Penulis: Dahono Prasetyo
Fenomena urban society tiba-tiba menyita perhatian publik di pusat kota Megapolitan Jakarta. Komunitas SCBD (Sudirman Citayam Bojong Depok) menjelma menjadi ruang ekspresi sosial dari kalangan milenial ke bawah yang haus ruang eksistensi. Berawal dari nongkrong bareng di area publik dengan dandan dan penampilan unik, mereka kemudian menggelar peragaan busana antimainstream. Berdandan sendiri, ditonton sesekali disoraki kawan sendiri berlanjut posting bersama di sosial media, menjadi ungkapan kebebasan menembus sekat dalam ruang pluralis.
Anak-anak muda dari pinggiran kota Jakarta menyerbu Ibukota hanya untuk numpang dandan bergaya bak peragawan. Bukan di atas panggung berlampu gemerlap, tapi jalur zebracross sepanjang 10 meter menjadi catwalk mereka. Siapakah mereka sebenarnya? Tanpa repot menelusur investigasi, cukup bertanya langsung, mereka dengan bangga akan menjawab : “Dari Citayam, ada anak Bojong juga bang. Kita iseng pada gegayaan doang. Malem jadi model, siang balik nggembel lagi”.
Mereka sebagian anak-anak jalanan, pengangguran, putus sekolah penghuni perempatan lampu merah, pasar, pojok-pojok stasiun. Mereka tidak semua berwajah glowing, beraroma parfum atau dandanan produk bermerk. Sekedar apa adanya berdandan, berusaha menghibur dengan penampilan unik jauh dari kesan “jaim”.
Sebuah fenomena alamiah-kah aktifitas mereka?Secara pribadi saya masih berat untuk mempercayainya, tapi bukan berarti tidak setuju. Justru banyak hal butuh kepekaan untuk menterjemahkan dalam ruang logika sosial.
Belum lepas dari ingatan beberapa bulan lalu sempat terjadi fenomena “on the road” yang lebih dulu viral. Ngaji dan tadarus Al-Quran di trotoar. Dipastikan aktifitas tersebut ada aktor penggeraknya, bukan murni keinginan jama’ah untuk meraih pintu sorga dengan membaca kitab suci di pinggir jalan. Faktanya aparat tidak melarang, tapi justru hanya jadi event insidentil tanpa kelanjutan.
Penggiat media social, Thomy S Odrus dalam unggahan akun FB-nya menyebut fenomena SCBD sebagai “Kontra Intelejen Berwujud Fashion Week”. Yang menarik lagi itu dilakukan oleh ABG dari kota Depok yang dikenal sudah menerapkan kebijakan “setengah syari’ah” bagi warganya. Mereka melakukan “pemberontakan” dogma sosial dalam berbusana ala gurun yang secara tidak langsung menimbulkan pro kontra. Jakarta yang sempat dikeroyok berjama’ah oleh kelompok 212 dari Monas, Patung Kuda, Bundaran HI dan yang terakhir Stadion JIS dilawan oleh anak muda berbusana bebas kreatif di tempat umum.
Tidak ada alasan untuk tidak sepakat bahwa Ngaji On The Road dan Citayam Fashion Week sama-sama sengaja diciptakan oleh invisible hand. Kontradiksi dua kutub sosial bertemu di jalanan, dirayakan oleh media sosial dan dinikmati publik sebagai tarik ulur kebudayaan. Berbeda dengan Ngaji On The Road, cepat atau lambat catwalk jalanan akan dibersihkan dengan alasan klasik menimbulkan kemacetan dan melanggar norma Agama menurut Gubernurnya.
Niat baik Baim Wong mematenkan fenomena sosial dalam ruang entertainment dianggap sebuah ancaman masif, membuat gerah k4drun-k4drun yang lebih dulu kreatif dengan Ngaji jalanan bonus surga, ternyata kalah viral ABG berbusana seadanya yang diancam pintu neraka. Surga dan neraka dipertaruhkan di atas trotoar?
Baim yang kini sedang berjibaku argumen mempertahankan fenomena SCBD dengan Citayam Fashion Weeknya. Frasa Created by the Poor, Stolen by the Rich didengungkan seolah Baim sedang mencuri hak orang miskin. Hak apa yang dicuri? Justru ada pihak yang punya kemampuan manajemen entertain berniat memfasilitasi dianggap dzolim? Baim paham usia kreatifitas ABG yang termarjinalkan di Dukuh Atas tidak akan lama, mematenkannya dengan misi melanjutkannya jika suatu saat Gubernur Anies mengerahkan ratusan satpol PP untuk membubarkan pertunjukan yang tidak se-Iman di tengah kota. Dengan hak paten, Baim bisa memindahkannya ke ruang komersial lain dengan pelaku yang sama, lebih ter-manage lalu berharap bisa berbagi dampak ekonomi. Bukan merebutnya.
Saya bukan buzzer PT Tiger Wong, kenal Baim Wong sih iya, tapi entah dia kenal saya atau tidak? Sesekali membahas sudut pandang lain boleh saja kan?
Gitu aja dulu