Laporan: Josephus Primus
SintesaNews.com JAKARTA – FILSUF dan teolog Franz-Magnis Suseno, S.J atau karib disapa Romo Magnis mengingatkan Pancasila sebagai etika politik.
“Etika politik itu untuk melawan penindasan dan otoritarianisme baru,” tutur pastor Katolik saat menyampaikan kuliah umum bertajuk “Filsafat dan Etika Pancasila dalam Bayang-Bayang Rezim Otoritarianisme”, di Sekretariat DPC GMNI Jakarta Selatan, 17 Desember 2025.
Romo Magnis menyatakan bahwa Pancasila merupakan hasil kejeniusan Soekarno yang seharusnya menjadi kompas etika dalam bernegara, bukan justru diperalat sebagai ideologi totaliter untuk melegitimasi kekuasaan atau membungkam hak asasi manusia.
”Pancasila tidak seharusnya dipahami sebagai ideologi dalam pengertian sempit dan totaliter. Mengutip Marx, ideologi dapat menjadi keyakinan palsu yang memaksakan cara hidup tertentu,” ucapnya.
Berbeda dengan itu, Pancasila justru merupakan cita-cita, nilai, dan etika politik yang tidak memperkosa kebebasan, melainkan mengakui dan merawat keberagaman Indonesia, terangnya.
Romo Magnis menjelaskan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi ancaman serius berupa “pembusukan demokrasi” yang ditandai dengan menguatnya oligarki dan politik dinasti.
Romo Magnis menekankan bahwa empat sila Pancasila sebenarnya selaras dengan Deklarasi Universal HAM, sehingga segala bentuk otoritarianisme yang memicu korupsi dan perampasan hak rakyat—termasuk dalam kasus konflik agraria dan masalah Papua—merupakan pengkhianatan nyata terhadap nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Kehilangan substansi
Adapun, moderator acara Fajar Martha menyampaikan bahwa demokrasi Indonesia kian kehilangan substansinya dan terjebak dalam formalitas prosedural yang kering akan dimensi etis.
Ia merefleksikan bagaimana konsumerisme dan teknologi seringkali meninabobokan kesadaran generasi muda.
Sementara di lapangan, negara justru sering hadir dalam bentuk tekanan yang represif terhadap warga sendiri.
”Fenomena hilangnya oposisi, menguatnya legal otoritarianisme, serta perampasan hak hidup warga mulai dari Pancoran, Kendeng, hingga Wadas menjadi indikator kemunduran demokrasi yang kerap membenturkan warga dengan warga,” ujarnya pada kesempatan yang sama.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institut Marhaenisme 27, Dendy Se, mengemukakan urgensi diskusi ini di tengah krisis etika, moral, dan integritas para pemangku kebijakan saat ini.
Ia menyoroti dinamika politik nasional yang menunjukkan gejala mengkhawatirkan, termasuk ketidakmampuan negara mengelola persoalan rakyat akibat praktik demokrasi yang kehilangan dimensi etis.
”Dinamika politik saat ini menunjukkan gejala mengkhawatirkan, mulai dari melemahnya etika demokrasi hingga bayang-bayang kembalinya Orde Baru dalam wajah baru di bawah pemerintahan Prabowo–Gibran,” ungkap Dendy menekankan urgensi pemahaman etika politik bagi peserta kuliah umum.
Ketua DPC GMNI Jakarta Selatan, Rauf, menegaskan bahwa mahasiswa dan kader GMNI harus memiliki keberanian intelektual untuk mengkritisi arah bangsa yang dianggap mulai condong pada praktik tirani.
Ia menilai penting bagi generasi muda untuk memahami Pancasila secara mendalam agar tidak mudah dimanipulasi oleh jargon-jargon kekuasaan yang mengabaikan keadilan sosial bagi rakyat kecil.
”Besar harapan agar Romo Magnis bisa memberikan pandangan serta situasi terkini terkait kondisi bangsa agar kita tetap menjadikan Pancasila sebagai philosophische grondslag dalam melawan rezim tiran,” katanya.















