Kejamnya Netijen Tak Sekejam Ibukota

Penulis: Dahono Prasetyo

Khusus untuk DKI Jakarta urusan pembangunan, kecepatan respon warganya lebih sigap dari Instagram. Yang katanya begitu diklik langsung dapat gambar hati. Perihal monumen-monumen di pinggir jalan selalu menyimpan kecurigaan, baik sisi desain maupun pembiayaannya.

Yang terbaru cukup membuat jidat berkerut dengan hadirnya sebuah (bukan sepasang) sepatu raksasa di dekat halte BNI Sudirman. Bentuknya futuristik dengan desain dan warna millenial. Bukan sepatu pejabat atau anggota dewan di Senayan. Bukan bertujuan memindahkan industri sepatu Cibaduyut Bandung ke jalan Sudirman, tetapi ibu kota yang kerepotan mencari ide benda apa yang terlihat instagramable untuk lokasi selfie.

-Iklan-

Belum seumur hari, buru-buru sebuah akun memberikan klarifikasi tentang ide dibangunnya ikon satu sepatu kaki kanan di lokasi pusat kota. Bahwa pembangunan pernik hiasan patung tersebut murni sumbangsih dari sebuah lembaga ekonomi kreatif. Tidak meminta sepeserpun dana dari Pemda. Bahkan ada jangka waktunya kapan harus dibongkar layaknya baleho banner iklan yang berganti obyek.

Trauma Pemda DKI terkait pembangunan “mubazir” begitu kuat membekas. Usai jaring hitam anti bau kali, monumen getah getih, trotoar berbunga-bunga hingga yang terakhir jalur sepeda, membuat Pemda dan Gubernurnya selalu kewalahan menyampaikan penjelasan logisnya.

Dipikirnya netijen akan memburu dengan pertanyaan terkait dana pembangunan. Maka sebelum jatuh talak pertanyaan mereka sampaikan penjelasan usai monumen sepatu diresmikan. Daripada dituduh lagi korupsi anggaran, lebih baik buka dulu asal-usul dananya. Layaknya RPTRA di era BTP yang transparan asal usulnya, kali ini proyek yang nol persen memakai uang warga buru-buru dibuka.

Celakanya pertanyaan netijen tidak berhenti pada asal anggarannya.

Mengapa harus sepatu? Mengapa juga hanya sebelah? Apakah ini terkait “Cinderella” yang kemarin sepatu kacanya tertinggal satu masuk got?

Pertanyaan di atas jangan buru-buru dijawab, karena hanya berselang sehari usai monumen sepatu beraroma promosi produk itu diresmikan, sekumpulan seniman mural melakukan aksi “kreatif”. Bermodal cat semprot diperkirakan hanya butuh tak lebih dari setengah jam berhasil melukis sebuah gambar simbol.

Aparat menyebutnya sebagai aksi vandalisme.

Tingkah warga Jakarta protes menyalurkan aspirasi ketidaksukaannya bisa berbagai cara. Aksi grafiti di monumen sepatu di luar dugaan kita yang belum juga habis membahas fenomena kreatifitas Pemda DKI, dikejutkan aksi “kreatifitas” warganya. Mereka yang boleh dikatakan kecewa dengan kebijakan Pemda, namun diacuhkan suaranya, menuangkan kegelisahannya langsung pada obyeknya.

“Pemberontakan” sipil sudah mulai dikobarkan. Mereka yang sudah memutuskan mengambil resiko untuk tidak takut pada sanksi hukum. Menangkap kemudian menghukum pelakunya tidak akan menghentikan aksi solidaritas kegelisahan sesama mereka.

Pemda DKI seharusnya paham situasi di bawah tanah yang sedang bergejolak, namun pura-pura mengabaikan. Atau memang sengaja membiarkan bibit vandalisme itu berkembang dengan cara memberinya alasan untuk berbuat.

Saat hubungan penguasa dan rakyat sedang tidak harmonis, seniman senantiasa menjadi jembatan penengah merapikan komunikasi keduanya. Jika seniman sudah berpihak pada rakyat, itu pertanda sang penguasa yang tuli sudah tidak dipercaya apalagi dibutuhkan.

Inikah yang dibilang anjing menggonggong khafilah masa bodo?

Catatan: Mural di atas disinyalir merupan simbol “anak-anak Boedoet”.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here