Sebelumnya tulisan Kancah Perebutan Kursi Ketua ILUNI UI, mendapat tanggapan dari Wawan Purwadi. Begini komentarnya:
Yang harus berganti dari ILUNI UI bukan ketuanya, tapi kultur “yu yu ai ai” (UI).
Soliditas alumni UI diakui kalah kuat dari ITB dan UGM, untuk sekarang ini. Bahkan UII, yang notabene kampus non negeri dan juga Unpar, tengah giat membangun soliditasnya di tengah ‘pertarungan alumni kampus-kampus PTN.’
Dalam pertemuan ILUNI UI di Salemba tahun 2023 yang lalu, ada curhatan dari alumni MIPA dan FISIP angkatan 2000-an yang resah melihat banyak dari kawan-kawan mereka sesama alumni yang masih menganggur. Itu belum termasuk alumni Sastra (sekarang FIB).
Anak-anak politik UI jika ditanya tentang pasca lulus mereka pesimis memberikan jawaban. Bahkan ada yang mengatakan bisa jadi komika saja sudah bagus, seperti Raditya Dika.
Pemandangan ini berbeda dengan UGM dimana mahasiswa politiknya optimistik menghadapi masa pasca lulus. Kata mereka, ‘tenang ada kemendagri, kemendes, kemenpan RB dan kementerian lainnya!’
Kita tahu bahwa soliditas KAGAMA di hampir semua kementerian terlihat kuat. Bagaimana dengan alumni UI?
Sudah dua ILUNI FH UI yang saya jumpai mengeluh sulitnya menapaki jenjang karier di kementerian tempat mereka bekerja. Satu alumni senior angk 80-an dan satu kawan seangkatan. Kata mereka berdua, support alumni kita sangat lemah untuk menembus ‘barikade’ KAGAMA yang menguasai struktur kementerian. Sedangkan di antara sesama alumni UI saja, masih membawa-bawa kisah masa lalu di kampus ketika sama-sama berkarier di satu instansi pemerintah. Oh elo dulu clique kantin ya… oh elo dulu anak rohis…oh elo dulu kawannya si anu dan anu.
Penggalan kisah masa lalu (jika merujuk lagu La Luna) itu yang membuat hubungan antar alumni di satu instansi menjadi ada barrier. Belum lagi, bumbu-bumbu cerita angkatan yang ‘terbelah’ seperti angkatan 95, seakan membuat orang terpaksa berkata, ‘nyesel gue gak kuliah di ITB atau UGM!’
Itu di antara tantangan pengurus ILUNI ke depan. Jika itu bisa dijawab, alumni UI tidak lagi menjadikan grup Paragon sebagai tempat berkumpul. Sebab, Indonesia ini sangat sangat luas. Dan kampus ini beserta warganya membawa nama Negara yang sangat sangat luas… UI Untuk Indonesia.
Bagaimana menurut Anda?
Baca juga:
Kancah Perebutan Kursi Ketua ILUNI UI, Menteri dan Wamen Ancang-ancang, “Minggir Lu Miskin”
https://amroehadiwijaya.blogspot.com/2025/05/109-iluni-ui-dulu-dan-kini.html
———————
“ILUNI UI DULU DAN KINI”
(Menyongsong Pemira 2025)
Oleh: Amroeh Adiwijaya
Sejak dulu, menjelang Pemilihan umum raya (Pemira) untuk memilih ketua umum baru Ikatan Lulusan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) selalu muncul banyak opini, yang disederhanakan menjadi dua yaitu mengenai setoran nominal tertentu bagi peserta Pemira kepada panitia pelaksana (Panpel) Pemira, dan apa kiprah/yang harus diperbuat pengurus untuk alumni.
(1)
Nominal uang Pencalonan
Sangat bisa dipahami kalau Panpel menentukan penyetoran senilai tertentu bagi setiap peserta (periode yang lalu: 100k), toh yang nanti tidak terpilih, setoran bisa dikembalikan, entah ada potongan % tertentu atau tidak.
