Analisis Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset di Indonesia: Tantangan Normatif, Kelembagaan, dan Politik

Editorial

31 Agustus 2025

Abstrak

-Iklan-

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset di Indonesia muncul sebagai respons terhadap keterbatasan hukum pidana konvensional dalam menangani kejahatan ekonomi, khususnya yang melibatkan penyembunyian aset melalui struktur perusahaan, trust, atau special purpose vehicles (SPV) di luar negeri. Dengan pendekatan non-conviction based asset forfeiture dan prinsip pembuktian terbalik, RUU ini bertujuan memungkinkan penyitaan aset tanpa vonis pidana. Namun, implementasinya menghadapi tantangan normatif, kelembagaan, dan politik, termasuk potensi konflik dengan asas praduga tak bersalah, fragmentasi kewenangan antar lembaga, serta resistensi dari elite politik. Artikel ini menganalisis hambatan tersebut dan mengusulkan rekomendasi untuk mendukung pengesahan serta pelaksanaan RUU Perampasan Aset yang efektif.

Pendahuluan

Keberadaan aset hasil tindak pidana yang tersembunyi di balik struktur keuangan kompleks, baik di dalam maupun luar negeri, telah menjadi tantangan global dalam pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Di Indonesia, pendekatan konvensional berbasis hukum pidana sering kali terkendala oleh beban pembuktian beyond reasonable doubt, yang menyulitkan jaksa untuk menelusuri dan menyita aset-aset ilegal. RUU Perampasan Aset diusulkan untuk mengatasi masalah ini melalui mekanisme non-conviction based asset forfeiture (NCB), yang memungkinkan penyitaan aset tanpa putusan pidana, serta penerapan prinsip pembuktian terbalik, di mana pemilik aset wajib membuktikan legalitas asal-usul kekayaannya. Meski terinspirasi dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi (UNCAC) 2003, implementasi RUU ini di Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks.

Diskusi

1. Tantangan Normatif

Prinsip pembuktian terbalik, sebagai inti dari RUU Perampasan Aset, berpotensi bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang dijamin oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan konstitusi Indonesia. Tanpa mekanisme pengawasan judicial yang kuat, seperti judicial review yang independen, penerapan pembuktian terbalik dapat membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang, termasuk kriminalisasi terhadap individu yang memiliki aset sah. Preceden awal pembuktian terbalik di Indonesia terdapat pada Pasal 37A Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) terkait gratifikasi, namun perluasan prinsip ini dalam RUU Perampasan Aset memerlukan harmonisasi dengan kerangka hukum nasional untuk menghindari konflik normatif.

2. Tantangan Kelembagaan

Implementasi RUU Perampasan Aset memerlukan koordinasi antar lembaga penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, Kepolisian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Namun, fragmentasi kewenangan dan potensi ego sektoral antar lembaga dapat menghambat efektivitas pelaksanaan. PPATK, meskipun memiliki kapabilitas dalam menelusuri transaksi keuangan, sering kali terkendala oleh kurangnya kerja sama lintas institusi. Di sisi lain, Pengadilan Tipikor yang sudah kelebihan beban perkara berisiko tidak mampu menangani tambahan kasus civil forfeiture. Pengalaman negara lain, seperti Inggris dengan Civil Recovery Order (Proceeds of Crime Act 2002) dan Singapura dengan Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes Act, menunjukkan pentingnya keberadaan asset recovery office khusus untuk mengelola proses penyitaan dan pengelolaan aset. Indonesia, hingga saat ini, belum memiliki lembaga serupa.

3. Resistensi Politik

RUU Perampasan Aset berpotensi mengganggu kepentingan elite politik dan oligarki, yang sering kali menyimpan aset di trust luar negeri atau SPV di yurisdiksi seperti Kepulauan Cayman atau British Virgin Islands. Lambatnya pembahasan RUU ini di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencerminkan adanya resistensi politik, yang diperparah oleh kurangnya dukungan kelembagaan dan draft konkret dari pemerintah. Upaya sebelumnya, seperti usulan Presiden Joko Widodo, dinilai lebih bersifat politis dan kurang substansial, hanya menjadi wacana elektoral tanpa implementasi nyata.

4. Pembelajaran dari Praktik Internasional

Negara-negara seperti Inggris, Singapura, dan Swiss telah berhasil menerapkan mekanisme perampasan aset tanpa vonis pidana melalui kerangka hukum yang jelas dan lembaga khusus. Inggris memiliki Civil Recovery Order, Singapura mengandalkan undang-undang anti-korupsi yang tegas, dan Swiss memanfaatkan transparansi keuangan serta kerja sama hukum internasional (mutual legal assistance). Indonesia, sebaliknya, masih tertinggal karena ketiadaan asset management office yang kuat dan lemahnya kapasitas dalam forensic accounting serta asset tracing lintas yurisdiksi.

Rekomendasi

Untuk memastikan efektivitas RUU Perampasan Aset, beberapa langkah strategis perlu diambil:

1. Harmonisasi Hukum:

Mengembangkan lex specialis yang menyelaraskan pembuktian terbalik dengan asas praduga tak bersalah, didukung oleh mekanisme judicial review yang independen.

2. Pembentukan Lembaga Khusus:

Membentuk National Asset Recovery Agency di bawah Presiden untuk mengoordinasikan penyitaan dan pengelolaan aset, mengurangi fragmentasi antar lembaga.

3. Penguatan Kapasitas Teknis:

Meningkatkan sumber daya manusia di bidang forensic accounting, asset tracing, dan kerja sama internasional untuk mendukung pelacakan aset lintas yurisdiksi.

4. Perlindungan Hak Asasi Manusia:

Menyediakan mekanisme kompensasi bagi pemilik aset sah yang terdampak penyitaan keliru.

5. Keberanian Politik:

Mendorong political will untuk mengatasi resistensi elite dan memastikan pengesahan RUU yang kuat, terutama di tengah krisis fiskal dan tekanan publik untuk pemberantasan korupsi.

Kesimpulan

RUU Perampasan Aset memiliki potensi besar sebagai instrumen keadilan dalam memerangi kejahatan ekonomi dan memenuhi standar internasional, seperti yang ditetapkan oleh Financial Action Task Force (FATF). Namun, tanpa reformasi kelembagaan, harmonisasi hukum, dan dukungan politik yang kuat, RUU ini berisiko menjadi sekadar “ornamen hukum” yang tidak efektif. Krisis fiskal saat ini, ditambah dengan kasus korupsi besar seperti kasus Pertamina dan tambang ilegal, menjadi momentum penting untuk mendorong pengesahan RUU ini. Keberhasilan implementasinya akan bergantung pada kemampuan bangsa untuk menghadapi tantangan internal, termasuk melawan oligarki yang selama ini terlindung di balik struktur keuangan global.

Kata Kunci: RUU Perampasan Aset, Non-Conviction Based Asset Forfeiture, Pembuktian Terbalik, Korupsi, Asset Recovery Office, Oligarki.

Referensi

  • United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
  • Proceeds of Crime Act 2002 (Inggris).
  • Corruption, Drug Trafficking and Other Serious Crimes Act (Singapura).
  • Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here