Penulis: Nurul Azizah
Gus Mus (Kiai Mustofa Bisri) menyatakan keberatan terhadap rencana menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto dengan alasan banyak ulama pesantren dan NU diperlakukan tidak adil selama Soeharto berkuasa.
Kalau saya sebagai penulis akan memaparkan beberapa buku yang pernah penulis baca diantaranya: “Mereka Menodong Bung Karno, Kesaksian Seorang Pengawal Presiden oleh Soekardjo Wilarjito, Membongkar Supersemar (Karya Dr. Baskara T Wardaya, 2007), Bung Karno menggugat, Ahmad Yani sebagai Tumbal revolusi, suara perempuan korban tragedi 65 dan sebagainya.”

Jujur, saat saya pertama tahu bagaimana awal dan semua proses si Bung Besar Soekarno dijatuhkan sampai meninggal, bagaimana Bung Karno didzolimi dengan sangat-sangat keji, saat membaca buku-buku tersebut saya geram, sakit, sedih banget, melihat penderitaan Bung Karno. Tapi di sisi lain saya semakin memahami betapa Bung Karno jauh lebih mengutamakan bangsa dan rakyatnya jauh di atas penderitaannya. Resiko perjuangan, beliau siap disiksa, tidak terurus dengan layak sampai akhir hidup Bung Karno.
Dari hasil membaca buku “Mereka Menodong Bung Karno, kesaksian seorang pengawal presiden, Penulis Soekardjo Wilarjito penerbit Galangpress, cetakan III, 2009, sedikit saya rangkumkan biar tahu, apakah pak Harto layak dijadikan Pahlawan Nasional.
Soekardjo Wilardjito, S. Miss, pengawal presiden Soekarno, seorang saksi sejarah dan veteran Letda Infantri TNI AD yang selama 14 tahun disiksa dan dipenjara oleh rezim Orde Baru tanpa proses pengadilan.
Pada bulan Agustus 1998, ketika ia telah bebas dari penjara dan bermaksud mengadukan nasibnya di LBH, malah dia dituduh menyebarkan berita bohong. Karena keyakinannya bahwa dirinya berkata benar dan merasa dipersalahkan secara publik tanpa dasar, tidak mau diperlakukan tidak adil untuk kedua kalinya, Wilardjito tidak takut lagi maju ke pengadilan.

Setelah 10 tahun berjuang, akhirnya April 2008 MA RI mengeluarkan surat keputusan menangkan Wilardjito.
Inilah ringkasan tulisan pak Wilardjito, detik-detik menegangkan saat Soekarno digusur oleh Soeharto.
Hanya mengenakan baju piyama, Bung Karno menemui keempat jendral utusan Pak Harto. Lantas Jendral M. Yusuf menyodorkan sebuah surat dalam map warna merah jambu. Setelah membaca surat tersebut, dengan nada terkejut, Bung Karno spontan berkata: “Lho diktumnya, kok diktum militer, bukan diktum kepresidenan!”
Mendengar Bung Karno bilang seperti itu, secara reflek Wilardjito yang berada di ruangan tersebut tak kalah terkejutnya. Surat itu tak ada lambang Garuda Pancasila dan kop surat tersebut bukan berbunyi Presiden Indonesia, melainkan kop di kiri atas, Markas Besar Angkatan Darat (Mabad).
Bung Karno menolak untuk tanda tangan, lagi-lagi pistol diacungkan, sambil berkata: “Untuk mengubah waktunya sangat sempit. Tanda tangani sajalah, paduka, ‘Bismillah,” sahut Basuki Rahmat, yang diikuti M Pangabean mencabut pistol FN 46 dari sarungnya. Secepat kilat Wilardjito juga mencabut pistol.
“Jangan! Jangan! Ya sudah kalau mandat ini harus ku tandatangani, tetapi nanti kalau masyarakat sudah aman dan tertib, supaya mandat ini dikembalikan kepadaku.”
Keempat jendral itu lantas mengundurkan diri dari hadapan Bung Karno.
“Mungkin aku akan meninggalkan istana, hati-hatilah engkau,” kata bung Karno kepada Wilardjito. Dan benar itu menjadi malam terakhir Wilardjito berjumpa dengan Bung Karno.
Selanjutnya Wilardjito ditangkap oleh rezim Orde Baru, disiksa, dipenjara yang berpindah-pindah selama 14 tahun.
Pada malam hari, 11 Maret 1966 setelah 4 jendral utusan Pak Harto mendapatkan tanda tangan Bung Karno, Kebun Raya Bogor dipenuhi oleh RPKAD dan menangkapi beberapa orang petugas istana, termasuk Pak Wilarjdito.
Sungguh brutal dan sewenang-wenang sekali, tanpa prosedur hukum. Setiap orang yang ditangkap ditodong oleh dua regu, diperintahkan supaya angkat tangan. Tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan dan langsung dinaikkan truk dibawa ke RTM (Rumah Tahanan Militer).
Surat penangkapan tidak pernah diberikan. Diperlakukan sewenang-wenang bahkan beberapa kali dipindah ke tempat tahanan lain. Data-data Wilardjito dari ijazah-ijazah HJS, SMO, SMA, sertifikat dari UGM, Ijazah militer, surat nikah, akte kelahiran anak-anaknya diambil semua. Termasuk ijazah dan semua data-data istrinya sebagi perawat di RS CBZ (RS Sutomo Surabaya).
Sejak ditahan Wilardjito disiksa di luar peri kemanusiaan. Dia dicambuki dari pukul 08.00-16.00 dengan cambuk khusus tidak melukai kulit tapi daging dan tulang terasa retak.
Lima bulan berikutnya Wilardjito disetrum 22 kali. Setelah 4 tahun diperiksa dokter ternyata sumsum tulang belakangnya kering, hal ini menyebabkan kakinya lumpuh.
Yang jelas Wilardjito selalu dituduh oleh rezim Orde Baru sebagai antek PKI.
Setiap pagi diinterogasi suruh jawab pertanyaan “Kamu antek PKI” tidak jawab, digebuk, jawab, digebuk, menjawab tidak, pasti digebuk.
Wilardjito berasal dari Godean Yogyakarta, pak Harto juga dari Godean Yogyakarta. Betapa ironis dua orang berasal dari daerah yang sama berada pada sisi kekuasaan yang berseberangan.
Semua haknya Wilardjito tidak diberikan dari gaji, hingga tunjangan lauk-pauk. Istrinya juga diberhentikan jadi perawat di RS Sutomo karena alasan suaminya antek PKI.
Tulisan ini saya rangkum dari buku: Mereka Menodong Bung Karno, Kesaksian Seorang Pengawal Presiden, halaman 19-326.
Nurul Azizah penulis buku: Dari Perempuan NU untuk Indonesia.

















