Penulis: Dahono Prasetyo
Namanya warung “Waru Doyong” berada di deretan sisi utara pangkalan truk di kota Batang. Berjejer di kanan kirinya warung minuman bir sejenis semi permanen.
Sopir-sopir truk menjadikan tempat itu serupa rest area di jalur Pantura. Suasana remang-remang, sayup musik dangdut di salah satu warung. Pertanda ada pesta kecil bir bintang dan oplosan para pejuang nafkah di atas roda.
Pemilik Waru Doyong perempuan umur 30-an yang aku kenal dari seorang kawan yang menjadi pacarnya. Mereka bukan suami istri namun sudah saling berbagi hidup dan saling memiliki.
Aku selalu sempatkan mampir semalam dalam perjalanan menuju Jakarta. Menikmati suasana hiburan malam sambil mencatat labirin-nya satu per satu.
“Mas ditanyain Dewi tuh, kemarin sore dia ke sini,” kata Mbak Ros pemilik Waru Doyong usai aku merebahkan pantat di bangku kayu, di bawah pohon waru yang doyong (miring) di depan warung.
Perjalanan singgah malam ini terasa penat gegara bus penuh dari Semarang sore tadi. Mbak Ros sudah paham jalan perantauanku, tidak bisa ditebak kapan datang namun selalu mampir.
“Iya, Minggu lalu Dewi nitip kain pantai dari Jogja. Ini sudah aku bawakan, mbak,” jawabku sambil mengeluarkan bungkusan berisi 2 kain pantai warna-warni.
“Ya wis sana temuin, kangen juga sepertinya,” perintah Mbak Ros sambil mengambil lenganku.
“Ini hari Rabu, Pak Lurah nggak ada ya?”
“Aman, Pak Lurah lagi seminggu ke Semarang, ada acara dinas,” jawab Mbak Ros sambil mendorong punggungku keluar.
Di seberang komplek warung di ujung pelataran parkir truk, ada perkampungan penduduk. Orang-orang menyebutnya asrama putri untuk menyamarkan komplek lokalisasi. Dewi salah satu penghuninya.
Usianya baru 20 tahun, badan sintal rambut hitam sepunggung. Mengenalnya 4 bulan lalu dari Mbak Ros. Dia ramahan saat berbicara menyapaku pertama kali memakai bahasa Jawa “kromo inggil”. Cocok diajak bercanda sambil menampung curhatnya saja. Aku sendiri belum pernah menidurinya karena dia sudah jadi simpanan Lurah di kampung belakang.
“Wiii… Dewi..”
“Oiii… Mas Pras…,” suara wanita memanggil namaku dari dalam salah satu kamar. Dia hapal suaraku yang nada memanggil seperti anak kecil mengajak main layangan.
“Kapan datang mas, dari tempat Mbak Ros kan?”
“Baru 10 menit sampe, Mbak Ros sudah maksa suruh ke sini,” jawabku sambil merebahkan pantat di sofa ruang tamu.
Malam itu kami bertemu, kain pantai pesanannya langsung dipakai untuk membungkus perut dan pahanya yang putih mulus. Dia tertawa ngakak waktu dengar ceritaku saat di bus kentut diam-diam membuat 4 orang mabuk hidungnya.
Dia cekikikan saat ketika aku minum kopi suguhannya kepanasan di bibirku. Sempat pula mengusap air bening di sudut matanya saat bercerita kangen orang tuanya di Malang.
Malam itu dia matikan lampu merah di halaman rumah, pertanda tidak buka praktek jual beli napsu semalam. Aku tertidur di sofa dan sempat merasakan Dewi menghamparkan selimut di badanku.
Pagi hari…
Suara lelaki dan perempuan bertengkar di luar membangunkanku. Dewi mengintip dari balik korden ruang tamu.
“Ada ibu-ibu nggruduk suaminya yang sudah 2 hari nggak pulang. Biasalah… Sudah sering kok,” jelas Dewi ringan saat aku menyusul intip pemandangan gaduh pagi.
“Mandi dulu mas, tadi Mbak Ros anterin nasi uduk sama getuk buat sarapan,” kata Dewi sambil berjalan ke arah kamarnya. Keluar sambil menyerahkan handuk wangi, tetap dengan senyum ramahnya yang tidak pernah alpa.
