Penulis: Andre Vincent Wenas
Maaf rada panjang tulisannya.
Setelah beberapa saat rak di toko-toko tidak ada display minyak goreng untuk dijual eceran, masyarakat jadi bingung dan tentu saja kesusahan. Apa yang terjadi? Siapa yang menggoreng skandal minyak goreng ini?
Bukankah kita (Indonesia) adalah produsen CPO (crude palm oil) terbesar di dunia? Lalu kenapa kebutuhan minyak goreng domestiknya sendiri malah jadi seret?
Otak kita belum bisa mencerna fenomena yang anomali seperti ini. Perut kita yang terbiasa makan gorengan ketika dipaksa makan rebusan melulu jadi terganggu pencernaannya.
Gara-gara pencernaan terganggu, otak jadi butek dan emosi jadi tinggi. Darting alias darah tinggi.
Yang mengherankan memang pernyataan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi yang bilang bahwa kebutuhan minyak goreng di Indonesia itu sekitar 280 juta liter pada Februari 2022, namun yang terpenuhi baru sekitar 63 juta liter. Cuma 22,5% nya!
Lalu kemana yang 217 juta liter itu? (angka itu dari 280 juta liter kebutuhan minus 63 juta liter yang telah dipasok) untuk kasus bulan Februari itu?
Bukankah ada aturan negara soal Domestic Market Obligation (DMO)? Yaitu untuk mendahulukan kepentingan domestik, baru kalau tercukupi maka sisanya bisa diekspor?
Dalam Permendag No.2 Tahun 2022 lampiran XVII tentang persyaratan ekspor komoditi CRUDE PALM OIL, REFINED, BLEACHED AND DEODORIZED (RBD) PALM OLEIN DAN USED COOKING OIL ada tertulis bahwa ekspor bisa dilakukan dengan melengkapi persyaratan:
“Surat Pernyataan Mandiri bahwa Eksportir telah menyalurkan Crude Palm Oil, RBD Palm Olein dan Used Cooking Oil untuk kebutuhan dalam negeri, dilampirkan dengan kontrak penjualan.”
Apakah persyaratan seperti ini telah dengan jujur disampaikan, dengan benar dilengkapi, dan dengan teliti diverifikasi? Oleh siapa diverifikasi? Apakah oleh surveyor yang qualified? Atau siapa ya?
Ataukah memang ada “tarikan” ekspor yang begitu kuat? Siapa yang nekad “mengkhianati” aturan negara soal DMO (domestic market obligation) itu? Siapa pula yang berkonspirasi untuk “meloloskan” minyak goreng (yang memang licin itu) untuk merembes ke pasar ekspor? Bagaimana latar belakang cerita yang sesungguhnya sih?
Jumlah 217 juta liter (per bulan) yang “dikorbankan” demi meraup keuntungan di pasar ekspor itu ternyatalah telah membuat rakyat Indonesia sendiri jadi sengsara. Ya, dikorbankan!
Ini soal yang sangat serius, dan bukan “permainan” kelas recehan. Recehan itu artinya “cuma” miliaran rupiah, tapi untuk kasus ini dugaan “permainannya” sudah triliunan perak! Bahkan puluhan Te! Atau lebih?
Ini kita baru ngomong soal skandal mafia kerah putih di kasus ekspor komoditi minyak goreng. Belum lagi kita bicara soal batubara (ekspor), nikel (ekspor), baja (impor), gula (impor), kedele (impor), jagung (impor), beras (impor), garam (impor), daging (impor), buah-buahan (impor), dan masih banyak lagi. Sic!
Namun sekarang kita hanya mau sedikit menyoroti soal yang langsung dirasakan masyarakat, yaitu kenapa minyak goreng hilang dari rak toko?
Hanya saja, sekali lagi, jangan lupa, bahwa dibalik soal “recehan” hilangnya minyak goreng dari rak toko itu ada skandal yang jauh lebih besar dan “meyeramkan”. Yaitu soal dugaan “konspirasi kerah-putih”. Konspirasi penguasa dengan pengusaha, oligarki dengan konglomerat hitam.
Okelah, hal itu akan dibahas oleh kolega saya pada saatnya nanti. Sekarang kita tengok dulu rak-rak toko tempat kita biasa beli minyak goreng.
Kegeraman publik lantaran raibnya minyak goreng eceran di pasar telah mengundang KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) turun tangan.
Kabarnya KPPU ini telah mengendus adanya aroma kartel pada tata niaga minyak goreng. Maka upaya penyelidikan pun dilakukan untuk membongkar praktik kartel yang merugikan masyarakat luas ini.
Bahkan Ketua KPPU Ukay Karyadi sudah menyatakan bahwa indikasi kartel pada tata kelola minyak goreng ini memang ada. Apalagi setelah adanya temuan oleh Tim Satgas Pangan Sumatera Utara yang memergoki adanya tumpukan minyak goreng yang diduga ditimbun di sebuah gudang di Deli Serdang.
Apa sih motif mereka yang mau menimbun minyak goreng ini? Sederhana saja, ya profit alias cuan yang segede-gedenya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Mumpung ada kesempatan (dalam kesempitan) pastinya.
