Penulis: Dedi Purnomo
Di keheningan malam dingin di sebuah desa terpencil, hanya sepenggal menyelimuti. Terdengar sayup suara jangkrik dari kejauhan, mengiringi setiap perasaan yang tersembunyi. Dia termenung di teras rumah, duduk dengan wajah sayu dan tatapan kosong menatap bintang-bintang di langit, sebatang rokok di jari kanannya, terbesit sejuta pertanyaan.
Aroma secangkir kopi panas setia menemani kerisauan dalam hatinya, sementara hembusan angin dingin semakin menyelimuti malam yang membuat dia hanyut dalam suasana.
Suara hilir mudik kendaran motor yang lalu lalang, disertai redupnya lampu jalan, sedikit meramaikan sunyi malam. Di balik hempasan asap rokok yang keluar perlahan dari mulutnya, terlihat senyuman kaku yang tidak bisa disembunyikan.
Kegelisahan terasa seakan-akan memilih diam dalam seribu makna, tanpa mampu terungkapkan. Pertanyaan-pertanyaan kecil muncul silih berganti, menari dalam benak, mencipta bayang-bayang yang sulit untuk dijabarkan. Aku berganti posisi, mencoba menciptakan suasana yang lebih santai, sesekali memejamkan mata agar bisa merefleksikan semua yang telah kulalui.
Aktivitas pekerjaan sepanjang hari ini makin terasa berat di bahu, beban yang saya rasakan menghimpit lembut namun nyata.
Rutinitas yang selalu berulang dan begitu banyak problematika dalam pekerjaan seakan menambah kegundahan yang kurasakan malam ini. Aku mencoba tenang, berusaha berfikir jernih dan menyendiri untuk meluapkan kepenatan ini. Pertanyaan-pertanyaan yang terselip di hati memberontak, mencari jawaban pasti yang mungkin hanya bisa kutemukan dalam lamunan. Aku memilih sendiri dalam keheningan, sebagai jalan sejenak untuk introspeksi diri, membiarkan angan-angan merangkai apa yang ada dalam pikiran –meskipun pada kenyataannya semua itu terasa semu.
Di sebuah rumah kecil yang berada di tengah-tengah persawahan yang luas, tiba-tiba terdengar sebuah panggilan lembut nan keras.
“Ayah! Kamu di mana, Yah?”
“Ayah, sedang apa?”
Lalu pria paruh baya itu menoleh dan menjawab, “Ayah ada di sini, Nak!”
“Ada apa, Nak? Kenapa mencari Ayah?”
Dengan nada halus dan senyum manis, Nayang, gadis kecil belia yang penuh kerinduan, bertanya sambil bergumam,
“Aku rindu, Yah?”
“Ayah, ngapain di luar?” tanya Nayang.
“Jangan merokok, ya, Yah!” celetuknya.
“Ayah, besok belikan aku pensil warna, ya?” dia memohon polos.
“Iya, sayang. Besok kakak juga dibelikan ya.”
Ayah memeluk erat gadis kecil kesayangannya dengan penuh kehangatan.
“Nayang, sudah makan belum?” tanyanya lembut.
“Kok Kamu belum tidur?”
Ayahnya bertanya, seolah ingin mengalihkan kegelisahan yang menyelimuti hatinya saat memikirkan keluarga mereka. Sambil menyeruput secangkir kopi yang masih tersisa, keduanya akhirnya berbincang hangat –bercerita banyak hal, saling bercanda ringan, dan tertawa lepas sampai Nayang tertidur pulas di pangkuan sang ayah.
Sejenak memandangi wajah gadis kecil kesayangannya.
“Anakku yang Ayah cintai, maafkan Ayah, ya. Selama ini, mungkin Ayah belum mampu memberikan kebahagiaan seperti yang kakak dan kamu pantas terima. Di saat kalian tertawa, Ayah diam-mengamati, kadang merasa bangga, tapi juga penuh penyesalan karena belum bisa menjadi Ayah yang ideal.”