Usai mandi sepiring nasi uduk lauk telor bulat raib pindah ke perut dalam 3 menit. Dewi menatapku dari sofa pojok sambil menyisir rambut panjangnya.
“Nanti berangkat ke Jakarta ikut siapa mas?”
“Paling sama mas Wandi, semalam truknya parkir di depan Waru Doyong,” jawabku sambil mengunyah dessert berupa getuk.
“Mas Pras mampir lagi kapan? Nggak tahu ya?” pertanyaan Dewi lengkap dijawab sediri. Dia hapal kalau aku tidak pernah menjadwalkan hari, namun paling cepat seminggu sekali pasti mampir.
Semalam kami berbincang tentang kota peradaban bernama Jakarta. Etalase sejuta impian yang selama ini jadi tujuanku usai mampir lepas dari pelukan romantisme jalur Pantura. Di sana banyak tawaran mimpi untuk dinikmati, ditonton dan coba dijalani.
Awal tahun 98 menjadi masa paling sulit saat situasi negara sedang dihujani krisis segala hal. Bolak-balikku ke Jakarta dari satu aksi demo ke mimbar trotoar lain menjadi saksi simpul sejarah. Rambut gondrong sepundak cukup menjadi penanda aku bukan bagian dari birokrasi.
“Aku ke Jakarta 2 mingguan, Wi. Kalau balik ke Jogja lewat Semarang numpang truk pasti aku mampir. Numpang mandi, tidur, sarapan, ngopi sambil sesekali dengar curhatmu kalo nggak ada Pak Lurah,” jelasku. Dewi senyum namun terlihat dipaksakan saat aku menatapnya.
“Mas ini uang ganti beli kain pantai dan ini aku nitip sesuatu buat mas Pras simpan,” kata Dewi mengambil telapak tanganku. Sebuah amplop putih dan bungkusan kotak kecil berbungkus kain kado batik
“Kotak isi apa ini, Wi?
“Jangan banyak tanya, kalau mau buka nanti di Jakarta saja,” potong Dewi sambil bergegas membuka pintu saat seseorang memanggilnya.
“Eh mas Wandi, sudah mau jalan sekarang ya?” kataku pada sopir berperut buncit seusai pintu terbuka.
“Iya, mumpung jalan nggak rame, biar sebelum sore sampe Bekasi,” jawab Wandi.
Dewi sedikit bermuka cemberut namun berusaha senyum. Kami berpisah sederhana saja saat sebentuk bibir ranum mampir di pipi kiriku.
Bekasi sore hari…
Mas Wandi menepuk punggungku saat berpamitan turun dari truknya. Dia sopir paling idealis dari beberapa sopir langganan yang kutumpangi di jalur Pantura.
“Kalau ada jaket mahasiswa seukuranku pasti aku ikut demo, Pras. Mukaku juga masih imut belum tua banget to?” Kata Wandi siang ngobrol di usai masuk Tol.
“Mas Wandi punya tanggungan keluarga, biar kami-kami saja yang berjuang. Lagipula mana ada mahasiswa perutnya segentong gitu. Mesti pesan jaket almamater khusus,” jawabku melarang secara halus keinginannya ikut aksi menggoyang pemerintahan.
Sebuah saung kecil pangkalan ojek di pinggir Kalimalang terlihat kosong. Aku duduk menunggu metromini menuju arah Cawang. Tas ransel hitam kubuka kantong sampingnya, amplop putih dari Dewi kusobek pinggirnya. 2 lembar uang 100 ribu terlihat di bawah selembar kertas kecil di atasnya.
“Ini uang buat ganti kain pantai,” tulis kertas kecil dengan penampakan bentuk bibir merah gincu. Stampel khas perempuan pesolek.
“Banyak banget duitnya sih Wi.. Aku beli 2 kain di Pasar Beringharjo cuma 20 ribu,” kataku dalam hati sambil nyengir. “Makasih Wi,” ucapku setengah berbisik.
Menyusul sebuah kotak kecil berbungkus kertas kado kubuka. Terasa berat dan ada benda yang bergerak di dalamnya saat kugoyangkan.
