukum yang dihasilkannya sendiri. Jika bukan Pengadilan, siapa lagi yang akan diharapkan?
Badan Pengawas MA harus mengevaluasi hasil kerja Ketua PN Bekasi?
Jika dibiarkan terus lembaga Peradilan akan dituding sebagai institusi yang ikut membiarkan pelanggaran HAM? Lantas apa gunanya perintah condemnatoir yang sudah di anmaning tidak dituntaskan melalui upaya eksekusi penyerahan uang kepada masing-masing prinsipal sebagaimana petunjuk Pengadilan Tinggi?
Di mana letak kepastian hukum jika PK II yang BHT tidak kunjung dilaksanakan Ketua PN?
Di mana marwah wakil Tuhan di muka bumi? Apakah akan dibiarkan praktek perampasan hak secara sewenang-wenang dan merupakan pelanggaran HAM tersebut berlarut-larut?
Kini saatnya Yang Mulia Ketua MA dan khususnya Yang Mulia Ketua Pengadilan Tinggi Bandung, Dr. HERRI SWANTORO sebagai Kawal Depan MA menyikapi ketidakprofesional Ketua PN Bekasi? Yang tidak kunjung juga melaksanakan petunjuk yang sudah diberikan Pengadilan Tinggi Bandung 2 kali.
Dan waktunya bagi Badan pengawasan MA untuk melakukan audit terhadap kinerja Ketua PN Bekasi, agar institusi MA tidak tercoreng.
Untuk diketahui putusan PK I diputus oleh Dr. HARIPIN TUMPA, Prof. Dr. HATTA ALI, yang tidak lain adalah mantan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan PK II diputus oleh ketua majelis PROF DR SYARIFUDDIN yang tidak lain adalah ketua MA saat ini.
Semoga Yang Mulia Prof. Dr. Syarifuddin dan Dr. Herri Swantoro dengar…, jeritan warga masyarakat terzholimi dan terusir dari tanah miliknya sendiri.
Baca juga: