Penulis: Dahono Prasetyo
Menyandang predikat “partainya wong cilik” di tengah hegemoni kepentingan, hanya PDI Perjuangan yang berani menanggung resiko politiknya. Penting atau tidak rakyat berpartai, faktanya masih banyak kelas menengah ke bawah yang mempercayakan aspirasinya ke partai berlogo moncong putih.
PDI Perjuangan yang lahir usai pergolakan Reformasi menjadi ruang politik mereka yang 32 tahun merasakan tekanan Orde Baru selama 3 dasawarsa. Tempat berkumpulnya “buronan politik” rezim Soeharto yang melakukan perlawanan Demokrasi.
Para politikus Nasionalis, aktivis, mahasiswa berikut gerbong massa yang dimiskinkan oleh sistem sentralistik kekuasaan.
PDI Perjuangan tumbuh menjadi Partai Politik majemuk terbesar yang anggotanya tersebar di kantong-kantong desa tertinggal, pojokan urban, luar pulau Jawa yang masih banyak hidup untuk makan. Secara intelektual, kader PDIP di akar rumput baru sebatas baca tulis, namun loyalitasnya pada partai diwariskan kepada garis keturunannya.
Gejolak dan dinamika internal partai lebih banyak didominasi tarik ulur faktor eksternal. Loncat kandang beberapa elite dan pemecatan kader “mbalelo” tetap tidak menggoyahkan jumlah kader terbanyak sepanjang dipimpin Megawati.
PDI Perjuangan dicintai dan dibenci menjadi siklus lima tahunan yang terus bergulir siapapun presidennya. Begitulah politik berayun, PDI Perjuangan naik turun pamor namun susah dipatahkan. Hanya “melengkung” menunggu waktu tepat melenting naik lagi.
Di era Jokowi, PDI Perjuangan mengalami ujian terberat. Kemunculannya dari Solo hingga menjadi presiden 2 periode menorehkan banyak catatan fenomena politik. Partainya wong cilik berhasil melahirkan presiden dari wong cilik juga.
Jokowi sukses dipoles PDI Perjuangan untuk mendobrak syndrome feodalisme partai-partai modern. Bukan elite apalagi pemilik partai, namun dipercaya partai untuk menjadi orang nomor satu di Republik. Jabatan Presiden tidak lantas merubahnya menjadi bukan lagi wong cilik.
PDI Perjuangan paham bahwa presiden hanya sekedar jabatan sementara, bukan target pencapaian kesejahteraan bangsa di tangan siapapun pemimpinnya. Suatu saat Jokowi akan kembali menjadi rakyat biasa
Yang kemudian terjadi hari ini usai Jokowi selesai menjabat, wong cilik lebih mencintai Jokowi daripada partai yang mendesainnya. Mereka menganggap tanpa PDI Perjuangan, Jokowi bisa memperjuangkan wong cilik dengan caranya sendiri.
Masyarakat yang masih rentan terinjak sistem kapitalis berpikir Jokowi mampu mengentaskan kemiskinannya meski tidak lagi menjabat. Secara emosional pemahaman tersebut tidak bisa dipersalahkan, namun dalam akal sehat, Jokowi sudah kembali sejajar dengan mereka.
Suatu saat Jokowi bisa habis digerus kejinya politik kekuasaan.
Kecintaan wong cilik kepada Jokowi melahirkan perlawanan kepada Partai yang melahirkannya. Gerakan wong cilik tiba-tiba membenci partainya wong cilik menjadi sebuah antitesa. Mereka lupa jika suatu saat bermasalah dengan doktrin kekuasaan, partai yang mau menampung curhat dan memperjuangkan mereka hanya di PDI Perjuangan. Bukan di Jokowi.
Mau mengeluh ke Golkar atau ke Gerindra sudah beda kasta, ke partai-partai Islam mesti dites dulu kita termasuk Islam aliran apa.
Anggap saja semua partai punya potensi oknum yang korup. Namun tidak ada Partai Politik yang didirikan untuk mencetak koruptor. Jika ada yang menganggap PDI Perjuangan menjadi partai terkorup, kemungkinan nalar politiknya sebatas judul berita jadi kesimpulan.
Disadari atau tidak, Jokowi telah menularkan virus kekurangajaran politik kepada wong cilik. Mereka melawan PDI Perjuangan dengan membabibuta di sebuah ruang kosong, tidak membentur apapun. Sementara lawan sesungguhnya adalah kesalahan tata kelola negara yang lebih membela para pembesar daripada wong cilik.
–
Dahono Prasetyo (Bukan kader PDI Perjuangan)

MEQA DAILY – Arina Blouse Peplum Airflow Crinkle
Tahukah kamu? Ada MEQA DAILY – Arina Blouse Peplum Airflow Crinkle dengan harga spesial!
Rp89.999 Rp35.882
All Size Fit XL
LD 100 Cm
Panjang 65 Cm
Lagi ada diskon harga & ongkir dan banyak produk baru di tokoku, nih. Mau? Belanja sekarang