Penulis: Prof. Henri Subiakto
Baru saja saya diwawancarai Radio swasta nasional, ditanya kasus penahanan mahasiswi ITB oleh Bareskrim. Saya katakan, polisi kali ini Bareskrim salah dalam menerapkan UU ITE. Kalau hal begini terus berulang, maka publik dan orang-orang yang tak paham akan mengira UU ITE memang gunanya untuk membungkam kritik.
Ini jelas penerapan yang salah. Karena UU ITE sudah berkali-kali di judicial review di MK, direvisi terkait larangan fitnah, pencemaran nama baik atau penghinaan itu tidak bisa dilakukan penahanan oleh penegak hukum. Karena maksimal sanksinya di bawah 5 tahun. Jadi kalau ada penahanan atas nama pasal penghinaan (27A) itu jelas salah fatal.
Ini mahasiswi ITB yang bikin meme pak Jokowi dan pak Prabowo kok ditahan, berarti mereka dikenakan pasal lain yaitu pasal 35 yang sanksinya memang berat yaitu hingga 12 tahun. Tapi hal ini menujukkan penerapan yang keliru oleh Bareskrim dalam menggunakan pasal 35 UU ITE.
Pasal 35 itu merupakan bagian dari norma larangan perbuatan kejahatan terhadap komputer, atau sistem informasi (IT) yang di dalamnya terdapat informasi elektroniknya. Atau dikenal sebagai computer crime. Mengapa sistem informasi dilindungi UU, agar integritas, otentisitas (keaslian), dan kerahasiaan informasi milik orang atau badan hukum bisa terjaga. Ini adalah tuntutan perkembangan teknologi dan kehidupan digital.
Sebab kalau informasi elektronik, diakses, dibuka dan diubah atau dipalsukan oleh orang yang tidak berhak, akan merugikan pemiliknya. Maka UU melindunginya dengan pasal 30, 32 hingga 35 UU ITE. Sanksi bagi pelakunya berlaku pidana yang berat hingga 12 tahun.
Kenapa demikian? Bayangkan kalau informasi yang kita simpan di sistem IT, di komputer kita, dibuka orang, diubah atau dipalsukan, maka secara ekonomi, dan sosial kita akan rugi besar. Karena bisa saja informasi itu properti kita (berupa calon tulisan, calon lagu, atau rencana bisnis dan lain-lain). Jaman digital mengharuskan negara melindungi properti berupa informasi elektronik yang ada dalam sistem informasi yang kita gunakan.
Tapi kasus mahasiswi ITB itu berbeda. Informasi yang diubah olehnya bukan informasi milik seseorang atau milik badan hukum yang tersimpan dalam sistem. Bukan informasi ketika dibuka, diambil, diubah, dipalsukan akan merugikan secara ekonomi, bisnis dan sosial bagi pemilik informasi yang menyimpannya.
Foto atau video pak Jokowi dan pak Prabowo itu bukan informasi elektronik yang dilindungi integritas, keaslian dan kerahasiaannya seperti yang dimaksud dalam UU ITE pasal 32 dan 35. Foto dan video pak Jokowi dan pak Prabowo bukan informasi elektronik milik pribadi atau badan hukum yang disimpan dan dilindungi dalam sistem informasi yang mereka miliki. Foto atau video itu merupakan informasi terbuka ada dimana-mana bisa dicari secara terbuka. Pasal 32 dan 35 tidak berlaku untuk ini.
Foto video presiden Prabowo dan Jokowi sudah beredar di medsos sehingga untuk mengubah, dan merekayasa bisa ambil dari medsos atau sumber-sumber terbuka lainnya, tak perlu melawan hukum dengan menerobos apalagi merusak sistem informasi elektronik milik orang lain. Sebagaimana pemahaman yang dimaksud dalam larangan pasal aquo.
Prinsip dasar yang menjadikan unsur pidana pasal 32 dan 35 ini harus dipahami dan harus memenuhi. Jika tidak demikian ya tidak bisa pakai pasal tersebut secara sembarangan.
Apalagi pasal larangan computer crime ini dicampur dengan pidana pelanggaran ilegal content yang jenis pidananya computer related crime. Kejahatan menggunakan komputer yaitu untuk menghina atau berisi melanggar kesusilaan, ini tambah melenceng lagi.
Sepertinya pasal-pasal tersebut digunakan dicampur asal bisa untuk menjerat pelaku. Padahal membuat meme satire seperti itu bagian dari kritik yang dibolehkan oleh UUD 45 pasal 28 F, dan tidak dilarang UU, karena bukan fitnah, pencemaran nama baik, bukan pula ujaran kebencian dan permusuhan berdasar suku, agama, ras, etnis dan kelompok minoritas lain.
Yang dilakukan mahasiswi ITB adalah benar-benar kritik berbentuk satire. Sepahit dan semenyebalkan apapun kritik itu, hal demikian tidak dilarang UU.
Prof. Henri Subiakto pakar hukum dan komunikasi Unair Surabaya