Warning

Penulis: ErriSubakti

Berangsur-angsur ingatan Jess mulai terbuka satu per satu. Perlahan lalu ia mulai mengingat apa yang sebelum ini terjadi dengan dirinya. Mengingat mundur semuanya.

Ia dan keluarga besarnya berlibur ke Amerika persis ketika pekerjaan besarnya membuahkan hasil yang gemilang bagi perusahaan. Pembuktian dirinya pada program Corporate Communication yang digawanginya berkontribusi besar untuk perusahaan, dari segi penambahan nilai aset yang tentu saja clean and clear tanpa ada masalah di kemudian hari, bahkan akan sangat menguntungkan perusahaan, masyarakat lokal, juga bagi pemerintah pusat dan daerah.

-Iklan-

Konflik antara masyarakat lokal dan perusahaan yang sudah bertahun-tahun bisa terselesaikan dengan MoU bersama 58 koperasi yang mewakili masyarakat dan komunitas adat, pemerintah daerah juga perusahaan, disaksikan dan diliput banyak media lokal dan nasional.

Dua bulan terakhir sebelum MoU itu Jess bekerja kesetanan. Kerja keras tak membohongi hasil. Kesepakatan para pihak yang semula bersengketa bisa memberikan solusi bersama yang saling menguntungkan semua stakeholders. Penandatanganan MoU sangat sukses. Sebuah pencapaian besar bagi karir Jess.

Perusahaan memberikannya bonus dan libur panjang. Jess mulai melupakan sakit hatinya akibat perceraian. Seiring itu ia melupakan kesehatan dan obat-obatnya karena Jess sedang diselimuti kebahagiaan.

Dengan waktu libur yang cukup panjang selama 6 minggu Jess merasa hidupnya benar-benar berubah. Berubah menjadi sangat bahagia dengan mulai memandang masa depan yang cerah di depan mata bersama anak-anaknya.

Jess juga mengingat sebelum ia terkapar di Rumah Sakit ini mereka sekeluarga ke Disneyland, ia lihat anak-anaknya begitu senang dengan semua ini. Sungguh waktu itu ia benar-benar merasa bahagia. Ingin waktu berhenti saat itu saja rasanya.

Gadis kecilnya meminta boneka gajah, Dumbo dan jagoannya meminta dibelikan mobil-mobilan besar, apapun yang mereka mau Jess membelikannya meski harganya mahal-mahal. Seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya mampu membahagiakan mereka tanpa seorang suami.

Kemarahannya pada mantan suaminya memang tidak pernah padam. Ia terobsesi untuk membuat mantan suaminya merasa menyesal karena telah mencampakkannya.
Jess mengindahkan warning tubuhnya.

Apalagi dengan kemarahan terpendamnya, ia tidak peduli lagi apapun yang bisa membuatnya terpuruk. Sakit kepalanya tidak pernah ia rasakan sama sekali. Atau karena ego dan kepongahannya saja, I don’t care, pikirnya. Ia nikmati saja kebahagiaan saat itu. Carpe diem.

Kebahagiaan terus bertumpuk melingkupi Jess, seakan mematrinya keukeuh untuk semakin pongah dengan kekuatannya sendiri tanpa mau mengandalkan siapapun. Euforia kebahagiaan membingkainya demikian.

Siapa sih yang tak tau Jessica yang hebat? pikirnya. Singa betina yang bisa menyelesaikan masalah besar konflik perusahaan dengan masyarakat lokal dan tekanan LSM asing, nasional dan lokal, bahkan memberikan win-win solution untuk semua pihak.

Jess mulai mengingat lagi sebelum ia terbaring tak berdaya tanpa bisa bergerak sedikitpun di ranjang RS ini. Hari sebelumnya ia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya yang sering doyong saat berjalan. Sampai-sampai hampir menabrak tiang lampu dekat hotelnya. Tapi ia abaikan. Bahkan kala itu ia lupakan saja tubuhnya yang semakin tidak seimbang, doyong. Tapi semuanya sudah terlambat.

Di sinilah kini ia kandas. Bagai dihempas ke tanah. Dalam sekali.

