Penulis: Setiyawan Hari P
Salatiga, 28 januari 2025
1. Pengantar
Izinkan saya yang bukan siapa-siapa ini menulis dengan tulisan sederhana yang mudah dimengerti, dengan bahasa sesuai kapasitas saya sebagai kasta terendah dalam berwarga negara, sesuai kualifikasi saya, sekaligus agar juga mudah dipahami oleh segenap pembaca di semua kalangan.
Tulisan bersifat penilaian subyektif saya sebagai manusia yang dilindungi secara konstitusi yang mempunyai keinginan konstruktif yang semoga mendorong segenap komponen bangsa agar dapat melahirkan sistem solutif berbangsa dan bernegara. Namun saya juga yakin bahwa tulisan ini tidak akan pernah populer, karena tidak menguntungkan secara politis, tidak melancarkan bagi-bagi kue kekuasaan serta menghambat tujuan mulia memperkaya diri lewat gratifikasi, pungli serta abuse of power baik sendiri-sendiri maupun berkelompok.
Secara mutlak sejarah telah mencatat sejak awal reformasi sampai saat ini yang telah berjalan selama dua puluh lima tahun lebih dengan melewati seluruh rezim yang telah silih berganti yang terbukti tidak mampu efektif dan progresif menekan penyimpangan kekuasaan, perilaku koruptif, kolutif dan nepotif di semua level kekuasaan.
Uraian diatas juga menunjukkan bahwa secara mutlak sejarah juga telah mencatat bahwa berbagai sistem penanggulangan serta pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme tidak efektif serta tidak mempan mengurangi secara kualitas dan kuantitas perilaku korup, perilaku kolutif dan perilaku nepotis oleh penyelenggara negara dalam berbagai level, baik di level yudikatif, level eksekutif, level legislative, level pusat, level propinsi maupun level kota/kabupaten bahkan sampai kepada level pemerintahan terendah yaitu; pemerintahan desa/kelurahan.
Kita seperti keledai yang terus berulangkali terperosok dalam lubang yang sama, terus menerus terperosok dalam penyimpangan kekuasaan, perilaku koruptif, kolutif dan nepotif tanpa mau belajar dari sejarah mengapa hal itu terjadi berulang-ulang, tanpa dapat memperbaiki diri. Sementara sistem pencegahan dan penanggulangan korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah dilahirkan dan berulangkali direvisi tidak mampu menjawab tantangan mengapa perilaku koruptif, perilaku kolutif dan perilaku nepotis tersebut lahir secara terus menerus hampir tanpa halangan, terstruktur, tersistem dan sangat masif yang boleh saya katakan terjadi di semua lini tata kelola yang berkaitan dengan pemerintahan.
Dalam sejarah kegagalan pencegahan penyimpangan kekuasaan, perilaku korup, kolutif dan nepotis yang selama ini sangat kita nikmati, secara absolut menunjukkan bahwa sistem pencegahan tidak mampu secara efektif mencegah atau mengurangi kegiatan pemufakatan jahat dalam memperoleh keuntungan berupa materi dan non materi dari kejahatannya baik secara berkelompok maupun secara individu pribadi.
Sejarah abuse of power, perilaku koruptif, perilaku kolutif dan perilaku nepotis tersebut bisa kita simpulkan bahwa kita secara berjamaah gagal melakukan pemetaan sedikitnya mengenai;
- Mengapa penyimpangan kekuasaan, perilaku koruptif, perilaku kolutif dan perilaku nepotis tersebut terjadi?
- Kapan, bilamana dan di mana saja perilaku penyimpangan kekuasaan, perilaku korup, perilaku kolutif dan perilaku nepotis terjadi?
- Apa saja yang dapat menekan tindak penyimpangan kekuasaan, tindak koruptif, tindak kolutif dan tindak nepotif tersebut terjadi?
- Rencana sistem pencegahan apa dan yang bagaimana yang mampu menekan penyimpangan kekuasaan, perilaku koruptif, perilaku koruptif dan perilaku nepotis tersebut.
Empat poin tersebut di atas selalu dijawab secara kolosal, baik oleh kalangan civitas akademika, pengamat dan regulator (baik eksekutif, yudikatif maupun legislative) di semua level secara abstrak, misalnya; orasi tuntutan tentang “kejujuran dan moralitas”, padahal mereka semua tahu jika hanya dengan himbauan, orasi dan bahkan teriakan tentang “kejujuran dan moralitas” yang memekakkan telinga, penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme tidak pernah akan bisa dicegah serta akan selalu terulang tiada henti. Sekarang berhenti sejenak, besok korupsi lagi, maling lagi…
Saya tekankan, jangan pernah memetakan penyimpangan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme karena sangat bertentangan dengan tujuan adiluhung dapat fee proyek 10% di muka, membangun rumah mewah, memperoleh tas mahal hermes, sepatu mewah amedeo testoni alligator, beli jeep rubicon serta yang paling penting bisa gagal membiayai istri simpanan.
