Makan Bergizi Gratis atau Memusnahkan Anak Secara Massal?

Penulis: Langit Quinn

Di atas kertas, Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah ide yang manis: memastikan anak-anak di sekolah mendapat nutrisi cukup, menekan stunting, dan meringankan beban keluarga. Di ruang praktik, ide manis itu berubah jadi piring bergelombang: upaya besar-besaran, logistik kilat, standar yang belum merata dan, ironisnya, ribuan anak yang jatuh sakit karena keracunan setelah menyantap makanan dari program itu.

Bukan hanya kegagalan teknis. Ketika program yang ingin menyelamatkan generasi justru membuat anak-anak beramai-ramai dibawa ke klinik. Wajar publik marah.

-Iklan-

Kasus keracunan massal bukanlah statistik kosong: ratusan hingga ribuan anak di berbagai daerah dilaporkan sakit, beberapa daerah mencatat puluhan hingga ribuan korban dalam periode pendek. Pemerintah dan badan terkait mengakui ada kelonggaran pengawasan, dapur-dapur yang belum memenuhi standar, serta penggunaan bahan yang tidak layak, lalu berjanji akan memperbaiki. Namun tidak ada penghentian untuk evaluasi.

Kemarahan publik melampaui hal teknis, ia menyentuh makna simbolik program itu. Ada yang mengibaratkan: kalau di luar negeri ada senjata pemusnah massal biologis, di sini “senjatanya” adalah program publik yang salah kelola — pernyataan itu tajam dan retoris, menunjukkan betapa dalamnya kekecewaan warga. Saya tidak bilang ada niat jahat terorganisir — tetapi rasa curiga muncul kuat ketika kegagalan program berdampak pada kelompok paling rentan. Ratusan bahkan ribuan anak-anak diracuni makanan yang konon katanya bergizi.

Bahkan ada pula yg berkata, dulu untuk menekan pertumbuhan penduduk menggunakan program KB, sekarang untuk menekan pertumbuhan penduduk dengan MBG.

Pernyataan itu mengandung kekecewaan mendalam ketika pemerintah sudah melihat fakta tapi enggan menghentikan dan mengevaluasi. Seperti sengaja terus membiarkan anak-anak keracunan dan mungkin menunggu mereka tewas massal. Karena kalau berhenti, maka berhenti pula pundi-pundi rupiah yang masuk kantong-kantong mereka.

Pelajaran yang harus diambil pemerintah dan publik berlapis-lapis:

  1. Keamanan pangan harus jadi prioritas, bukan bonus. Porsi anggaran besar dan target ambisius tidak boleh mengorbankan standar sanitasi, pelatihan dapur, dan inspeksi rutin. Jika targetnya menyentuh jutaan per orang, maka setiap link rantai suplai harus dipastikan aman.
  2. Transparansi dan akuntabilitas. Ketika anak sakit, orang tua berhak tahu apa yang terjadi: bahan apa yang dipakai, siapa pemasoknya, siapa mitra dapur, dan hasil pemeriksaan laboratorium. Kata maaf publik tidak cukup tanpa audit yang jelas dan tindakan hukum bila ditemukan kelalaian.
  3. Jangan politisasi keselamatan anak. Program publik berpotensi jadi fitur politik. Tapi keselamatan anak, kesehatan, dan nutrisi tidak boleh jadi kartu politik. Evaluasi independen harus dijalankan jauh dari tekanan politik—atau setidaknya diumumkan secara terbuka.
  4. Hentikan retorika, mulai perbaikan prosedur. Pemeriksaan dapur, sertifikasi hygiene, pelarangan bahan olahan berisiko, tracing pemasok — itu konkret. Kembali ke rencana, lalu ulangi pelaksanaan secara bertahap setelah standar terpenuhi.

Akhirnya, tulisan ini bukan untuk menambah bahan bakar konspirasi, melainkan untuk menyalakan sorot yang tajam ke masalah nyata: ketika kebijakan besar menyapa kerumunan kecil (anak-anak), kesalahan kecil pun bisa berbuah tragedi. MBG bisa jadi sejarah sukses—atau kisah peringatan—tergantung pada apakah negara dan masyarakat belajar dari keracunan ini: bukan dengan membungkam kritik, melainkan memperkuat prosedur, menuntut transparansi, dan menempatkan keselamatan anak di atas segala target politik.

Kalau tujuan awalnya tulus—mencetak generasi sehat—maka langkah selanjutnya harus jauh lebih hati-hati, berlandaskan ilmu, dan bertanggung jawab. Kita tak mau piring bergizi berubah jadi musuh yang meracuni harapan.

Anak-anak bukanlah kelinci percobaan.

Baca juga:

Wartawan CNN Tanya Prabowo soal MBG, Eh Kartu Pers-nya Dicabut Istana

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here