“Ayah ingin kalian tahu: Setiap langkah Ayah, setiap malam yang Ayah lalui sambil terjaga memikirkan kalian, bukanlah sekedar tanggung jawab –tetapi cinta tulus yang tak pernah padam. Ayah berjanji, dari hati yang paling dalam, akan berusaha menjadi yang terbaik untuk kalian-bukan hanya sebagai penghidup, tetapi sebagai sahabat, pelindung, dan contoh yang bisa kalian banggakan.”
“Mungkin kata “syukur” belum bisa selalu hadir di rumah kita, mungkin pelukan atau tawa ceria belum cukup sering. Tapi Ayah percaya bahwa besok akan lebih baik: Ayah akan mendengar lebih banyak, memeluk lebih erat, dan berjalan bersama kalian lebih dekat. Terima kasih sudah sabar, terima kasih sudah tetap ada. Tolong beri Ayah waktu dan kesempatan untuk memperbaiki diri. Karena untuk kalian, Ayah ingin menjadi yng terbaik, –dan Ayah benar-benar berjanji untuk itu.”
Dengan belain lembut dan kecupan di keningnya, sebuah kehangatan tak tertahankan tercipta. Perlahan, sang Ayah bangkit, menggendong gadis kecil kesayangannya, lalu membawanya ke dalam kamar dan menyelimuti dirinya agar tak kedinginan dalam malam yang dingin ini. Setelah itu, sang ayah kembali ke teras rumah, duduk, dan menyalakan sebatang rokok yang masih tersisa. Hatinya berkecamuk seolah ingin berontak dan berteriak, diselimuti pertanyaan-pertanyaan yang terus menghantui dan membayangi pikirannya.
“Ya Tuhan… munginkah aku mampu membahagiakan keluargaku?” gumam sang Ayah dalam gulita harap yang tak terucap.
“Mungkinkah aku bisa menghadirkan senyum di wajah anak-anaku?” tanyanya lirih di tengah desah malam.
Dalam sunyi pikirannya hanya berkelana dalam khayal –suatu hari kelak ia ingin melihat keluarganya bahagia, anak-anaknya tumbuh menjadi insan yang gemilang, dididik, disekolahkan hingga meraih cita-cita yang tinggi, sambil ia membasuh wajahnya dengan kedua tangan, menepis letih dan ragu. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul 01.00 pagi udara semakin beku, sepi menyelimuti rumah kecilnya. Ia melangkah pelan ke pintu, lalu memasuki ruang rumah yang hening. Raut wajah yang gelisah, tetapi setapak ia mendekati kamar Sang putri kecilnya, lalu dari balik pintu ia mengintip-menatap wajah mungil yang sedang terlelap, berusaha memberi senyum hangat meski hatinya dipenuhi asa. Ia meneguhkan tekad untuk menatap hari esok demi mereka, demi keluarga dan anak-anak tersayang, lalu di dalam hati ia bersujud, memanjat doa tanpa suara.
“Nak, Ayah dan Ibu berharap, sebelum waktuku benar-benar tiba, kamu dan kakakmu telah tumbuh menjadi anak yang bisa membanggakan kami. Bukan hanya lewat keberhasilan atau nama, tapi lewat akhlak mulia, kasih yang tulus, dan keteguhan hati. Semoga langkah kalian selalu memberi kebanggaan dalam hati Ayah dan Ibu.
BIODATA PENULIS
Dedi Purnomo, S.Mus. lahir pada tanggal 07 Oktober 1981 di Balikpapan-Kalimantan Timur. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Seni Pertunjukan UKSW Salatiga tahun 2010. Saai ini bekerja sebagai Perangkat Desa (Kepala Dusun) di Desa Padaan, Kabupaten Semarang. Cerpen yang bertajuk “Renungan Dikala Malam” merupakan karya cerpen pertama kali yang dibuat di tahun 2025. Selain itu juga aktif sebagai Praktisi dalam bidang musik (Pelatih Drumband, Juri lomba-lomba seni).




















