Saat ini program pemerintah terkait penulisan sejarah nasional Indonesia semakin mendapat tanggapan luas. Ketika saya pertama kali menulis yang berjudul “Apakah Anda Tahu Pemerintah sedang Menggodok Penulisan Kembali Sejarah Indonesia?”, saat itu sangat jarang yang mengetahui informasi penulisan sejarah ini, bahkan teman-teman sejarawan pun luput mengetahuinya. Syukur tulisan saya tersebut kemudian viral dan mendapat beragam tanggapan di medsos, forum diskusi dan media massa.
Di tengah gemuruh respon masyarakat ini, sayangnya respon pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan, diluar dugaan. Pejabat Kementerian Kebudayaan, sebagaimana beredar luas di media massa, menyatakan bahwa yang menolak proyek pemerintah ini sebagai “radikal dan sesat”.
Awalnya saya pikir akan menghabiskan energi jika memberi respon. Tetapi jika dibiarkan hal ini bisa terulang dan tidak ada pembelajaran.
Kita mesti menolak klaim sejarah resmi yang ingin ditulis oleh pemerintah. Bukan sekedar menolak, tetapi saya dan kawan-kawan dari kelompok masyarakat sipil sudah menyampaikan sederet alasan, sebagaimana kami sudah sampaikan juga kepada anggota DPR RI dan kepada khalayak.
Dapat kita lihat, dalam ungkapan “radikal dan sesat” sebagaimana disampaikan itu, tidak tercermin nilai rasa bahasa. Dan tidak ada pula ada nilai budaya, yang ironisnya dilontarkan oleh perwakilan Kementerian Kebudayaan. Dan yang paling memprihatinkan adalah dimensi kekerasan simbolik dan pembungkaman terhadap suara masyarakat.
Pertama, mari kita lihat dari rasa bahasa. Rasa Bahasa adalah kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa sesuai dengan konteks dengan mempertimbangkan nuansa, pilihan ekspresi, konotasi, dan implikasi dari kata atau bahasa yang digunakan.
Dilihat dari rasa bahasanya, ungkapan “radikal dan sesat”, yang dilontarkan oleh perwakilan Kementerian Kebudayaan, nilai rasa bahasanya membuat termangu dan tergugu. Saya dan kawan-kawan yang mempertanyakan proyek pemerintah ini hanya menyatakan “menolak”. Sebuah kata dengan rasa bahasa netral dan lugas. Tudingan “radikal dan sesat” tidak setara dengan ungkapan “menolak”. Seorang anak yang menolak keinginan orangtuanya, misalnya, apakah pantas kemudian dibalas dengan mengatakan anak tersebut sebagai “sesat”, “radikal” dan serangkaian ungkapan serupa? Menolak adalah sebuah ekspresi sikap. Sedangkan kata “radikal” dan “sesat’ merupakan sebuah kata yang sarat tuduhan, prasangka, pengabaian, pemojokan, framing dan penjatuhan.
Kedua, saat yang bersangkutan menyatakan masyarakat yang berbeda pandangan sebagai radikal dan sesat, itu merupakan pendapat sebagai pejabat pemerintah. Sangat disayangkan Kementerian yang menyandang nama “Kebudayaan” tidak mencerminkan cara-cara yang berbudaya. Padahal beliau adalah seorang pejabat Kebudayaan. Budaya itu bukan hanya warisan artefak dan macam-macam kesenian. Budaya itu juga melingkupi nilai-nilai, norma, bahasa dan praktik-praktik luhur. Semestinya tercermin dalam tutur kata, sikap dan prilaku elit-elitnya.
Ketiga, blaming, judging dan labelling sebagai ‘radikal dan sesat” adalah penanda bahwa diskusi sehat dan jujur mungkin akan sulit dilakukan. Bagaimana berharap ada diskusi yang terbuka dengan tujuan pencarian kebenaran jika diawali dengan prasangka. Selanjutnya, apakah label semacam “radikal dan sesat’ akan digunakan juga untuk menilai peristiwa-peristiwa sejarah yang sedang dikerjakan oleh Kementerian Kebudayaan? Apakah akan dilabellkan “radikal dan sesat” bagi mereka dalam sejarah yang berbeda haluan dengan kepentingan penulisan sejarah nasional Indonesia yang sedang dikerjakan?
Keempat, dan ini sangat penting, agresivitas lewat stigma dan pelabelan seperti peyebutan “radikal dan sesat” oleh perwakilan Kementerian Kebudayaan adalah apa yang disebut oleh Pierre Bourdieu, seorang filsuf dan sosiolog Perancis abad 20, sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik menurut Bourdieu adalah cara-cara yang diambil oleh mereka yang memiliki kekuasaan melalui pengunaan struktur kekuasaan dan dominasi terhadap individu atau kelompok melalui wacana, bahasa, budaya, atau praktik sosial, dimana cara-cara ini dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan atau dominasi dalam masyarakat. Dalam hal ini kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah terhadap masyarakat sipil.
Kekerasan simbolik dengan pemberian stigma adalah juga merupakan cara yang biasa dilakukan untuk tujuan pembungkaman. Kenyataan ini membuat saya menjadi berpikir, jika kami yang termasuk orang-orang yang “bisa bersuara” dengan mudahnya dapat diberikan label dan stigma seperti itu, bagaimana dengan mereka yang disebut Gayatri Spivak, filsuf perempuan abad 20, sebagai “kaum subaltern”, kaum yang tidak bisa bersuara”. Kaum yang terpinggirkan dan tidak didengar dalam pusaran sejarah dan peradaban. Dimana ruang pengakuan untuk rakyat jelata, orang-orang kecil, akar rumput, kelompok minoritas, kelompok yang tidak berdaya secara ekonomi, politik atau sosial dalam perjalanan sejarah bangsa ini? Apakah mereka akan dikenali dalam penulisan sejarah ini, saat yang dapat bersuara saja tidak dianggap?
Pande K. Trimayuni,
333pande@gmail.com
Ketua Senat FISIP Universitas Indonesia, 1998/1999
SEKJEN, Ikatan Cendekiawan Hindu Indonesia (ICHI)
Baca juga:
Apakah Anda Tahu Pemerintah sedang Menggodok Penulisan Kembali Sejarah Indonesia?