SMS Bertabur Aneka Rasa

Penulis: Dahono Prasetyo

APAKAH BOHONG ITU DOSA?

Sebenarnya belum lama aku mengenalnya, baru sebulan di tim kerja yang sedang berjalan ini. Tapi dia lumayan akrab, gaul banyak ngobrol, jadi sedikit banyak ada keakraban lebih dibanding rekan kerja lain yang pendiam atau cenderung serius dengan pekerjaannya.

Meskipun dia belum pernah bercerita tentang suami dan anaknya, namun kuperkirakan dia sudah berkeluarga.

-Iklan-

Gaya bicaranya cenderung apa adanya saat menanggapi sesuatu meski sedikit berlebihan, yang itu berkaitan dengan tingkat intelektual seseorang tentunya. Dandanannya modis rapi dengan kerudung warna warni berganti setiap harinya.

“Mas, tau harga HP Blackberry yang layar sentuh? Harga second aja,” tanya dia pagi pagi.

“Ooo…, BB Torch? Second-nya kalo gak salah sekitar 2 jutaan,” jawabku setelah sejenak mengingat tabloid khusus HP yang kemarin sempat kubaca.

“Mahal juga ya? Emang barunya harga berapa?”

“Sekitar 3 setengah jutaan kalo baru dari toko. Emang mau beli berapa?” tanyaku sengaja pancing bercanda seperti biasa.

“Ya satu aja, kalo selusin tasku gak muat.”

“Buat siapa?”

“Buat aku pake sendirilah. Ini HP lama mau aku jual dulu. Susah pake HP jadul, buat kirim-kirim foto gak bisa,” lanjut dia sambil mengeluarkan HP lama yang selama ini dia pakai.

HP-nya China, kupastikan dari merknya yang nggak ada di kamus bahasa Inggris. Dari tampilan luar sebenarnya sudah canggih juga, bisa TV, kamera depan belakang. Dibilang jadul mungkin karena warnanya yang seperti uban. Putih ke abu abuan.

“Lhaa yang penting kan bisa trima telepon, SMS dan isi pulsa?”

“Ah…, itu sih udah kuno. Ini juga buat nyimpen foto gak bisa banyak, masak ada foto baru mesti hapus foto yang lama.”

“Emang gak pake memory card apa?” tanyaku agak serius.

“Memory card gak punya, adanya credit card. HP saya ini bayarin aja deh kalo gitu, ntar buat nambahin beli Blackberry,” jawabnya mulai serius.

“Buat apa? Saya sudah ada HP 2,” jawabku sambil lewat.

“Ya terserah, mau buat ulekan juga boleh, asal jangan buat korek kuping.”

“Coba deh ntar aku tawarin ke Herman sopir, kali aja dia mau. Di rumahnya kan ada konter HP,” kilahku menghindari kejaran dia.

“Ya udah ini bawa dulu kalo gitu.”

“Trus kamu pake HP apa, ntar susah lagi kalo dihubungi.”

“Tenang aja, aku ada HP lama,” jawabnya sambil menaruh HP Chinanya ke telapak tanganku,” kemudian tangan kanannya menengadah.

“Sini 100 ribu dulu buat uang muka. Ntar laku berapa tinggal potong.”

“Weleh-weleh…, ni orang kebelet banget? Marketing blom jalan udah minta DP.”

“Udahlah aku tahu kamu pegang duit, kemaren habis keluar kasbon.”

“Ya tapi sudah aku kasih istriku, ini di dompet tinggal 50 ribu,” kataku sambil mengeluarkan dompet, membukanya hingga selembar uang warna biru sendirian terlihat.

“Ya udah, gak papa. Buat aku dulu.”

“Lhaaa…,” kalimatku belum habis, dia sudah mengambil isi dompet yang dilihatnya tadi, untuk kemudian kabur ke arah lobby kantor sambil cengengesan. Akupun bengong-bengong maklum sambil mengantongi HP warna uban itu.

Pagipun beranjak siang, sekarang beranjak sore. Sepertinya HP ini ada sesuatu yang menghalangi lepas dari tanganku. Si Herman yang kutawari menolak dengan alasan di konternya masih banyak stok HP. Budi office boy maunya bayar 2 kali bulan depan. Tiga orang lagi kawan cuma senyum tanpa menawar pertanda tidak peduli. Dan tempat dia paling nyaman sementara ada di saku celanaku.

Kulihat jam tangan sudah hampir pukul 10 malam. Lembur dadakan hari ini cukup menyita perhatianku pada HP titipan apalagi pemiliknya. Sambil menunggu proses render edit video, iseng aku buka HP itu. Kali aja ada foto-foto aneh, atau SMS rahasia yang bisa melahirkan senyum.

HP ini sudah tidak ber-SIM Card, namun masih bisa menampilkan menu. Di folder galeri foto kubuka, isinya cuma beberapa foto dia. Gak ada yang istimewa. Di folder pesan diterima juga kosong, berarti dia sudah niat menjual setelah sebelumnya menghapus semua isi pesan SMS. Di penyimpanan pesan juga kosong. Di folder pesan terkirim kubuka. Dan ternyata isinya banyak pesan yang berhasil terkirim. Nah…, ini dia…, naluri isengku sontak bergolak ketemu obyek. Aku buka satu persatu.

Ada beberapa pesan yang cukup serius kubaca: “Bangun nak, jangan lupa sholat subuh. Cium sayang Bunda dari jauh.”

“Sabar ya nak, nanti bunda kirim uangnya. Jaga adikmu, jangan lupa jam 10 jemput dia ke sekolah.”

“Bunda baru saja kirim uang lewat rekeningnya Lek Yanto. Kamu ke rumahnya saja, dia sudah nungguin.”