Sebuah kotak perhiasan berwarna merah marun kubuka. Di dalamnya ada 4 buang gelang, 2 cincin dengan liontin kecil, kalung rantai dan 4 pasang giwang dan anting. Semuanya emas.
Bergegas kututup kotak sambil leherku bergerak memutar memastikan tidak ada orang yang memperhatikan aktivitasku. Tidak ada siapa-siapa, hanya ada tukang asongan yang baru saja lewat.
Sebuah kertas kecil yang sebelumnya melapisi kotak aku buka lipatannya. Ada tulisan tangan beberapa paragraf.
“…. sebagian besar pemberian dari pak Lurah, yang anting giwang aku beli sendiri” tulis salah satu paragraf. “Dewi nitip ke mas Pras biar aman. Suatu saat Dewi ikut mas Pras ke Jakarta….,” sambung tulisan yang kubaca tanpa sadar membuat bibirku membentuk huruf O.
“Wii.. Dewi. Kamu bukan nitip barang tapi nitip beban ini namanya,” gerutuku dalam hati sambil bergegas bangkit saat metromini yang kutunggu berhenti.
—
Ruangan di lantai 2 penuh sesak dengan kami yang berkumpul malam itu. Sebuah ruko kosong di bilangan Pancoran jadi tempat rahasia kami berkumpul mendiskusikan perkembangan aksi demo tiap hari.
Beberapa kawan sudah dikabarkan hilang, kami harus bertahan dalam persembunyian atau terus bergerak dengan resiko diculik kapanpun. Salah seorang korlap memberikan 2 opsi yang sama-sama sulit.
Kami berpisah di kegelapan usai turun satu per satu dari tangga besi darurat di belakang ruko. Subuh sehabis kumandang Adzan. Kuputuskan berjalan ke arah Patung Pancoran.
Bus Arimbi berwarna kuning jurusan Merak kuhentikan. Naluriku semalam menuntun aku harus sembunyi sejenak di Lampung. Pelabuhan Bakaheuni menyambut pijakan sepatu dengan sedikit ringan.
Sebuah catatan bertulis alamat kutanyakan pada seorang Petugas parkir. Kemudian disarankan naik bus kecil jurusan kota Panjang.
—
Dua puluh lima hari numpang di rumah sahabat bukan perkara makan enak yang sudah disediakan tiap hari. Pikiran setiap jam membayangkan situasi Ibukota dari tayangan televisi. Dan yang paling menggelisahkan wajah Dewi menyela-nyela beberapa malam ini.
Hari ke-26 di persembunyian, di akhir April 98 kuputuskan pamit balik ke Jakarta. Mobil Heri mengantarku sampai ke pelabuhan Bakaheuni. Kami berpisah dengan pandangan mata saling mendoakan keselamatan masing-masing.
Rumah lantai dua di kawasan Tanjung Duren masih terbuka menyambut kedatanganku. Rumah saudara ipar dari Semarang yang sukses sebagai pedagang kue-kue basah di Glodok menjadi persinggahanku untuk kesekian kalinya. Rumah tempat beristirahat usai seharian demo, berpamitan pergi lagi pagi harinya usai mengunyah sarapan kue dari lantai bawah yang dijadikan dapur produksi.
“Pokoknya ati-ati ya, mas. Kalau ada apa-apa segera pulang ke sini,” kata perempuan yang bersambung hubungan bibi ipar. Dia paham aktivitasku selama 2 tahun bolak-balik Jogja Jakarta.
Rumah kosong berpagar seng keliling kumasuki melalui salah satu lembar seng yang sengaja menggantung untuk lewat sebadan orang dewasa. Di halaman belakang beberapa kawan sudah berkumpul, lalu berhamburan memelukku bersyukur atas keberadaanku yang masih selamat.
Sepulang demo di Semanggi, kami kocar-kacir diburu aparat beraneka senjata. Rumah kosong di kawasan Manggarai ini untuk sementara aman bagi kami menghitung berapa yang masih tersisa. Tanpa alat komunikasi pertemuan kami hanya berdasarkan kode kesepakatan sebelum terpisah dihajar pentungan.
Sebuah benjolan sebesar bola pingpong nempel di tulang kring kaki kanan. Sepatu aparat yang lolos dari waspadaku membuat benjolan malam ini mulai membiru. Aku menikmatinya sebagai resiko saat kawan lain ikut menunjukkan 2 benjolan di kepalanya.
