BBM Shell dan BP Kosong, Kompetisi Bisnis atau Sandiwara Pasar?

Penulis: Langit Quinn

Beberapa minggu terakhir, gue atau banyak dari kita seperti “dipaksa” untuk beralih menggunakan BBM plat merah. Bukan karena pilihan, melainkan karena stok di SPBU swasta seperti Shell dan BP tiba-tiba lenyap. Yang biasanya bisa isi full tank dengan tenang, kini terpaksa menakar 100k sekali isi, dengan harapan besok ada stok kembali. Sayangnya, sampe sekarang, harapan itu masih sebatas harapan.

Dipaksa secara gak langsung pakai BBM plat merah itu mau nggak mau. Suka nggak suka. Ibarat hubungan toxic: sudah coba pindah hati, eh malah dipaksa balik lagi dengan alasan “nggak ada pilihan lain.”

-Iklan-

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar tentang dinamika persaingan bisnis energi di Indonesia. Apakah benar murni soal distribusi? Atau ada strategi yang lebih “halus” tapi mematikan: membuat kompetitor kesulitan beroperasi, hingga konsumen tidak punya pilihan lain selain kembali ke pemasok tunggal?

Padahal, kehadiran SPBU swasta seperti Shell dan BP selama ini bukan hanya menambah variasi layanan, tetapi juga memunculkan standar baru dalam kualitas BBM dan pelayanan.

Keberadaan SPBU swasta selama ini bikin hidup lebih berwarna. Pelayanan lebih rapi plus plus lap kaca, standar kualitas jelas, bahkan kadang ada promo lucu-lucu, tukar point dll. Kalau mereka hilang dari pasaran, konsumen kehilangan standar pembanding. Kita jadi nggak bisa tahu mana BBM yang benar-benar berkualitas, dan mana yang sekadar “oplosan manis” buat dompet negara.

Persaingan sehat seharusnya membuat konsumen diuntungkan,harga lebih kompetitif, mutu lebih baik. Tetapi jika kompetitor dibiarkan “mati perlahan” karena pasokan dibatasi atau aturan dipersulit, konsumen akhirnya hanya jadi penonton yang dipaksa membeli apa pun yang ada di depan mata, bahkan jika itu campuran “oplosan” yang diragukan kualitasnya.

Dampaknya tidak main-main. Banyak karyawan SPBU swasta terpaksa dirumahkan karena stasiun mereka kosong melompong, ada yg jualan kopi. Satu demi satu lapangan pekerjaan menghilang hanya karena iklim usaha tidak lagi sehat. Ini bukan sekadar soal siapa jualan lebih banyak, tetapi juga soal keberlangsungan hidup ribuan orang, dan pada akhirnya soal wajah industri energi kita di mata publik.

Fenomena ini bikin kita bertanya: ini kompetisi bisnis atau sandiwara pasar? Kalau benar ada permainan untuk memojokkan pesaing, maka rakyat hanya jadi figuran yang disuruh beli tiket penuh harga, tanpa bisa protes isi ceritanya.

Lalu, negara di mana posisinya? Apakah cukup hanya sebagai regulator yang sibuk mengatur harga dan aturan yg ribed? tanpa peduli bagaimana persaingan dijalankan di lapangan? Tanpa peduli banyak pegawai di rumahkan? Ataukah negara sebenarnya punya peran untuk menjamin kompetisi yang sehat, agar konsumen tidak dipaksa dalam situasi monopoli terselubung?

Energi adalah kebutuhan pokok. Jika distribusinya dikuasai dia sendiri, konsumen bukan hanya kehilangan pilihan, tetapi juga kehilangan haknya untuk mendapatkan produk yang layak. Inilah saatnya kita bertanya lebih keras: benarkah kita sedang menjaga kedaulatan energi, atau justru membiarkan permainan bisnis yang membuat rakyat semakin sulit bernapas krn ‘dipaksa’ make bbm yang kualitasnya telah diragukan oleh khalayak?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here