Penulis: Dahono Prasetyo
Permasalahan usai mudik Lebaran adalah arus urbanisasi. Bagaimana kota semakin dibanjiri pendatang yang datang atas inisiatif sendiri ataupun ajakan keluarga, kerabat.
Jakarta sebagai kota terbesar menjadi magnet urbanisasi dengan prosentase tertinggi. Pemerintah dari tahun ke tahun tak juga menemukan solusi ampuh membendung arus pendatang yang ingin mengadu nasib, jodoh, keahlian hingga nyali di kota Megapolitan. Namun begitulah kota, tak bisa diam dengan perkembangan zaman yang menuntut dinamika pelakunya.
Ibukota adalah sebuah “etalase”, tempat memajang dan menjajakan aneka mimpi, harapan, cita cita dan karir. Diantara hutan beton bertingkat, di belakang reklame angka angka, lampu gemerlap dan iklan di gadget.
Jakarta menawarkan kepada siapa saja yang mampu membelinya, memanfaatkan bahkan mencurinya.
Beberapa waktu sempat diskusi dengan kawan yang pernah menetap di Jakarta namun memutuskan pulang ke kampung halamannya setelah berkeluarga. Trauma kejamnya ibu kota membekas pada dirinya.
Dia dulunya kaum urban, salah satu pembeli sajian di “etalase” yang kecewa dengan cita rasa usai dinikmatinya. Salah satu dari sekian juta orang yang pernah membeli, dan salah satu dari sekian ribu yang kecewa.
Jakarta punya hak menjajakan isi etalase dengan berbagai kiat. Dan orang-orang bebas memperlakukan isi etalase sesuai apa yang telah dicernanya. Entah itu manis, pahit atau bahkan tak berasa apa-apa karena sudah mati rasa. Ada pula yang “terpaksa” berada di kota besar karena tuntutan kerja dan study. Terpaksa berhadapan dengan etalase membuat urusan pembagian fokus pikiran mengalami pasang surut di tiap musimnya.
Namun bukan Jakarta kalau tak membuat orang luar Jakarta penasaran. Bagaimana televisi, gadget dan aneka media tak pernah putus mengabarkan tentang angin Jakarta, ibukota dan kota besar lainnya.
Kepada seorang pemuda lulusan SMA di kaki gunung. Kepada gadis manis kembang desa yang tak lalai menonton sinetron. Kepada remaja desa ber-gadget Android yang tak putus update socmed. Merekalah calon calon pembeli isi etalase Jakarta.
Menggantungkan mimpi tetang Jakarta, dunia yang serba ada. Merekalah masyarakat biasa yang siap membeli isi Jakarta.
Lantas muncul pertanyaan, apa mimpi orang orang Jakarta? Orang orang sukses pemilik etalase di Jakarta?
Mereka tetap menjadi pembeli di etalase yang berbeda. Para crazy rich pergi ke Orchard Road Singapore, Fifth Avenue Manhattan hingga Champs-elysees Paris untuk berbelanja. Tak ketinggalan Las Vegas, Monaco hingga Macau menjadi tempat favorit mereka mengadu rejeki di meja judi.
Merekalah pengumpul rupiah namun tak mau uang simpanannya berupa rupiah
Sedikit menyimpulkan bahwa tak ada yang dikhawatirkan dari kata urbanisasi. Karena kotalah yang memanggil mereka, kota pula yang bertanggung jawab menampung mereka. Membaginya dalam sekat sekat sosial sesuai ambisi masing masing. Tak ada yang salah dengan perpindahan wong ndeso ke kota selagi masih punya mimpi.
Datanglah ke Ibukota
selagi hingar bingar,
sebelum lampu-lampu padam, abad abad tidur dan bunga bunga sejarah menutup kelopaknya.
–
Dahono Prasetyo