Judi Online, Candu di Tengah Carut Marut Ekonomi

Penulis: Dahono Prasetyo

Demografi yang digadang-gadang menjadi bonus populasi penduduk, pada suatu saat bisa menjadi petaka. Siklus pertumbuhan usia produktif yang lebih besar dibanding usia non produktif berimplikasi pada ledakan persaingan pencari kerja.

Pemerintahan Prabowo Gibran dalam evaluasi 100 hari kerja menunjukkan kinerja negative dalam menangani persoalan mendasar sumber daya manusia. Janji membuka 19 juta lapangan kerja baru justru dipenuhi fakta banjir PHK yang terjadi sistematis terkait kondisi ekonomi.

-Iklan-

Penutupan cabang-cabang produksi di berbagai sektor hingga ancaman efisiensi SDM dampak kebijakan moneter menambah populasi angka pengangguran di usia produktif. Program bansos, subsidi yang digelontorkan selain bersifat temporer juga melahirkan pola konsumtif baru.

Sementara itu aktifitas dunia digital yang diharapkan menjadi alternative mandiri para pemburu kerja lebih banyak menawarkan skema harapan. Iklan mendapat cuan hanya bermodal gadget, investasi digital hingga skema konten kreator tidak ada yang gratis.

Di sisi lain situs judi online yang ikut menyelinap di tayangan iklan produk digital justru lebih menarik perhatian pengguna gadget. Menjadi bentuk harapan instant mendapatkan imbalan atas aktifitas perjudian lengkap dengan privacynya.

Sumber data menyebutkan tahun 2025 terdapat 143 juta identitas pengguna media sosial. Dan dipastikan 80% mengetahui perihal judol. Dan dalam hukum marketing sebanyak apa publik mengenal produk, maka setengahnya adalah pengguna produk.

Produk judol menjadi buah simalakama di dunia digital. Para pengangguran, korban PHK hingga mereka yang frustasi persaingan lowongan kerja menjadi incaran empuk para bandar judol. Cukup bermodal 20 ribu dijanjikan kemenangan jutaan rupiah secara cepat, menjadi sebuah harapan baru di tengah keputusasaan.

Memberantas judol hanya giat di permukaan, bahkan satgas yang dibentuk berkesan formalitas negara melindungi warga. Populasi situs, bandar, pelaku hingga korban judol tidak berkurang, justru disinyalir bertambah seiring ketidakkonsistennya institusi memahami judol.

Judi online bukan sebatas persoalan hukum, namun menjadi fenomena sosial yang rumit diurai sebab akibatnya. Perilaku negative masyarakat menjadi cerminan tata kelola pemerintahan yang belum solutif.

Penjajahan digital kepada pemerintahan yang masih cenderung analog, melahirkan korbannya dari mereka yang berada di kelas ekonomi rendah. Pemimpin yang menjual mimpi dijawab para penjaja perjudian harapan.

Judi Online ada di setiap negara. Berdampak menghancurkan ekonomi dan generasi tergantung pemimpinnya. Ibarat WC tempat buang hajat yang seharusnya ditempatkan di belakang, justru dibiarkan ada di ruang tamu, teras bahkan halaman depan.

Kritik ini sebagai bentuk keprihatinan, bukan sekedar menyalahkan kekuasaan yang dibangun dari banyak pertaruhan .

Dahono Prasetyo (Litbang Demokrasi)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here