“Iya, itu uang untuk beli beras dulu, cukup buat seminggu. Sisanya buat beli lauk. Pulsa kamu nanti bunda kirim. Bunda lagi di jalan sekarang.”

Beberapa SMS sempat aku ulangi membacanya sambil membayangkan situasinya. Aku pastikan itu dialog antara ibu dan anaknya yang berada di lain kota.

“Tidak usah tanya lagi tentang bapakmu. Yang penting Bunda masih bisa membiayai sekolahmu dan adikmu Siti. Berdoa saja Bunda masih terus dipercaya bekerja di sini.”

“Di tumpukan lemari bawah ada kain batik Bunda. Coba kamu cari, kasih ke Mbok Parti, terima saja berapa uang pemberian dia. Yang penting obat buat Siti bisa terbeli. Tetap berdoa ya nak. Jangan tinggalin sholat apapun keadaannya.”

“Sabar dulu ya nak. Bunda lagi usahain uangnya. Insya Allah nanti siang dikirim. Bilang sama Pak Narto di warung, suruh itung jumlah utang ada berapa. Bunda pasti bayar.”

“Jangan marah gitu dong. Bunda jadi sedih di sini.”

Beberapa isi pesan membuat isi kepalaku jadi merangkai sebuah kronologis. Ada butir-butir air mata yang kubayangkan jatuh mengiringi potongan pesan itu. Meski cuma pesan satu arah, namun cukup membuat beberapa kali aku menahan nafas. Aku menikmatinya. Niat isengku berbuah dilema.

Aku lanjut membaca sambil bersiap menahan nafas ketika bertemu kejutan kalimat pesan: “Siti adikmu sudah mau makan? Bilang aja nanti kalo Bunda pulang bawain apel sama anggur pesenannya.”

“Iya nanti malam Bunda telepon Siti. Bilangin dia kalo kangen, foto Bunda boleh ditaruh di tempat tidur.”

Isi pesan terakhir yang kubaca memaksaku mengambil nafas panjang. Aku putuskan tidak melanjutkan sisa pesan sejenis yang belum kubaca. Aku sudah terlalu jauh masuk ke wilayah privasinya.

Dalam perjalanan pulang beberapa isi pesan masih berputar di isi kepalaku. Dua perempatan jalan aku lewati. Belokan menuju ke rumah baru kuingat setelah beberapa kilometer nyasar. Ah…, kenapa malam ini aku begitu sentimentil?

Dan esok harinya, pagi-pagi bergegas kutemui dia. Kulihat dia lagi duduk ber-SMS dengan HP jadul. Tetap dengan senyum begitu melihat kedatanganku.

“Mas bro, gimana? Laku berapa?” tanya dia beberapa langkah sebelum aku sampai di depannya.

“Iya…, udah…, berapa aja yang penting laku kan katamu?” jawabku.

“Tapi kalo kemurahan nanti aku nombokinnya buat beli Blackberry jadi kebanyakan.”

“Memang kapan kamu mau beli Blackberrynya? Udah ada duit buat nombokinya?” tanyaku seolah sok tahu kondisi keuangan dia.

“Udah ada, gampang kok. Aku tinggal ke ATM. Sekarang mana duit HP?”

“Ini laku 600 ribu. Potong DP kemarin jadi tinggal 500 ribu ya.”

“Ok deh sipp, rokok kamu mereknya masih yang dulu kan? Ntar aku titipin si Yadi ya. Aku buru buru mau ke ATM sekarang.”

“O iya.” kalimatku cuma itu yang keluar.

Jidatku berkerut membentuk tanda tanya. Sebelum sempat kuluruskan kerutan di jidat, dia sudah sampai di pinggir jalan, siap menyeberang jalan. ATM sekaligus kantor cabang bank jaraknya dengan kantor cuma terpisah jalan raya. Rasa penasaranku meluap minta penyaluran.

Kuputuskan mengikuti dia dari belakang, agak menjaga jarak yang sepertinya dia tidak sadar kalau aku mengikutinya. Mungkin rasa bergegasnya yang membuat dia tidak memperdulikanku yang kira-kira 10 langkah di belakang dia.

Ruangan ATM dilewatinya. Dia langsung menuju bagian teller setelah sebelumnya mengambil formulir berwarna biru. Kupastikan itu formulir setoran dana, bukan pengambilan dana. Dan kuputuskan kembali ke kantor seusai menyalurkan penasaran yang berujung jawaban tanda tanya di jidatku tadi.

Di meja kerja kubuka laci, HP dia masih nongkrong dengan tenang di situ. Sisa uang simpanan 500 ribu yang kuberikan tadi sudah plong ikhlasnya. Aku buka HP dan catat satu nomor yang semalam berisi SMS bertabur aneka rasa. Entah apa yang akhirnya mendorongku untuk mengirimkan pesan ke nomer itu.

“Nak, Bunda sudah dapet uangnya, pagi ini Bunda kirim. Ini rejeki kita semua. Bersyukurlah, Tuhan memberi kita cobaan agar kita menjadi manusia yang tabah. Bunda sayang kalian, cium sayang dari jauh.”

Pesan kusimpan. Tak berani kukirim.

Kemudian aku tulis pesan ke nomer dia: “Bunda, maafkan saya. Terlalu iseng ingin tahu apa yang Bunda gelisahkan. Semoga Bunda sekeluarga diberi kekuatan melewati ujianNya. Blackberry belumlah seberapa dibanding cita-cita Siti dan kakaknya di rumah. Yang penting tetap semangat.”

Pesan kusimpan lagi. Tak juga berani kukirim.

Hari ini aku setengah pingsan dirundung syukur dari memahami kesedihan yang orang lain alami.

Depok, Juli 2008

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here