Bencana Demografi di Era Neo Kapitalisme

Warga berdesakkan memberika surat lamaran di bursa kerja Kota Batam 2022.(ANTARA/YUDE)

Penulis: Dahono Prasetyo

Kapitalisme gaya baru akan cenderung menyerbu negara yang sedang mengalami bonus demografi. Dimana populasi penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang lebih tinggi dibandingkan usia tidak produktif (anak-anak dan lanjut usia).

Kedatangannya bukan untuk mempekerjakan mereka di sektor-sektor monopoli industri, namun menjadikan usia produktif sebagai target pasar komersil yang dijajakan dengan berbagai modus.

Argumentasi di atas menjadi pelengkap pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya di mimbar St Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025, Rusia.

-Iklan-

“Dalam 30 tahun terakhir, kami merasakan dominasi filosofi pasar bebas kapitalis klasik neoliberal, yang pada dasarnya cenderung “laissez-faire” (pasar tanpa intervensi negara), di mana elite Indonesia mengikuti filosofi ini tapi tidak berhasil mengantarkan Indonesia ke kondisi kemakmuran maksimal.”

Saat pasar bebas yang menjadi anak kandung kapitalisme tidak mampu diintervensi oleh negara, yang terjadi adalah persaingan tidak seimbang antara arus modal dengan kemampuan masyarakat menyerapnya menjadi sarana kesejahteraan.

Dengan kata lain masyarakat demografi dipaksa menjadi konsumen produk-produk kapitalis yang memonopoli. Jangankan berpikir kemandirian, untuk terlepas dari kepungan pasar bebas harus berdarah-darah meninggalkan zona nyaman.

Market place, online shop hingga kemewahan berbagai aplikasi menjadi kepungan pilihan yang sulit untuk ditolak. Shopie, Lazada, Toped, Gojek, Traveloka baru segelintir produk yang menguasai pasar komersil. UMKM “Perjuangan” yang digadang-gadang akan bangkit hingga dibuatkan kementerian khusus, pada gilirannya hanya menyisakan para pelakunya saja.

Allo Bank, Neo Bank, Seabank, DBS, UOB sebagian dari Bank Digital yang menawarkan kemudahan kredit namun lebih cenderung dipergunakan untuk membayar aktifitas konsumerisme.

Kegagalan pemerintah membendung drainase kapitalisme semakin diperparah dengan ketidakmampuan menyerap kaum demografi yang bertebaran di tiap job fair. Pembukaan lapangan kerja baru tidak seimbang dengan arus PHK perusahaan yang terpaksa tutup karena kalah modal.

Ketidakberdaulatan negara semakin gamblang dengan hilangnya kemampuan Pemerintah untuk membuat keputusan politik, ekonomi dan sosial secara mandiri. Tidak memiliki kontrol penuh atas penguasaan wilayah sumber daya alam.

Dari Jokowinomic ke Prabowonomic masih berkutat pada negosiasi alot dengan para kapitalis yang terlanjur “digandrungi” kaum Demografi. Ketegasan lisan berubah anomali ketika berada di meja penandatangan MoU hingga Kontrak Karya SDA.

Jika ingin blak-blakan lagi silahkan cermati postur APBN kita. 82,4% disumbang dari sektor pajak. Sementara Hasil Tambang, Minyak Bumi, Gas, dan Energi Menyumbang 7,4%.

Artinya: Rakyat dipaksa kerja keras dan belanja agar bisa membiayai negara dengan penerapan pajak. Sementara SDA yang melimpah hanya sedikit yang menjadi hak negara, selebihnya didominasi hak pemodal dan para rente.

Dan celakanya negara merestuinya

@Dahono Prasetyo – Litbang Demokrasi

Umrah Paket Hemat dan Ekonomis, Fasilitas Lengkap dan Nyaman

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here