Affan Kurniawan, Gig Economy, dan Bayangan Tan Malaka

Foto udara ratusan pengemudi ojek online mengikuti doa bersama di parkir timur GOR Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (5/9/2025). Kegiatan yang digelar Asosiasi Driver Online (ADO) tersebut untuk mendoakan almarhum Affan Kurniawan dan Rusdamdiansyah serta korban lainya yang mengalami luka-luka dan mendoakan keamanan bangsa. (ANTARA FOTO/Umarul)

Penulis: Alip Purnomo

Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, meninggalkan luka mendalam. Ia meregang nyawa saat sedang bekerja, bukan dalam aksi protes, namun dilindas kendaraan taktis aparat. Tragedi ini bukan hanya duka bagi keluarganya, melainkan potret suram jutaan rakyat kecil yang hidup dalam bayang-bayang ketidakadilan.

Alip Purnomo, Koordinator Forum Silaturahmi Alumni Universitas Indonesia (FORSA UI)

Affan adalah simbol pekerja di era ekonomi digital berbasis aplikasi. Mereka yang disebut “mitra,” padahal bekerja penuh di bawah kendali algoritma: dikejar target, dibatasi akses, dan sewaktu-waktu bisa kehilangan mata pencaharian tanpa alasan jelas. Affan adalah kuli algoritma, pekerja yang menjadi roda penggerak sistem digital, tetapi tak pernah memperoleh perlindungan yang layak.

-Iklan-

Gig Economy dan Nasib Buruh Digital

Istilah gig economy awalnya berasal dari dunia musik, merujuk pada pertunjukan singkat yang dibayar per sesi. Kini, ia menggambarkan dunia kerja serba kontrak dan jangka pendek—mulai dari sopir ojek online hingga kurir aplikasi.

Di atas kertas, gig economy menawarkan fleksibilitas: bisa memilih jam kerja sendiri. Namun kenyataannya, kebebasan itu semu. Aplikasi menentukan tarif, mengatur order, bahkan memutus hubungan sepihak. Status “mitra” membuat para pekerja kehilangan hak dasar sebagai buruh: upah minimum, jaminan sosial, serta perlindungan hukum.

Di Indonesia, jutaan orang menggantungkan hidup dari pekerjaan ini. Mereka menjadi tulang punggung transportasi dan logistik perkotaan, namun posisinya sangat rapuh. Kematian Affan adalah alarm keras bahwa sistem ini menyimpan ketidakadilan yang dalam.

Bayangan Tan Malaka

Peristiwa itu mengingatkan pada pesan moral Tan Malaka tentang makna kemerdekaan: bukan sekadar terbebas dari penjajah, melainkan memastikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Jika ia hidup di era algoritma, ia mungkin akan melihat gig economy sebagai bentuk kolonialisme baru: rakyat bekerja keras, tetapi keuntungan terkonsentrasi di segelintir elite pemilik platform.

Tragedi Affan memperlihatkan pertemuan getir antara dua bentuk penindasan: algoritma yang mengekang pekerja secara digital, dan aparat yang menindas rakyat secara fisik. Keduanya menunjukkan bagaimana negara gagal melindungi warga paling rentan.

Agenda Keadilan Sosial

Agar kematian Affan tidak berakhir sebagai statistik tragis, perlu ada agenda keadilan sosial yang nyata:

1. Pengakuan Status Pekerja

Driver online dan pekerja platform digital harus diakui sebagai pekerja dengan hak penuh, bukan sekadar “mitra.” Regulasi perlu menjamin upah layak, jam kerja manusiawi, serta mekanisme penyelesaian sengketa.

2. Perlindungan Sosial yang Layak

Perusahaan platform wajib menanggung jaminan kesehatan, keselamatan kerja, dan pensiun bagi pekerja. Perlindungan juga mencakup kesehatan mental akibat tekanan algoritma. Pekerja adalah manusia, bukan sekadar akun digital.

3. Komite Independen Pengawas Platform

Dibentuk lembaga independen dengan kewenangan menyetujui atau menolak perubahan tarif, mengawasi transparansi algoritma, serta menjatuhkan sanksi pada perusahaan yang merugikan pekerja.

Menegakkan Keadilan, Menyelamatkan Republik

Kematian Affan Kurniawan harus dibaca sebagai peringatan: republik ini akan kehilangan jiwanya jika membiarkan eksploitasi digital dan represi terus berlangsung. Keberanian untuk melawan ketidakadilan bukan hanya soal nasib pekerja online, tetapi juga tentang menjaga fondasi bangsa.

Affan, dalam kepergiannya, merepresentasikan wajah nyata rakyat kecil yang tersisih dari narasi besar pembangunan. Jika negara tetap menutup mata, tragedi serupa akan berulang. Saatnya kita menghidupkan kembali suara nurani yang menuntut keadilan sosial, agar kemerdekaan benar-benar bermakna bagi mereka yang paling rentan.

Alip Purnomo, Koordinator Forum Silaturahmi Alumni Universitas Indonesia (FORSA UI)

2 COMMENTS

Leave a Reply to SintesaNews Cancel reply

Please enter your comment!
Please enter your name here