Test PCR, GSI, dan Keterkaitan Pak Luhut, Begini Awal Ceritanya

Penulis: Septian Hario Seto

Saya merasa saya harus menulis mengenai hal ini. Saya akan cerita dari awal, sehingga teman-teman bisa memahami perspektif mendesaknya kita akan kebutuhan Test PCR yang terjangkau dalam pandemi ini.

Saya ingat pada tahun lalu, sekitar Maret 2020 ketika awal Covid19 menyerang Indonesia. Saya yang baru diangkat sebagai komisaris BNI, mendapatkan fasilitas untuk Test PCR dari BNI. Bersama istri saya menuju salah satu rumah sakit di Jakarta untuk melakukan test PCR ini. Belakangan saya ketahui, biayanya cukup mahal waktu itu, kalau tidak salah mencapai kisaran 5-7 juta untuk satu orang. Hasilnya dijanjikan 3 hari, namun setelah 5 hari baru keluar. Alhamdulillah negative hasilnya.

-Iklan-

Kejadian itu membuat saya berfikir, kalau kapasitas test PCR ini terbatas, dan orang harus menunggu berhari-hari sebelum tahu hasil test mereka, tentunya kita akan keteteran dalam menghadapi pandemi Covid19 ini. Akan terjadi keterlambatan penanganan pasien, karena butuh waktu yang lama untuk mengetahui apakah seseorang terkena Covid19 atau tidak, akibatnya tentu saja penularan akan tinggi dan bisa jatuh korban yang banyak.

Tanpa berfikir panjang, saya lapor ke Pak Luhut situasi yang ada pada waktu itu. Saya sampaikan, kita harus bantu soal test PCR ini. Kalau mengandalkan anggaran pemerintah, akan butuh waktu lama untuk bisa menambah kapasitas PCR ini, dari proses penganggaran, tender, sampai kemudian sampai pembayaran. Saya cukup yakin soal ini berdasarkan pengalaman 5 tahun lebih di pemerintahan.

Pak Luhut akhirnya memerintahkan saya untuk cari alat PCR ini. Pak Luhut menyampaikan kita donasikan saja alat PCR ini ke Fakultas Kedokteran di beberapa kampus karena waktu itu merekalah yang pasti memiliki skill untuk menjalankan test PCR ini dan kedepannya bisa digunakan untuk penelitian yang lain. “Soal uang, nanti kita sumbang saja, To”, perintah Pak Luhut kepada saya pada waktu itu. Saya tahu kemudian Pak Luhut kontak teman-teman beliau untuk bersama-sama membantu membeli alat PCR ini.

Disinilah kemudian proses pencarian PCR ini kita mulai….

Saya kontak dekan FK UI, Unpad, UGM, Unair, Undip, Udayana, dan USU. Saya mengirimkan WA kepada mereka dan menjelaskan maksud dan tujuan saya untuk mendonasikan alat PCR ini. Beberapa ada yang merespon dengan cepat, namun beberapa ada yang tidak merespon sama sekali, mungkin dianggapnya prank kali ya…

Para dekan tersebut kemudian mengenalkan saya kepada PIC masing-masing. Di sinilah kemudian saya mengenal dr. Anis yang menjadi wadek FKUI, dr. Lia dari Unpad, dr. Happy dari Undip, Prof. Inge dari Institute of Tropical Disease Unair, dr. Lia dari USU (ada dua Lia, satu dari USU, satu lagi dari Unpad), dan Prof Ova dari UGM. Mereka itulah yang kemudian mengajarkan saya lebih detail mengenai test PCR ini, alat-alat apa saja yang diperlukan, serta rekomendasi merek yang bagus. Berdasarkan diskusi dengan mereka, waktu itu diputuskan bahwa kita akan beli alat PCR dari Roche.

