Mbak Kiki, Just for a While

Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi

“Just for a while”, julukan yang diberikan kepadanya oleh teman-teman dekatnya, karena kalau pamit selalu bilang; “Just for a while”, tapi baru muncul lagi berjam-jam kemudian.

Lahir di Jakarta 13 Oktober 1958, lulusan SMA Negeri 11 Jakarta ini masuk FISIP Universitas Indonesia tahun 1978, mengambil jurusan Kriminologi.

-Iklan-

Kiki Pranasari namanya.

Sejak mahasiswa sudah menjadi asisten dosen dan tetap menjadi pengajar setelah lulus kuliah. Tercantum di banyak sekali organisasi, walau hanya aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan seperti MAPALA UI, POM UI (Persatuan Olah Raga Menembak) yang dilanjutkannya hingga menjadi atlet nasional dalam cabang olah raga Menembak.

Dompet Mbak Kiki (demikian saya menyapanya) saat masih kuliah penuh dengan kartu keanggotaan organisasi, serius banyak sekali.

Satu hari Kiki berjalan-jalan bersama peer group-nya ke Pasar Seni Ancol, saat itu ada razia KTP, Polisi meminta semua menunjukkan KTP. Dengan mudah teman-temannya menunjukkan KTP mereka, tapi Mbak Kiki tidak. Mbak Kiki keluarkan dompetnya, keluarkan semua kartu yang ada di dompetnya dalam rangka mencari KTP penyelamat, sampai Polisi yang menungguinya bingung sekaligus kagum, syukurlah KTP akhirnya ditemukan.

Temannya bercerita; “Kiki itu tidak bisa lihat papan pengumuman yang ada pengumuman pendaftaran jadi anggota, apapun judulnya, organisasi apapun itu, pasti dia langsung daftar jadi anggota…”, unique.

Mbak Kiki sangat-sangat dibanggakan keluarganya, apalagi sang Ayah yang sangat sayang padanya. Ayah Mbak Kiki yang seorang wartawan banyak memberi masukan padanya, termasuk ketika Mbak Kiki jadi wartawan koran Salemba, koran kampus masa itu. Panutan untuk adik-adiknya, Mbak Kiki adalah kakak yang paling dihormati dan selalu didengarkan nasehatnya baik adik laki-laki maupun adik perempuan. Mbak Kiki yang disebut “kemayu” (padahal Mapala, Menwa, dan atlit menembak) melanjutkan menjadi dosen di Kriminologi FISIP – UI, lalu menikah dengan Mas Bimmo Setiawan, rekan satu jurusan di Kriminologi.

Saya bukan mahasiswa yang cemerlang dalam hal akademis, terlalu banyak main dan tidak fokus pada kuliah membawa saya pada titik terancam DO pada semester IV tahun 1992. Tapi saya biasa saja, tidak panik, tidak takut, karena TIDAK TAHU terancam DO. Kepanikan baru muncul setelah saya dipanggil oleh senior-senior tersayang yang jadi asisten dosen saat itu dan diberitahu bahwa saya “limit menuju maut”. Tercatat Mbak Mamik, Mbak Anti, Mbak Santi (sekarang Sekjur Dept. Kriminologi), dan Mbak Tinduk (sekarang Kepala Dept. Kriminologi), mendudukkan saya dan menerangkan posisi saya.

Saya harusnya DO, tapi dalam rapat jurusan Pembimbing Akademik saya yang bersikukuh bahwa saya harus diberi kesempatan. Tarik ulur dan perdebatan terjadi, saya diragukan akan berubah, diragukan dapat menunjukkan kemampuan saya di bidang akademis.

Pertanyaan terkait kemampuan akademis saya ini dijawab oleh Pembimbing Akademik saya dengan; “Kasih dia kesempatan menunjukkan kemampuannya, saya tahu dia mampu, saya yang jamin dia akan berubah”. Akhirnya dengan pertimbangan beberapa dosen lain, keputusan rapat mengikuti permintaan Pembimbing Akademik saya tersebut, Mbak Kiki.

Hari itu juga, Mbak Kiki menghadap dosen “Sistem Sosiologi di Indonesia” (saya dapat D waktu itu), DR. Paulus Wirutomo MSc. (sekarang sudah Profesor), dan meminta beliau untuk memberi saya kesempatan “her” alias remedial kalau jaman sekarang. Beliau memberikan kesempatan dengan meminta saya membuat makalah sosiologi, dan berhasil saya buat dengan bimbingan asisten beliau Mbak Iva (sekarang Dr. Ade Iva Murty, M.Si). Hasil penilaian Prof. Dr. Paulus Wirutomo MSc keluar, berdasarkan makalah saya mengenai diskriminasi terhadap etnis Tionghoa di Indonesia, nilai D berubah menjadi B. Saya batal DO.

Jika bukan karena kebersikukuhan Mbak Kiki Pranasari, dengan dukungan para senior yang luar biasa “galak” tapi baik, dan Mbak Iva yang sangat sabar, saya tidak akan menjadi saya yang sekarang ini.

Tidak lupa, dan tidak akan pernah lupa semuanya. Di tahun yang sama, 1992, tepatnya 9 Desember 1992, orang baik yang bagi saya setengah malaikat itu, Mbak Kiki, pergi untuk selamanya setelah mengalami kecelakaan. Dikenang sampai sekarang karena kebaikan, kegigihan, kepintaran, dan prestasinya. Berbagai medali dari cabang olah raga menembak masih tersimpan rapih sampai saat ini di rumahnya.

Pandai bergaul, aktif, berprestasi, kuat, mau berjuang untuk orang lain, gemar menolong, gigih, tegas, dll. Kurang Indonesia bagaimana lagi Mbak Kiki ini…?

Mbak Kiki, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini bagian dari seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca tulisan lainnya di sini:

Herry Orang Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here