Transisi Fiskal Indonesia 2014–2025: Dari Debt-Led Growth ke Fiscal Dominance dan Ancaman Krisis Moneter

EDITORIAL

Pendahuluan

Perjalanan fiskal Indonesia selama satu dekade terakhir, dari 2014 hingga 2025, mencerminkan pergeseran paradigmatik yang signifikan. Apa yang dimulai sebagai strategi debt-led growth—di mana utang digunakan untuk mendorong pertumbuhan melalui investasi infrastruktur dan belanja modal—kini telah bertransisi ke era fiscal dominance. Dalam kondisi ini, kebijakan fiskal mendominasi kebijakan moneter, memaksa pemerintah bergantung pada utang baru bukan untuk ekspansi ekonomi, melainkan untuk membayar bunga utang yang semakin membengkak. Fenomena ini sering disebut sebagai “debt-for-interest swap,” di mana siklus utang baru hanya memperpanjang beban tanpa menciptakan nilai tambah. Akibatnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami penyempitan ruang fiskal (fiscal space collapse), yang pada akhirnya memerlukan intervensi dari bank sentral. Tanpa reformasi kebijakan yang cepat dan koordinasi lintas lembaga, risiko krisis moneter pada 2025 bukan lagi sekadar hipotesis, melainkan probabilitas yang semakin nyata.

-Iklan-

Tulisan ini akan menganalisis dataset fiskal Indonesia selama periode tersebut, menyoroti transisi ke fiscal dominance, dan membahas implikasi risiko krisis moneter. Analisis didasarkan pada data resmi dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, serta proyeksi lembaga internasional seperti Bank Dunia dan IMF.

Analisis Dataset: Transisi dari Debt-Led Growth ke Fiscal Dominance

Pada awal periode 2014, utang pemerintah Indonesia tercatat sebesar Rp 2.608 triliun, yang sebagian besar diarahkan untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur dan belanja modal guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Strategi debt-led growth ini terbukti efektif pada masa awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, dimana utang baru digunakan untuk membangun jalan tol, bandara, dan pelabuhan, yang berkontribusi pada peningkatan PDB. Namun, seiring waktu, dinamika berubah. Hingga Juli 2023, utang melonjak menjadi Rp 7.855,53 triliun, dan per Januari 2025, angkanya mencapai Rp 8.909,14 triliun—meningkat sekitar 1,22% dari akhir 2024.
Bahkan, hingga April 2025, utang pemerintah nyaris menyentuh Rp 9.105 triliun. Selama 10 tahun pemerintahan Jokowi, utang bertambah hampir Rp 6.000 triliun atau melonjak 224%.

Transisi ke fiscal dominance terlihat jelas dari komposisi penggunaan utang. Dahulu, utang baru dominan dialokasikan untuk belanja modal, yang pada era 2005-2014 rata-rata mencapai 13,36% dari APBN. Namun, sejak 2017, belanja modal tidak mengalami peningkatan signifikan, bahkan kontribusinya menurun. Pada APBN 2025, porsi belanja modal hanya 8,67%, sementara belanja bunga utang mencapai Rp 552,85 triliun dari total belanja Rp 3.621,31 triliun. Data menunjukkan bahwa pembayaran bunga utang kini menembus Rp 257,08 triliun per semester pertama 2025. Ini mencerminkan debt-for-interest swap: utang baru sebagian besar digunakan untuk membayar bunga, bukan investasi produktif. Akibatnya, defisit APBN 2024 mencapai 2,29% PDB (lebih rendah dari proyeksi 2,7%), tetapi proyeksi 2025 naik menjadi 2,53% PDB, dengan defisit anggaran Rp 616,2 triliun.

Fenomena fiscal space collapse semakin parah. APBN kehilangan fleksibilitas karena beban utang jatuh tempo pada 2025 mencapai Rp 800,33 triliun, memaksa pemerintah melakukan efisiensi belanja, termasuk pemangkasan 15 item belanja barang dan modal melalui PMK 56/2025.

Kondisi ini memaksa keterlibatan Bank Indonesia (BI). Sejak 2020, melalui skema burden sharing, BI menanggung 53,9% beban bunga APBN, termasuk pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana untuk menangani masalah sistem keuangan.

Pasal 36A UU P2SK memberikan wewenang BI untuk intervensi ini, yang pada dasarnya merupakan bentuk moneter financing terhadap defisit fiskal, menandai dominasi fiskal atas moneter.

Dataset dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pertumbuhan utang luar negeri (ULN) pemerintah juga meningkat, dari USD 209,6 miliar pada Mei 2025 (tumbuh 9,8% yoy), meski sedikit menurun pada Februari 2025 menjadi USD 204,7 miliar. Ini memperburuk kerentanan terhadap fluktuasi nilai tukar rupiah, yang pada kuartal II 2025 mengalami volatilitas tinggi akibat ketidakpastian global.

Risiko Krisis Moneter 2025: Dari Hipotesis ke Probabilitas

Tanpa reformasi kebijakan yang cepat—seperti restrukturisasi utang, peningkatan efisiensi belanja, dan diversifikasi sumber pendapatan—risiko krisis moneter Indonesia pada 2025 semakin meningkat. Bank Dunia memprediksi bahwa Indonesia bisa jatuh ke jurang krisis jika tekanan global berlanjut, dengan proyeksi pertumbuhan PDB hanya 4,7% pada 2025, lebih rendah dari 4,9% pada kuartal I 2025.
IMF juga memangkas proyeksi serupa, disebabkan oleh melemahnya rupiah, penurunan ekspor, dan merosotnya daya beli masyarakat.

Ancaman resesi semakin nyata, dengan kondisi internal seperti beban utang jatuh tempo dan defisit anggaran yang melebar hingga 2,8% PDB pada 2025 akibat program seperti makan siang gratis.
Ketidakpastian global, termasuk risiko operasional digitalisasi dan gejolak moneter, memperburuk situasi.
Jika tidak ada koordinasi lintas lembaga—antara Kementerian Keuangan, BI, dan OJK—untuk memperkuat independensi moneter dan reformasi fiskal, Indonesia berada di persimpangan antara krisis moneter baru atau pemulihan ekonomi.

Penutup

Perjalanan fiskal Indonesia 2014–2025 menunjukkan transisi yang mengkhawatirkan menuju fiscal dominance, dimana utang baru hanya memperpanjang siklus beban tanpa mendorong pertumbuhan. Fiscal space collapse telah memaksa BI terlibat dalam pembiayaan APBN, mengancam stabilitas moneter. Untuk menghindari krisis 2025, diperlukan reformasi mendesak: pengurangan ketergantungan utang, peningkatan belanja produktif, dan koordinasi kebijakan yang kuat. Hanya dengan langkah ini, Indonesia dapat mengubah probabilitas krisis menjadi peluang pemulihan berkelanjutan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here