Sesuai judul diatas tulisan ini hanya akan focus kepada disharmonisasi, rumitisasi, desinkronisasi, malfungsi regulasi, atau kontraksi antar regulasi atau kontradiksi antar regulasi yang dikombinasikan dengan inkompetensi yang sebagian besar saya duga disengaja atau kecil kemungkinan tidak disengaja oleh segenap regulator dilevel tertentu, yang sering sekali menjadi penyebab utama malfungsi birokrasi, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme, contohnya penerbitan 263 HGB didaerah tangerang yang pasti menabrak permen ATR/BPN Nomer 12 tahun tahun 2021 tentang Pertimbangan Tehnis Pertanahan, dan ironisnya menterinya cuman membatalkan 50 SHGB.
Saya mengharap segenap elemen bangsa; entah itu professor sampai tukang kompresor, kalangan civitas akademika yang sampai detik ini terbukti tidak mampu menjawab serta merumuskan tantangan diatas, entah itu segenap regulator penyusun undang-undang dan peraturan dibawahnya hingga tukang regulator kompor gas, entah itu anggota dewan yang mulia sampai segenap rakyat yang mutlak lebih mulia dari anggota dewan yang mulia, untuk tidak hanya koar-koar berorasi, namun sekaligus untuk bersama-sama melakukan koreksi, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, merenung melakukan introspeksi mencari jawaban, minimal memetakan tentang mengapa 4 (empat) pertanyaan mendasar diatas hampir tidak pernah dirumuskan, didefinisikan, digaungkan (bahasa lembut dikoar-koarkan), disosialisasikan kepada publik serta diredaksikan dalam (usulan) sebuah regulasi yang bersifat tegas, memaksa, jelas dan memakai bahasa yang mudah dipahami, minimal terkait dengan kewajiban;
- Jangka waktu tertentu
- Pagar kewenangan tertentu
- Syarat prosedur tertentu
- Target kinerja tertentu perfase tertentu dengan jangka waktu tertentu
- Besaran biaya yang dirumuskan secara baku dengan redaksi tertentu
- Kewajiban untuk melahirkan produk atas kinerja tertentu
- Diumumkan secara terbuka sebagai fungsi dari keterbukaan informasi publik atas kinerjanya dan dijamin dapat diakses oleh seluruh publik
- Serta mutlak disertakan sanksi-sanksi proporsional yang mengikat secara kedinasan baik sanksi administratif, sanksi pidana dan sanksi perdata jika 7 hal diatas tidak dilaksanakan.
Boleh dong saya curiga 8 hal di atas sengaja tidak akan pernah dilahirkan dalam setiap level regulasi karena berbagai tarik-menarik kepentingan yang dimainkan di semua level.
Seperti lingkaran setan, sebuah pertanyaan menarik; bagaimana jika pemetaan malfungsi birokrasi bisa dilakukan jika dugaan kesengajaan dengan tujuan tertentu secara politis terjadi baik berbasis partai, berbasis kekuasaan oligarki atau kekuasaan serta kepentingan lainnya menjadi rahim disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi regulasi. Jawabnya adalah; justru malfungsi birokrasi baik berupa disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi regulasi adalah tujuan mulia kumpulan penjahat budiman berkelamin ganda pelaku abuse of power dalam memuluskan kejahatannya dengan tujuan mengaburkan atau menyamarkan malfungsi birokrasi, contohnya: bupati mengangkat kepala dinas yang tidak mempunyai kompetensi di bidang tusinya yang menerbitkan surat edaran bertentangan dengan regulasi diatasnya dengan tujuan memperlama dan memperpanjang prosedur dan memperumit proses, anehnya kepala dinas tersebut menjabat puluhan tahun, rotasi bolak balik di dinas yang selalu berkaitan dengan misalkan perijinan, dengan back up partai dan bupati sebagai kader sebuah partai. Berbagai proyeknya lari kemana? Wow jangan tanya dinamika setorannya.
Seolah terbukti tidak pernah belajar dari sejarah, kita di-nina-bobo-kan sistem anti penyalahgunaan kekuasaan, anti KKN yang dibangun atas konstruksi pencegahan yang rapuh sekaligus terbukti tidak mampu menjawab tantangan kejahatan tersebut.
Mari kita mulai masuk secara sungguh-sungguh dalam bahasan selanjutnya untuk memitigasi disharmonisasi, rumitisasi dan desinkronisasi yang menjadi penyebab penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, kolusi dan nepotisme.
Bersambung.
[…] Tulisan sebelumnya: Abuse of Power, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Kegagalan Pemetaan Disharmonisasi, Rumitisasi, Desin… […]