Mengapa Pendukung Jokowi Berubah Membenci?
Karena mereka pernah percaya….
Mereka tidak tumbuh dengan kebencian, mereka tumbuh dengan harapan. Harapan bahwa kali ini, seorang pemimpin benar-benar berasal dari bawah, tidak punya beban warisan keluarga politik, tidak tumbuh di istana, tidak disusui oleh dinasti, dan mungkin— hanya mungkin—akan berpihak pada rakyat bukan karena kalkulasi elektoral, tapi karena tahu rasanya hidup dari sisa nasi semalam.
Tapi harapan, jika dikhianati, bisa berubah jadi luka yang tak sembuh oleh waktu.
Bukan soal gaya bicaranya yang kaku. Bukan soal penampilannya yang sederhana. Bahkan bukan soal ia bukan dari kalangan ningrat. Justru karena ia menjanjikan diri sebagai lawan dari semua itu—dan akhirnya menyatu dengan apa yang dulu dijanjikan akan dilawan.
Ketika anaknya naik ke atas bukan karena kualitas, tapi karena rekayasa. Ketika para menteri yang ia angkat satu per satu terseret korupsi. Ketika hukum dijungkirbalikkan di bawah pengawasan matanya yang pura-pura tidak melihat.
Ketika ia mendiamkan pelanggaran etika, lalu mencuci tangan dengan kata-kata: “saya tidak ikut campur.”
Itu bukan ke-udikan. Itu kepengecutan.
Dan di situlah pangkal kebencian itu lahir. Bukan dari iri, tapi dari kekecewaan.
Bukan karena rakyat ingin seorang raja, tapi karena mereka tidak ingin dijadikan jongos oleh orang yang katanya “dari rakyat.”
Orang-orang tidak membenci Jokowi karena dia sederhana. Mereka membenci karena kesederhanaannya dijadikan topeng, bukan prinsip.
Karena ia menjual kejujuran sebagai citra, tapi membiarkan ketidakjujuran merajalela di bawah payungnya.
Dan pada akhirnya, kebencian itu bukan bentuk penghinaan. Ia adalah upaya terakhir rakyat untuk menjaga harga diri mereka sendiri. Karena jika mereka diam saja saat dikhianati oleh orang yang mereka percaya, maka mereka telah kehilangan lebih dari sekadar pemimpin.
Mereka telah kehilangan diri mereka sendiri.
–
–
Anonim (Resume Discust)