Penulis: Bernard Haloho
Sejak Operasi Militer Khusus Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022, ada yang sangat berbeda dari jalannya perang dalam beberapa bulan terakhir. Di awal perang, menyerang ke dalam Rusia adalah tabu. Kini Ukraina masif dan intens menyerang ke dalam Rusia dengan target strategis. Mulai dari pangkalan militer, individu khusus, kilang dan depot minyak, infrastruktur listrik, hingga kargo penting peralatan militer dari negara lain oleh drone dan rudal buatannya sendiri — Flamingo rudal jarak jauh dan Neptunus rudal jarak menengah.
Serangan dahsyat Ukraina membuat Rusia mengalami kerugian yang sangat besar. Tujuannya menghentikan pendapatan Rusia dari penjualan migas ke China, India, dan negara-negara lain, sehingga mengalami beban fiskal yang berat. Putin menjadi sulit membayar tentara yang gajinya mencapai tiga kali dari UMR Rusia semenjak perang —- mendesak oligarki ikut menanggung beban. Disisi lain kepemimpinan kuat dan inovatif tentara Ukraina makin menciptakan tekanan domestik yang deras kepada Putin akibat banyaknya infrastruktur yang hancur — keadaannya terbalik waktu dua tahun pertama perang, rakyat relatif hidup normal.
Dengan jalannya perang yang jauh dari ekspektasi awal dapat selesai dalam tiga hari, Putin menyadari bahwa Rusia juga berperang dengan NATO secara proxy.
Putin dibuat semakin terpojok: beban keuangan membengkak, legitimasi domestik tertekan, dan ancaman eskalasi menjadi nyata. Lalu, pertanyaan berat muncul: apakah konflik ini akan bereskalasi menjadi perang Eropa?
Momen Kritis Putin: Terpojok Di Tengah Perlawanan Ukraina
Posisi Putin kini berada di tubir jurang. Eropa sudah bersiap dengan skenario terburuk. Walau Rusia menguasai hampir 19% wilayah Ukraina sejak invasi, namun Ukraina menunjukkan kepemimpinan, kegigihan, dan kemajuan signifikan dalam kapasitas serangan balik, bahkan menyerang pangkalan di dalam Rusia melalui Operation Spiderweb, yang pada 1 Juni 2025 dilaporkan menargetkan pangkalan udara Rusia dengan ratusan drone, menghancurkan banyak pesawat tempur strategis.
Di dalam negeri, tekanan meningkat: Serangan Ukraina ke fasilitas minyak semakin sering, memicu kerusakan besar dan menurunkan kapasitas produksi minyak Rusia. Ketika bagian dari perang melebar masuk aspek ekonomi dan energi, Putin kehilangan ruang manuver.
Disisi lain, kecewanya Trump atas inisiatif perdamaian yang tak kunjung tiba —- membuat Trump mewacanakan pengiriman rudal Tomahawk ke Ukraina menambah kompleksitas. Trump mengatakan sebelumnya bahwa Ukraina dapat memenangkan kembali seluruh wilayahnya yang hilang (The Guardian, 23 Sept 2025).
Terkait izin pengiriman Tomahawk, Trump ingin tahu terlebih dahulu rencana Ukraina terhadap rudal tersebut sebelum menyetujuinya, mencerminkan sensitivitas eskalasi. Rusia pun bereaksi keras: Presiden Putin menyatakan kirim rudal Tomahawk akan merusak hubungan Rusia-AS (detikNews, 6 Okt 2025), sedangkan Wakil Menlu Rusia Sergei Ryabkov menyatakan bahwa jika Tomahawk dikirim akan menyebabkan perubahan kualitatif dalam situasi konflik. Namun, Barat sepertinya sudah tidak lagi serius menanggapi setiap ancaman, termasuk penggunaan senjata nuklir.
Dalam kondisi seperti itu, Putin hadir dalam momen kritis: pilihan antara mengobarkan perang lebih luas atau masuk ke meja perundingan demi de-eskalasi perang Eropa.
Eskalasi Perang Meningkat: Dari Ukraina ke Zona Abu-Abu
Perang ini mulai bergerak melewati garis front tradisional. Serangan Ukraina terhadap infrastruktur Rusia selain merusak kapabilitas ekonomi Rusia, memicu eskalasi ke wilayah lain. Dampaknya, semakin masif serangan hibrida ke banyak negara di Eropa. Umumnya Rusia membantah langsung terkait banyak kasus tersebut, sehingga statusnya masih dugaan. Namun, ketidakstabilan keamanan Eropa semakin tinggi dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut laporan Universitas Leiden pada tahun 2024 terdapat 44 insiden terkait perang hibrida dibanding 13 insiden di tahun 2023 (The Parliament, 21 Jan 25, Hybrid threats: Russia’s shadow war escalates across Europe).
