Penulis: Dahono Prasetyo
Ideologi Marhaenisme warisan abadi Pemimpin Besar Revolusi Ir. Soekarno sedang berada di titik terendah.
Kaum Marhaenis dalam naungan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) yang tertidur panjang sejak 1963 dan sempat terjaga sejenak tahun 1998 di bawah kepemimpinan Rahmawati, meski tertidur lagi. Kemudian di tahun 2018 berusaha dibangkitkan lagi oleh para kader dan eksponen Marhaenis. Hingga yang terakhir ber-euforia Konggres di Bali 5 November 2021.
GPM dengan kaum Marhaen-nya mengalami fase mati segan hidup percuma. Kebesaran marwah Marhaenisme menjadi kebanggaan yang tersimpan dalam benak kenangan. Upaya mewariskan semangat Soekarnoisme bertemu Soehartoisme yang sudah beranak cucu subur di tiap sendi berbangsa.
Adakah yang salah dengan faham Sosio-Nasionalis Soekarno sehingga kalah berpartisipasi dalam upaya mengawal NKRI?
Terbangun dari tidur panjang, bertemu alam yang berbeda saat terlelap, butuh semangat retrospeksi pada diri sendiri awalnya. Marhaen di tahun 1963, 1998 berbeda dengan keberadaanya di tahun 2018. Masa dimana praktek kapitalisme, feodalisme dan kolonialisme tidak hanya dilakukan oleh lawan, tetapi juga kawan sendiri. Sementara “stok” kader marhaen yang kian menipis di saat tantangan semakin membesar.
Kader-kader marhaen baru sekian lama lupa disemai. Generasi millenial mengenal Soekarno dari melihat sosok patung, nama jalan dan beberapa anak biologis yang mencantumkan Soekarnoputri-Soekarnoputra di belakang namanya.
Mengenal Soekarno tanpa mengenal marhaenisme-nya menjadi kegagalan fatal kaum yang mengaku Nasionalis dalam merangkai benang merah sejarah.
Marhaen, Marhaenis dan Marhaenisme adalah asset bangsa. Ide besar sejarah memerdekakan bangsa dari kaum penjajah. Kekayaan sumber daya manusia yang seharusnya diwariskan turun temurun.
Marhaen menjadi asset bangsa yang sedang diperlakukan sebagai komoditas (barang dagangan)
GPM dalam Konggres di Bali November 2021 menjadi contoh transaksi perdagangan ideologi. Sukses mengusik kemarahan kita namun gagal membendung transaksi berikutnya. Jangan pernah berharap lahir kader-kader Marhaenis baru dari mereka yang mengaku Soekarnoisme saat berselingkuh dengan Soehartoisme.
Bagaimana mungkin melahirkan anak-anak ideologis ketika kehamilan dihasilkan dari persenggamaan dengan musuh?
Soehartoisme sukses melahirkan new Orba di era dominasi kekuasaan Nasionalis dalam simbol kepemimpinan Presiden Jokowi 2 periode. Nasionalisme “dibonsai” dalam ruang kaca sejarah, indah dipandang namun tak kuasa menjadi agen perubahan. Setali tiga uang dengan para pengawal setia Nasionalisme-nya yang terikat dalam sihir euforia di bawah rindang pohon beringin.
Sisa-sisa Marhaenis beraliran kenangan romantisme butuh bersatu, menolak fasilitas panggung pesta sesaat. Tanggung jawab utama ideologisnya menanam kader-kader baru, bukan yang lain. Karena yang jumlahnya kian menipis suatu saat akan habis. Dilumat mentah-mentah oleh kapitalis peradaban yang tidak pernah peduli jutaan petani, buruh dan nelayan yang sedang gagal me-merdekakan hidupnya sendiri.
Catat!!!
Dahono Prasetyo
(Juru ketik Marhaenis)