Nominal di atas selain untuk biaya Panpel dan pembatasan jumlah peserta, adalah juga untuk penanda keseriusan peserta, baik saat maupun pasca Pemira.
Bisa dibayangkan betapa membludaknya peserta kalau tidak ada pembatasan dengan sistem simple praktis-setoran dana di atas.
Tentu ada yang komplain, dan itu biasa, misal yang mengatas-namakan (maaf) komunitas kismin, “Yang kismin mundur!”.
Apa memang begitu? Nggak-lah, kan bisa dilakukan secara patungan/urunan antar pendukung.
Pengurus ILUNI itu tidak digaji, anggaran operasional organisasi terbatas, yang sangat mungkin malah harus mengeluarkan uang pribadi yang tidak sedikit, maka sang kismin yang terpilih pun harus siap menerima dan melaksanakan.
Itulah mengapa ada adagium/jargon yang digaungkan kaum tajir, “yang jadi pengurus organisasi (terutama sosial) itu harusnya yang telah selesai dengan diri sendiri alias yang tajir”, tapi ya itu, yang kismin-duitnya cekak tidak perlu minder untuk bersaing, asalkan mendapatkan dukungan dan pinter menggaet donatur.
Adapun nanti korupsi atau tidak, baik yang tajir maupun kismin, sama-sama punya peluang. Yang menentukan hanya ketahanan mental masing-masing.
(2)
Kiprah ILUNI UI
a. Menurut AD-ART ILUNI UI, ILUNI tak ubahnya seperti lembaga sosial, meski selalu saja ada yang mengaitkan pada politik praktis, sejak pelaksanaan Pemira dan sejak dulu.
ILUNI UI bukan sejenis BEM tingkat fakultas maupun Universitas yang dalam praktik sering menjurus pada politik praktis, meski (sekali lagi) ada yang menginginkan agar ILUNI berkolaborasi dengan BEM.
Untuk hal ini diperlukan ke-piaiwai-an sang ketua untuk bersikap dan bertindak, kapan ILUNI harus ikut serta /turun bersama BEM dan elemen masyarakat yang lain demi menerapkan pilar ketiga TRI DHARMA Perguruan Tinggi, (1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pengabdian Kepada Masyarakat.
b. Civitas Academica UI
Berdasarkan fakta, bukan penyimpangan atau kelainan, tidak dipandang dari sudut konvensi gramatikal atau semantis suatu bahasa, civitas academica (CA) UI yang terdiri dari dosen, mahasiswa, dan semua badan kepengurusan yang ada di UI (termasuk alumni/ILUNI UI), terkategori sebagai pribadi-pribadi yang metropolis, enterpreuner/tidak birokrat, dan individualis.
Kalau dilihat dari semua sisi, memang sejak dari sononya, alami, karena UI berada di pusat ibu kota negara, metropolitan (ingat: Mars Genderang UI), dan sekali lagi itu wajar/alamiah.
Maka tidak perlu over risau atau membandingkan dengan CA ex. Kampus lain manapun, karena pastinya masing-masing memiliki sisi positif/negatif, dan pada pinter untuk saling menjadikan inspirasi untuk bersaing meraih kebaikan dan kesuksesan.
Tapi dapat dipahami kalau sempat ada “chauvinisme” sikap cinta yang berlebihan dari CA manapun, sampai pada tahap fanatisme ekstrem terhadap kelompok asal-yang diikuti (almamaterisme).
Dan meskipun tidak almamaterisme buta melainkan berdasarkan kompetensi, tapi pernah diterapkan oleh alumni UI pada era ORDE BARU, dan setelahnya oleh Yusril Ihza Mahendra.
Semasa menjadi Menteri Hukum dan Perundang-undangan pada Kabinet Persatuan Nasional (era Presiden Megawati Soekarno putri), dan pada pemerintahan SBY sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Kabinet Gotong, Yusril memposisikan dua rekan se-almamater FHUI, yaitu Abdul Bari AZ (mantan Dekan FHUI) sebagai sekretaris jenderal/Sekjen, kemudian digantikan oleh Ramly Hutabarat.