Pada tahun 2025 negara-negara yang mengalami serangan hibrida meliputi banyak negara di Eropa, seperti: Norwegia, Polandia, Denmark, Estonia, Rumania, dan seluruh Eropa yang masuk serangan kampanye grey zone (Consilium, 3 Okt 25, Russian hybrid threats: council prolongs restrictive measures by another year)
Provokasi wilayah Polandia oleh drone dan pesawat tempur Rusia, kali ini membuat pemerintah Polandia bersikap tegas dan terukur bahwa demi kedaulatan wilayahnya, maka kedepan akan menembak jatuh drone dan pesawat Rusia yang melanggar. Sikap tersebut diikuti oleh negara-negara yang memiliki peristiwa hampir sama.
Perundingan Damai atau Perang Eropa: Pesan Moral Dari PD I&II
Ketika Putin terpojok, dua jalan terbuka—perdamaian atau eskalasi total. Perang Eropa bukan pilihan yang sepele: melibatkan NATO, berpotensi efek domino ke hotspot lain.
Jika Ukraina menerima pengiriman Tomahawk dan memperluas jangkauan serangannya ke dalam Rusia, konflik akan menghebat. Akibatnya dapat mempercepat perdamaian atau memperluas konflik yang lebih ganas. Karena tidak ada satupun sumber yang mengetahui manuver apa yang akan dilakukan Putin apabila kehilangan muka.
Perang Ukraina bisa bertransformasi menjadi perang Eropa jika dua kondisi terpenuhi: (1) skala serangan melebar ke negara NATO, dan (2) pasal 5 NATO diterapkan. Jika harapan Putin untuk nego damai gagal, be ready the worst scenario.
Melihat skenario tersebut, banyak analis pesimis bahwa perang besar akan terjadi. Pertimbangannya, salah satunya skala kehancuran ekonomi yang sangat besar. Namun, konstelasi saat ini relatif sama pada PD I dengan skala berbeda. Norman Angell seorang ekonomi dan penulis, lewat karyanya The Great Illusions yang terbit tahun 1909 mengingatkan dampak kehancuran perang.
Beberapa tahun sebelum meletusnya PD I negara-negara Eropa sedang dalam perlombaan senjata. Para pemimpin politiknya dan militer yang beraliran ultra nasionalis dan imperialis percaya bahwa menaklukan wilayah berarti memperkaya negara penakluk. Angell menolak keyakinan tersebut. Menurutnya, di era industri modern, kekayaan suatu bangsa tidak bergantung pada tanah jajahan, melainkan pada produktivitas ekonomi, perdagangan, science, dan kerja sama internasional.
Angell mengatakan Eropa sudah saling terhubung melalui perdagangan, keuangan, dan komunikasi. Perang justru akan merusak rantai pasokan, menghancurkan perdagangan, dan memperlemah semua pihak, termasuk pemenang. Ia menegaskan, tidak ada pemenang sejati dalam perang modern, semua mengalami kerugian besar.
Lewat karyanya The Great Illusions, pada tahun 1933 ia diganjar sebagai pemenang Nobel Perdamaian, namun tragisnya PD I tetap terjadi 1914-1918 dan enam tahun sesudah memenangkan Nobel, PD II 1939-1945 terjadi kembali yang bersifat apokaliptik.
Lesson Learned Bagi Dunia dan Indonesia
Konflik Ukraina bukan hanya perang lokal, tapi ujung konflik terpanas yang mungkin dapat meledakkan semua kawasan konflik dunia. Apakah ujian ulang tatanan dunia pasca-Perang Dingin akan terjadi dengan diplomasi atau mesiu?. Prinsip, siapa menguasai energi, teknologi militer, dan diplomasi akan memetakan ulang peta kekuasaan global, masih dinamis dan penuh tantangan.
Bagi negara berkembang seperti Indonesia, ini pelajaran penting: kedaulatan tidak bisa hanya bergantung pada diplomasi pasif. Teknologi militer (drone, sistem pertahanan udara), kemandirian energi dan pangan menjadi fondasi strategi kedaulatan.
Sikap Non-Blok cerdas harus diperkuat: Indonesia tidak boleh terjebak dalam persekutuan blok yang bisa memaksakan keputusan geopolitik. Namun juga harus siap memperkuat kapabilitas dalam keamanan teknologi dan diplomasi strategis.
Sebagai penutup, penulis mengutip nasehat filosofis dari Henry Kissinger “To be an enemy of America can be dangerous, but to be a friend is fatal.”
Bernard Haloho
Aktivis 98 dan Direktur Eksekutif Ind-Bri