Salah seorang korlap menyampaikan kabar penting: Akan ada penembakan di kampus Trisakti, selanjutnya situasi chaos semakin membesar, berlanjut kerusuhan massal di beberapa kota. Diktator Orba lengser.
Kami terdiam serius, masing-masing membayangkan ukuran 10 kali chaos dibanding hari ini. Aku salah satu yang minta ijin pamit pulang ke Jogja. Bukan karena gentar, tapi perjuangan memasuki babak baru butuh energi baru dengan menjaga jarak sejenak.
–
Kereta tujuan Semarang aku naiki dari stasiun Jatinegara. Lembaran kertas lima ribuan aku siapkan untuk kondektur saat kontrol tiket tiap gerbong. Penumpang gerbong 3 hanya berisi separo.
Di stasiun Batang aku turun. Wajah Dewi dan kotak titipannya semalam mengganggu isi kepala. Sore itu pangkalan truk di pinggir Alas Roban terlihat lengang. Sebulan lebih tak kusinggahi tidak ada bedanya, pohon waru di depan warung Mbak Ros masih tetap doyong ke barat.
Mas Joko kawanku, pacar Mbak Ros terlihat sedang duduk berbincang dengan seorang lelaki berbaju PNS. Aku permisi melewati tempat duduk mereka menuju dapur kecil di belakang. Mbak Ros sedang mencuci piring.
“Mas Pras sama Dewi nggak?” pertanyaan Mbak Ros langsam tanpa awalan.
Sebuah bangku plastik aku bawa ke dapur demi mendengarkan cerita Mbak Ros. Dewi kabur seminggu lalu usai digebukin sama Pak Lurah. Persoalannya apa tidak penting bagiku. Pamitan Dewi pada Mbak Ros saat naik bus arah Jakarta membuat aku garuk-garuk rambut yang tiba-tiba gatal. Mungkin para kutu ikutan kaget.
Malam ini aku, Mbak Ros dan Mas Joko duduk bertiga. Sama-sama memikirkan Dewi yang disangka menyusulku ke Jakarta. Beban dalam sekotak perhiasan titipan Dewi menggelayut di ubun-ubun. Masa depan Dewi ada di benda yang nongkrong di tas ranselku dan hanya kami berdua yang tahu. Jutaan rupiah jika diuangkan.
Untuk ketiga kalinya aku bertanya arah bis yang ditumpangi Dewi. Ke barat atau arah timur. Jawabannya tetap sama, Dewi menuju Jakarta, bukan ke timur pulang ke kampungnya di Malang.
Kemana aku harus mencarinya sementara Dewi beberapa kali merahasiakan nama kampungnya di Malang saat kutanya. Ke Jakarta apalagi dengan situasi yang sudah pasti sedang tidak aman dikunjungi seseorang untuk pertama kalinya.
–
Akhir Agustus 1998…
Seminggu sudah aku kembali ke Jakarta yang mulai kondusif. Menyaksikan sisa-sisa bangunan hangus dan kabar ratusan orang mati sia-sia. Dari seorang kawan tim relawan aku mendapat info tentang sosok perempuan meninggal korban pemerkosaan.
Di saku wanita itu ditemukan sebuah kartu identitas bertulis nama Dewi Lestari, asal kota Malang. Wajahnya di foto KTP adalah sosok yang sedang aku cari.
–
Komplek pemakaman umum Pondok Rangon siang itu tidak ramai orang. Papan petunjuk komplek pemakaman masal korban kerusuhan menuntunku berjalan memasuki sebuah gundukan besar. Korban kerusuhan massal dikuburkan secara masal.
Dengan menahan sesak di dada kuhampiri sebuah pohon. Sebuah belati kecil teman setiaku selama ini kugunakan untuk menggali sebuah lubang. Sedalam yang sekiranya cukup untuk menimbun kotak perhiasan milik Dewi beserta isinya.
“Maafkan aku ya Wi… Tenanglah di sana, karena Tuhan Maha Pengampun. Aku masih di sini mencari jalan pengampunan-Nya,” bisikku sambil sibuk menahan embun yang hampir jatuh di sudut mata.
–
Selesai
–
Dahono Prasetyo