Penulis: Kezia Dewi
Jokowi popular di dalam dan luar negeri? Ya itu benar! Saya sendiri mendukung Jokowi sejak kampanye gubernur Jakarta. Kemudian 11 tahun lalu, ketika saya kuliah Master di Belgia, saat-saat pemilu Indonesia, sering banget, saya menulis tesis sambil menulis-nulis di Kompasiana atau Facebook untuk menangkis fitnahan terhadap Jokowi. Saat itu, kali pertama saya hidup di luar negeri, saya menyaksikan langsung bahwa “fenomena Jokowi” itu cukup jadi pembicaraan. “Grassroot driven style governance”-nya Jokowi itu dikagumi. Kami, pelajar Indonesia di jurusan saya, baik yang Master maupun Phd, bangga sekali ketika di kuliah umum yang dibawakan pejabat UN, Jokowi dijadikan contoh yang baik untuk ditiru. Jokowi juga jadi pembicaraan di antara profesor-profesor kami, ya memang jurusan saya banyak terkait dengan “urban poor” ya. Lalu misalnya teman dari Malaysia juga bilang “berharap punya seorang Jokowi di negerinya”.
Setelah dilantik menjadi Presiden, bisa terlihat juga antusiasme dari pihak-pihak di luar negeri, seperti terlihat di majalah TIME yang menampilkan Jokowi sebagai harapan baru. Lalu saya juga ingat, di pertemuan G-20 di Australia tahun 2014, Jokowi digambarkan sebagai chef di tengah pesta BBQ dengan pemimpin – pemimpin G-20. Di mana artinya Jokowi sangat dihargai di pertemuan itu, yang oleh para “kampretos” dipelintir bahwa Jokowi jadi pembantu. Kemudian, pengalaman tahun lalu dapat kesempatan training di European Commission, saya menjalaninya dengan kepala tegak, karena tahu reputasi Indonesia itu lumayan. Personil maupun pejabat EC bilang bahwa Indonesia sekarang “prosperous”. Reputasinya okay, tapi juga tidak seperti bualan buzzer yang menggambarkan bahwa Jokowi ditakuti karena membuat bangkrut EU. Hahaha… Yang diwaspadai EU itu bukan Indonesia! Tapi RRC (dan Russia).
Sayangnya fenomena dan citra yang baik ini lama-lama dibelokkan jadi berlebihan. Yang bikin salah ya dua pihak juga. Pihak yang anti Jokowi, para kampretos itu suka banget membuat fitnah terhadap Jokowi. Tapi sebaliknya dari buzzer-buzzer pihak Jokowi memupuk citra dizhalimi ini dan di sisi lain popularitas Jokowi hingga menempatkan Jokowi di pedestal. Kisah tentang betapa hebatnya Jokowi itu dibesar-besarkan, dengan memanfaatkan kurangnya literasi masyarakat Indonesia. Apalagi kalau sudah menyangkut pandangan pihak luar negeri tentang Jokowi. Celah yang dimanfaatkan itu adalah kurangnya kemampuan berbahasa Inggris (seperti terlihat di masa-masa covid dan perang Ukraina). Gampang banget percaya dengan narasinya buzzer tentang keagungan Jokowi. Bangsa Indonesia itu tidak buta huruf, tapi tidak semua bisa memahami apa yang ia baca. Karena 10 tahunan dicekoki narasi tentang keagungan seorang Jokowi, atau pembelaan-pembelaan bila Jokowi mengambil kebijakan yang tidak tepat, maka ada banyak rakyat Indonesia punya ilusi yang sangat tinggi tentang Jokowi (dan keluarganya) yang sangat tulus lah, yang orang baik lah, langkah catur Jokowilah… Entah ya, apa ini ada kaitan dengan mitos “satrio piningit” di tengah bangsa Indonesia?
Kemudian ketika mulai ada komentar negatif dari luar, buzzer-buzzer itu selalu narasi yang diangkat tentang negara-negara maju tidak suka Jokowi karena kebijakan SDA nya. Lalu mulai membuat teori-teori konspirasi bahwa berita buruk tersebut sengaja dibuat untuk menjatuhkan Jokowi dan membuat Indonesia jadi Suriah. Padahal kalau mau digoogling, berita tentang kontroversi Jokowi itu tentang apa sih? Kebanyakan ya tentang pelemahan KPK, Omnimbus Law dan yang terakhir jelas soal paman MK dan upaya melanggengkan kekuasaan itu. Sebetulnya bahkan kekecewaan terhadap Jokowi itu sudah ada beritanya dari tahun 2015, tentang pemilihan Kapolri. Ini juga bukan melulu berita dari negara-negara barat ya… yang saya sempat lihat itu dari South China Morning Post yang menyebut Jokowi sebagai Soeharto kecil, atau Nikkei Asia, atau Al Jazeera. Pers negara barat yang paling banyak bahas Indonesia itu Australia. Jadi kebijakan – kebijakan yang melemahkan pemberantasan korupsi, masalah Omnimbus Law atau pelemahan demokrasi itu sudah lama jadi sorotan media-media luar.
Tapi dengan ilusi tentang keagungan Jokowi di benak mayoritas orang Indonesia, maka tidak heran ketika akhir tahun kemarin Jokowi dapat nominasi untuk sesuatu yang tidak popular itu, maka banyak yang marah besar dan terhina. Barangkali juga faktor malu, ga terima, ketika pertama kalinya Indonesia punya tokoh yang dipandang baik di level internasional, tahu-tahu dapat penilaian yang sangat buruk. Langsung kebanting! Ya gitu kalau tidak realistis melihat seorang politikus. Bahkan ada yang masih membela, ketika dipaparkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang tidak bagus, maka berkilah kalau itu gara-gara parpol-parpol dan DPR. Pokoknya Jokowi jangan disalahkan… Hahaha… yang dalam bayangan orang-orang, Jokowi yang pandai main catur politik itu ga mungkin salah. Semua „pelanggaran“ yang dilakukan Jokowi itu untuk kebaikan bangsa Indonesia, soalnya. Sedangkan bagi saya, cinta Indonesia tidak berarti menyangkal kalau pemimpinnya bikin salah. Salah ya salah…
Satu hal yang nggak enak banget… bersanding dengan Bashar Al Assad yang baru saja terguling, terungkap kejahatan – kejahatannya, serta kekejamannya. Ga cuma Assad tapi juga Sheik Hasina yang juga membunuhi rakyatnya. Bisa dipahami kalau ada yang kaget-kaget, masa iya Jokowi seburuk mereka itu? Apa penilaiannya adil? Fun fact-nya, Bashaar al Assad menggantikan ayahnya, Hafez, 25 an tahun lalu juga didahului dengan pengubahan aturan. Di mana syarat untuk jadi presiden yang sebelumnya harus berusia minimal 40 tahun diturunkan. Sehingga Bashaar yang saat itu berusia 33 tahun boleh jadi Presiden menggantikan ayahnya. Ingat sesuatu soal ini?