Kesempatan apa? Begini…
Ada peraturan pemerintah (kementerian perdagangan) yang namanya Harga Eceran Tertinggi (HET). Untuk minyak goreng curah sesuai Permendag No.6 Tahun 2022 yang dikeluarkan Menteri Muhammad Lutfi akhir Januari 2022 dan berlaku di awal Februari 2022 adalah Rp. 11.500,-
Sedangkan HET untuk minyak goreng kemasan sederhana adalah Rp 13.500,- Dan HET untuk minyak goreng kemasan premium adalah Rp. 14.000,- Harga eceran itu semua sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Namun apalah artinya HET yang ditentukan pemerintah kalau kenyataannya di pasaran harga jual eceran minyak goreng bisa mencapai di atas Rp 20 ribu? Lho kok bisa begitu?
Apakah ada sanksi bagi pengecer minyak goreng yang melanggar? Iya ada, sanksi administratif. Seperti apa itu sanksi administratifnya?
Menurut Pasal 6 di Permendag itu sanksinya berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian kegiatan sementara; dan/atau c. pencabutan perizinan berusaha.
Dan…
Sanksi administratif itu diberikan paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
Jadi intinya, panjanglah proses “administratif” ini dan itunya sampai sanksi terakhir soal pencabutan izin usaha.
Maka nampaknya (atau kenyataannya ya?) banyak oknum penimbun yang tidak takut untuk “sementara waktu” (aji mumpung) melakukan penimbunan, lantaran faktanya telah terjadinya kelangkaan pasokan yang memicu kenaikan harga.
Jadi, sementara melihat perkembangan, kita coba saja simulasikan secara gampangan bagaimana sih “keuntungan” para pengecer-penimbun (atau bohirnya, kalau para pengecer itu bertindak hanya sebagai proxy dari para bohir itu).
Simulasi ini dibuatkan oleh Bro Josef Herman Wenas. Begini ceritanya,
Kita mulai dari asumsi-asumsinya. 1 kg = 0,753 liter. Dan 1 liter minyak goreng di pasaran bisa mencapai Rp 22.000,- Sedangkan HET pemerintah adalah Rp 11.500,- (untuk yang curah).
Sedangkan selisih (margin) antara HET dengan harga dari distributor kita asumsikan sekitar 5% maka harga untuk pengecer dari distributor adalah Rp 10.952,- per liter.
Ambilah contoh, Pak Anu (seorang pengecer minyak goreng) yang punya siklus bisnis (turnover) sekitar 1 sampai 2 bulan memutuskan untuk menimbun 1 juta kilogram minyak goreng (= 753 ribu liter) untuk satu kali siklus bisnis. Maka…
Maka potensi keuntungan (atau malah sudah kejadian?) dari praktek penimbunan oleh Pak Anu adalah: Per liternya Rp 22.000 dikurangi Rp 10.952,- diperoleh margin keuntungan Rp 11.048,- setiap liternya.
Sehingga keuntungan total dari penjualan hasil penimbunan yang sejuta kilogram (= 753 ribu liter) adalah: Rp 11.048, dikalikan 753 ribu liter, diperoleh Rp 8.319.144.000,- (delapan miliar tiga ratus sembilan belas juta seratus empat puluh empat ribu rupiah).
Itu hanya untuk satu kali siklus bisnis saja. Dan hanya untuk penimbunan sejuta kilogram minyak goreng.
Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), konsumsi minyak goreng di Indonesia (per tahun 2020) adalah 11,58 liter/kapita/tahun. Jadi konsumsinya sekitar 0,965 liter per bulan (hampir 1 liter) per kapita.
Kalau jumlah penduduk Indonesia sekitar 275 juta orang, maka benar yang dikatakan oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di atas tadi, bahwa untuk Februari 2022 kebutuhan minyak goreng konsumsi adalah sekitar 280 juta liter.
Untuk meperkirakan potensi keuntungan hasil praktek penimbunan tinggal Anda kalikan sendirilah. Dan, walaupun setelah dikurangi berbagai faktor, jumlahnya bisa kita yakini bakal tetap super jumbo.
Sekarang kabarnya Bareskrim juga mulai turun tangan. Kita lihat saja bagaimana babak akhir praktek penimbunan seperti ini bakal berujung.
Hanya saja kita mau bertanya, bagaimana menurut Anda (lingkari jawabannya) :
A. Pak Anu sekarang sedang riang gembira!
B. Pak Anu sekarang sedang stress!
C. Pak Anu sebagai proxy pihak ketiga keduanya sedang sama-sama stress!
Jawaban yang benar nanti boleh ambil sepedanya.
Sambil bersepeda, kita tunggu bagaimana cerita dugaan konspirasi mafia kerah-putih (tingkat tinggi) yang melatar belakangi kelangkaan pasokan minyak goreng ini.
Yaitu soal tetap merembesnya minyak goreng ke pasaran ekspor walau sudah ada aturan negara tentang DMO (domestic market obligation) yang melarang/membatasinya.
Tapi kok masih bisa merembes juga? Licin ya?
20/02/2022
Andre Vincent Wenas, pemerhati fenomena ekonomi-politik