Pemerintah Rencana Terapkan Satu Ruang Perawatan untuk Peserta JKN, Malah akan Timbulkan Banyak Masalah Lain, IHII Tegas Menolak

SintesaNews.com – Pemerintah berencana menerapkan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 tempat tidur, dalam Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).

Rencana ini bukan menjadi solusi atas perbaikan program JKN namun tentu akan menimbulkan banyak masalah turunannya.

Institut Hubungan Industrial Indonesia (IHII) mencermati serius rencana pelaksanaan KRIS Satu Ruang Perawatan ini, yang artinya akan menghapus kelas-kelas ruang perawatan yang selama ini ada kelas 1, 2, dan 3.

-Iklan-

Masalahnya dengan akan diterapkan Satu Ruang Perawatan, maka menjadi pertanyaan penting, bagaimana dengan iuran BPJS-nya? Apakah yang iuran untuk kelas 1 menjadi turun, atau yang kelas 3 menjadi naik. Hal ini saja sudah akan menjadi masalah bagi pengguna BPJS di kelas 1 maupun kelas 3. Terutama yang kelas 3 tentu akan keberatan jika iurannya naik, mereka tidak akan mampu. Dan yang memilih kelas 1, meski iurannya diturunkan tentu juga sangat keberatan, karena mereka yang memilih kelas 1 dengan sadar ingin mendapatkan fasilitas rawat inap yang lebih baik, dan tidak perlu berdesakan di ruang perawatan yang berisi 4-6 tempat tidur.

Ketua IHII Saepul Tavip dalam konferensi pers IHII yang digelar di Hotel Swissbelinn Cawang, 11 Maret 2025, mengemukakan 9 point dasar alasan IHII menolak rencana pelaksanaan KRIS Satu Ruang Perawatan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.

“Pembahasan KRIS Satu Ruang Perawatan dengan maksimal 4 TT (tempat tidur) tidak pernah melibatkan masyarakat, khususnya SP/SB (Serikat Pekerja/Serikat Buruh) dan keluarganya,” ujarnya.

Ia melanjutkan, “Bahwa dalam Perpres no. 59 Tahun 2024, tidak ada 1 kata pun yang menyebutkan bahwa ada penghapusan variasi kelas rawat inap: 1,2, 3.”

Anehnya bahkan menurut Saepul Tavip, “Pemangku kepentingan JKN tidak ada kesepakatan  untuk menerapkan KRIS Satu Ruang Perawatan. Apabila tetap dilaksanakan maka itu adalah bentuk pemaksaan pemerintah kepada masyarakat, RS, dokter, dan stakeholder (pemangku kepentingan) JKN lainnya.

Rencana KRIS Satu Ruang Perawatan ini berpotensi jadi masalah karena justru akan menurunkan kualitas layanan kepada pasien.

“Penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan akan menurunkan jumlah ruang perawatan dan tempat tidur sehingga peserta JKN termasuk buruh/pekerja akan semakin sulit mengakses layanan ruang perawatan,” imbuhnya.

Saepul Tavip curiga bahwa rencana pelaksanaan KRIS Satu Ruang Perawatan ini akan menimbulkan “out of pocket”, yang artinya jika peserta JKN termasuk buruh/pekerja untuk bisa mengakses layanan ruang perawatan yang lebih layak harus mengeluarkan uang lagi.

Di samping itu, pihak RS juga akan mengalami kesulitan dengan rencana KRIS Satu Ruang Perawatan.

Dan lagi jika KRIS Satu Ruang Perawatan yang iuran BPJSnya jadi tunggal, sudah barang tentu pembiayaan JKN pasti defisit.

IHII tegas menolak rencana penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan ini yang lebih banyak merugikan dan menambah masalah daripada menjadi solusi.

“Kami menolak penerapan KRIS Satu Ruang Perawatan,” tegas Sapeul Tavip.

“Pemerintah harus melaksanakan amanat Pasal 34 ayat 3 UUD 1945 dengan baik, yaitu memudahkan akses pelayanan rawat inap dengan meningkatkan RS dan jumlah tempat tidur untuk peserta JKN,” jelasnya.

“Pemerintah harus mematuhi amanat UU No. 13 Tahun 2022 dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk SP/SB ketika akan meregulasikan semua hal terkhusus JKN.”

IHII juga meminta pemerintah fokus untuk membatasi jumlah tempat tidur di kelas 3 maksimal 5 TT dengan kamar mandi di dalam ruangan dan kelayakan lainnya.

IHII mendesak pemerintah segera merevisi pasal 103B ayat 1 Perpres 59 Tahun 2024 yang mengamanatkan penerapan KRIS secara menyeluruh paling lambat 30 Juni 2025.

“Libatkan semua stakeholder JKN untuk membicarakan KRIS, dan kami SP/SB siap memberikan usulan konstruktif,” pungkas Saepul Tavip.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here