Penulis: Dahono Prasetyo
Setelah diprotes netizen beberapa hari ini, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan tidak ada eskalator. Yang ada benda bernama Stairlift non permanen untuk mengangkut Presiden dan tamu negara ke atas candi Borobudur
Fadli menjamin alat bantu angkut benda tidak merusak konstruksi batu yang menjadi pijakannya.
Pertanyaannya: Sejak kapan mesin pengangkat beban dibuat dengan mengandalkan kekuatan lem aibon? Tidak perlu memakai pasak paku yang menembus batu? Eskalator dan stairlift beda nama cara kerjanya sama.
Jadi siapa yang bodoh? Tukang batu atau menterinya?
Sementara respon umat Buddha berbeda lagi. Pembina di Parisadha Wajrayana Kasogatan, Upashaka Pandhita Tarra Lozhang, mengatakan, selama ini saat umat Buddha menggelar ritual keagamaan di Candi Borobudur yang diikuti oleh para biksu lansia. Para biksu ini digendong oleh dua sampai tiga orang untuk naik ke atas candi.
Candi didesain pembuatnya bukan untuk sebuah kenyamanan. Proses naik turun tangga curam mencapai puncak altar tertinggi bagian dari filosofi ritual.
Inilah dampak pemimpin instan, mau naik altar candi tertinggi maunya instan juga. Ditandu juga belum tentu mau.
Nulis pakai fakta itu di era “mie instan” itu paling ngeselin. Tetep dianggap nyinyir. Dicap RT 16 RW 24 persen yang kalah taruhan 2024 lalu.
Kaum 58 watt memang suka ngamukan, susah diajak jogetan
–
Dahono Prasetyo
Baca:
Istana Bantah Pasang Escalator di Candi Borobudur, Namanya Stairlift
[…] Stairlift for President […]