Tapi tidak heran kalau ada alumni UI yang benar-benar individualistik, abai pada sejenis mengkantrol sesama alumni.
c. Apa seharusnya aktivitas ILUNI UI? Kalau (sekali lagi) berdasarkan AD-ART ILUNI, adalah memfokus pada kegiatan sosial untuk alumni UI. Tapi karena begitu kompleksnya, maka wajar kalau tidak banyak yang mampu dilakukan.
Bahkan kalau ada kegiatan misal berderma untuk karyawan UI, tidak heran banyak alumni yang protes karena sejatinya pemrotes itu perlu diberi derma tapi tidak sampai hati untuk mengajukan “proposal”.
Atau bisa jadi seperti masa saya di Senat Mahasiswa (SM) FHUI di mana pimpinan FHUI murka tidak setuju pada kegiatan pemberian derma kepada karyawan FHUI karena-berarti pimpinan FHUI dinilai tidak becus/tidak mampu menyejahterakan karyawan.
d. Pasca Pemira dua periode sebelum ini, di satu WAG alumni UI yang saya ikuti, ada wacana untuk mendirikan Koperasi ILUNI UI.
Karena dari pengamatan panjang maka saya skeptis pada Koperasi, lembaga yang mengawang-awang, tak kecuali pada “Koperasi merah putih” yang saat ini digagas oleh pemerintah.
Menurut saya, koperasi bisa berjalan hanya untuk karyawan di lingkup kerjanya karena diterapkan sistem potong gaji. Selain itu, koperasi pasti bangkrut.
Koperasi yang berbau Syariah yang biasa disebut Baitul Mal wa aTtamwil (BMT) pun diplesetkan menjadi Baitul Mal wa Tekor.
Setelah berargumen cukup panjang di mana saya menyebutnya praktik Koperasi (simpan-pinjam) biasanya dengan jaminan BPKB di mana-mana tidak karuan-sulit untuk dijadikan baik, yang berujung berpindahnya kepemilikan koperasi pada cukong, maka ide pendirian koperasi itu pupus.
e. Saya mengusulkan yang rasional-realistis yaitu mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang tentu harus dimanage ekstra baik, hati-hati dan profesional, misal dengan bentuk operasional berikut:
— Memiliki beberapa mesin ATM yang diletakkan pada tempat strategis tertentu.
— Bunga simpan-pinjam diekspose sebesar yang dibolehkan BI untuk BPR, tapi nasabah dijanjikan bonus senilai selisih bunga yang diberikan Bank umum, yang berarti sama dengan bunga Bank umum.
— BPR bisa mengoperasikan Mobile Banking sehingga nasabah bisa bertransaksi, misal transfer uang dan pembelian lain-lain melalui aplikasi (menyebut nama) Flip, sebuah aplikasi yang dicetuskan alumni UI itu.
Kalau kegiatan bersifat “ekonomi” seperti di atas tidak bisa diwujudkan, maka ide pendirian BPR tidak perlu dibahas. Percuma.
f. Lalu apa aktivitas ILUNI agar tidak sekedar menyerupai kegiatan OSIS? Tak lain harus muncul kepiawaian ketua ILUNI terkhusus dalam mendapatkan dana sehingga mampu membuat kegiatan yang membuat senang alumni, misal acara reuni tiga bulan sekali, free/gratis. Bukankah setelah kuliah adalah reunian?
Dan jangan diremehkan, karena reuni mampu menjalin relationship dalam segala hal termasuk menyinkronkan almamaterisme.
Sebagai penutup: Posisi ketua umum ILUNI UI memang prestisius dan wajar kalau diperebutkan.
Gresik, Rabu, 21 Mei 2025.
amroehadiwijaya@gmail.com
– Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) FHUI Periode: 1982-1983
– Ketua umum SM.FHUI Periode: 1983-1984
– Koordinator umum/Ketua umum Gerakan Anti KKN Alumni Universitas Indonesia (GAKKNAUI)