Order untuk alat PCR Roche kita lakukan di akhir Maret 2020. Dalam perjalanannya, saya kemudian bertemu dengan Pak Budi Sadikin, Wamen BUMN pada saat itu. Beliau rupanya juga diperintahkan Pak Erick untuk mencari alat PCR ini guna rumah sakit-rumah sakit BUMN. Jadi dibandingkan nanti kita rebutan alat PCR, saya menawarkan ke Pak Budi supaya kita pesen bareng-bareng ke Roche, sehingga ordernya bisa lebih besar dan harapannya tentu saja kita bisa nawar harga yang lebih baik.

Pada akhir April 2020, alat-alat PCR ini mulai datang dan kita mulai distribusikan ke Fakultas-Fakultas Kedokteran yang saya sebutkan di atas. Itupun berkat lobby sana-sini dari Kemenlu, Kementerian BUMN, dan berbagai pihak lain yang dilakukan untuk meminta Roche agar barang yang sudah kita pesan tidak direbut negara lain. Karena kita mendengar ada 1 negara Timur Tengah yang sudah menyediakan 100 juta dolar dan bersedia membayar cash di depan untuk membeli alat-alat PCR yang tersedia di pasar saat itu.

Setelah alat datang, bukan berarti barang bisa langsung digunakan, karena kita harus menunggu reagen PCR-nya datang. Awal Mei reagen-nya kemudian baru datang. Masalah belum selesai, para lab itu kemudian juga menyampaikan bahwa mereka butuh VTM (Viral Transport Medium). Saya tanya ke mereka barang apa pula itu. Mereka menjelaskan bahwa VTM ini adalah alat untuk menampung hasil swab yang akan men-deactive-kan virusnya, sebelum kemudian bisa dilakukan ekstraksi RNA.

Rupanya banyak sekali perintilan material-material yang dibutuhkan untuk melakukan test PCR ini, bukan hanya reagen saja, dimana kalau salah satu barang gak ada, test PCR tidak bisa dilakukan.

Long story short berbagai perintilan barang itu bisa kita dapatkan, dan lab-lab di berbagai fakultas kedokteran itu bisa mulai melakukan test. Namun karena proses ekstraksinya masih manual, masing-masing lab paling hanya bisa melakukan 100-200 test per hari. Jauh dari target yang kita minta yaitu 700-1.000 test per hari.

Masalah kemudian muncul karena alat ekstraksi RNA yang kita pesan dari Roche tidak bisa didapatkan. Kalau tidak salah karena suplai barangnya sangat terbatas dan diperebutkan oleh negara-negara lain juga. Kita waktu itu memutuskan untuk cari merek lain. Setelah tanya-tanya dari masing-masing lab, dapatlah rekomendasi merek Qiagen dari Jerman. Kita pesan barangnya, namun ternyata mereka tidak bisa memenuhi reagen-nya. Alat ekstraksi RNA ini memang menggunakan closed system, artinya hanya bisa digunakan dengan reagen yang diproduksi mereka sendiri.

Selama beberapa bulan, lab-lab itu masih menggunakan ekstraksi RNA secara manual untuk test PCR-nya. Saya bersama beberapa teman akhirnya putar otak ke Tiongkok, kita carilah alat ekstraksi RNA dan reagen-nya. Setelah tanya sana-sini, dapatlah satu perusahaan yang merupakan afiliasi salah satu universitas di sana. Jadi semacam badan usahanya yang bergerak di bidang bioteknologi. Alat ekstraksi RNA-nya harganya lebih murah, kira-kira 1/10 dari harga alat ekstraksi yang diproduksi Qiagen, meskipun kapasitasnya 1/3. Begitu juga harga reagen untuk ekstraksi RNA-nya. Yang lebih menarik, mereka juga memproduksi reagen untuk PCR yang bisa digunakan baik dari LC 96 dan LC480 (kedua alat ini adalah open system).

Dengan suplai dari Tiongkok ini, kita bisa memberikan donasi lebih banyak alat PCR dan ekstraksi RNA kepada lab-lab kampus itu. Awal Juni, barang-barang ini mulai datang ke Indonesia.

Lanjut baca >> Test PCR, GSI, dan Keterkaitan Pak Luhut, Begini Awal Ceritanya (Bag. 2)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here