Terbang tinggi ke atas. Melayang tinggi. Tiba-tiba “bam!” Seperti ada invisible hand Sang Kuasa, memukulnya telak dan keras hingga jatuh tersungkur terjerembab, Jess terkapar.

Kondisi Jess 180 derajat dari dirinya sebelum ini. Selama ini Jess merasa begitu kuat, waktu tidur hanya sekejap. Sering hanya dalam perjalanan wira-wirinya antar site ke site, antar provinsi, dan kembali ke Jakarta. Begitu terus dan lebih sering ke lapangan di site-site perusahaan yang tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Jess bekerja tak kenal waktu. Tanda-tanda tubuhnya semakin lemah tak dihiraukannya. Kepalanya sering berdenyut sakit karena tekanan darah yang semakin tinggi ia abaikan. Bahkan hari-harinya tekanan darah Jess tidak kurang dari 200/100.

Semakin tidak peduli Jess dengan kesehatan tentu tanpa ia sadari tubuhnya semakin lemah namun dipaksa untuk terus bekerja bagai mesin pabrik yang non stop 24/7. Obat? Ia pun sampai lupa. Jess teringat atasannya selalu mengingatkan untuk pulang ke rumah dan beristirahat.

Jawabnya hanya, “Sebentar lagi selesai.”

Orang tuanya terutama ayahnya sering memintanya untuk segera pulang saat ia mengatakan kepalanya nyut-nyutan. Tapi warning itu terus diabaikannya. Itulah Jessica. Hidupnya seperti tak merencanakan masa depan yang terarah untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya.

Hanya pekerjaan yang menjadi fokusnya dan tenggelam dalam pusaran waktu.

Dua bulan sebelum Jess tak berdaya sama sekali di ranjang rumah sakit, hari-harinya seperti mobil balap F1 yang berkecepatan tinggi. Otaknya nyaris tak diberi kesempatan untuk berhenti di pit stop.

Jess hampir tak pernah tidur setiap harinya. Euforia yang gila kerja membuatnya pongah dan buncah.

“Inilah aku, Jess, seorang Corporate Communication yang tak terkalahkan. Nothing can stop me.”

Orang-orang menghormat padaku, pikir Jess dengan pongah. Ia ingin semua orang tau terutama mantan suaminya, bahwa Jess walau seorang single parent yang tidak mendapatkan sepeser pun biaya hidup dari mantan suaminya, tetapi mampu untuk hidup layak bahkan sangat layak. Itulah tujuan terpendamnya. Untuk menunjukkan pada dunia bahwa ia mampu walau hanya sendirian.

Kesuksesan pekerjaan ia raih. Pencapaiannya yang luar biasa. Mendapat bonus besar dan libur panjang. Orang tuanya bangga atas hasil baik itu. Jess mulai melupakan sakit hati atas perceraiannya. Sementara maut mengintai kondisi tubuhnya yang terus melemah namun diforsir untuk terus aktif bekerja.

Obat-obatnya juga ia lupakan karena diliputi kebahagiaan.

Dengan waktu libur 6 minggu dan mendapat bonus besar, Jess merasa hidupnya benar-benar berubah. Ia menjadi sangat bahagia, dan mulai membayangkan masa depan cerah ada di depan mata bersama anak-anaknya. Jess memboyong keluarga besarnya berlibur ke Amerika Serikat.

Hari-hari liburan berlalu dengan sempurna. Jess merasa sangat bahagia. Anak-anaknya pun sangat bahagia mendapati ibunya selalu bersama mereka. Ia sungguh menikmati kebahagiaan itu, tanpa diketahuinya maut mulai membayangi.

Jess melayang terbang tinggi. Tak ada lagi Jess yang terpuruk karena perceraiannya. Tak ada lagi melodrama berurai air mata. Jess merasa tubuhnya baik-baik saja.

“Inilah aku, Jessica yang hebat dengan pekerjaannya dan memberikan kebanggaan untuk tempatku bekerja,” bathinnya.

Bersambung.

Sebelumnya:

If Life Too Easy, There’s Something Wrong

Baca dari pertama:

Di Batas Kematian

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here