Doxing dan Cancel Culture, Wajah Baru Pengucilan

Penulis: Nano Buana

Era digital telah mendorong manusia menjadi komunitas global, yaitu komunitas tanpa batas negara. Setiap orang bisa berkomunikasi dengan orang lain dari negara manapun, dengan bangsa apapun. Percampuran budaya dan pengaruh sosial seolah sudah tidak ada lagi, semua membaur menjadi satu sistem komunal dunia.

Tentu dampak pengaruh global ini membawa dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana kita memanfaatkan dan menggunakan situasi yang mau tidak mau akan kita jalani kedepannya.

-Iklan-

Dalam pergaulan sosial saat ini, media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok dan lain-lain menjadi satu kekuatan mengekspresikan diri, bahkan menjadi lahan subur mencari uang. Tidak sedikit miliarder baru tercetak dari media ini, semua berkat interaksi global yang bisa diakses siapapun juga di penjuru dunia. Tapi dampak negatifnya tentu mengikuti seiring dengan perilaku manusia yang sejak zaman purbakala tidak berubah.

Dahulu kala, ketika belum ada media sosial global lewat internet, manusia saling berinteraksi secara langsung. Tentu banyak keterbatasan informasi, oleh karena itu norma-normal sosial yang berlaku di masyarakat disesuaikan dengan wilayah dimana mereka tinggal. Jika ada satu atau kelompok yang dianggap masyarakat umum melanggar norma sosial, maka sanksinya adalah dikucilkan, diasingkan jauh dari masyarakat itu tinggal. Dampak buruk bagi orang yang diasingkan dari kehidupan sosial adalah menyendiri, bahkan ada yang akhirnya memilih bunur diri.

Saat ini, perilaku seperti itu telah memiliki wajah baru, yaitu DOXING dan CANCEL CULTURE. DOXING adalah sebuah tindakan berbasis internet untuk meneliti dan menyebarluaskan informasi pribadi secara publik (termasuk data pribadi) terhadap seseorang individu atau organisasi. Metode ini digunakan untuk memperoleh informasi termasuk mencari basis data yang tersedia untuk umum dan situs social media (seperti Facebook), meretas, dan rekayasa sosial. Tindakan ini erat terkait dengan vigilantisme internet dan hacktivisme. Sedangkan CANCEL CULTURE adalah sebuah bentuk ostrakisme modern dimana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial atau profesional baik secara daring di media sosial, di dunia nyata, atau keduanya. Mereka yang menjadi subjek pada ostrakisme ini dianggap “dienyahkan” (Wikipedia).

Gejala ini sudah kuat terasa seperti saat kasus Ahok beberapa tahun lalu, bahkan dunia politik memanfaatkan doxing dengan harapan masyarakat tergiring opininya untuk melakukan cancel culture terhadap lawan-lawan politiknya. Tidak hanya di dunia politik saja, dunia selebritis dunia banyak yang menjadi korban cancel culture ini.

Era keterbukaan sangat baik bagi kita untuk lebih mengenal berbagai perbedaan dan lebih mendewasakan kita dalam kehidupan ini, bukan justru menjadi masyarakat yang judgemental. Bahkan membunuh karakter seseorang yang dianggap salah, alih-alih memberi pelajaran yang baik, ini malah membunuh dan mengasingkan seseorang atau kelompok yang dianggap “beda” dan salah.

Saatnya kita merenungkan arti dan fungsi bersosialisasi, bermasyarakat. Akankah kita menjadi orang-orang yang beringas dan tidak berbudaya? Ataukah kita bisa menyikapinya dengan lebih bijaksana? Semua ini tentu kembali ke diri kita masing-masing.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here