Penulis: Nurul Azizah
Sebuah pesan singkat melalui WhatsApp dari Prof Henri Subiakto pakar hukum komunikasi Unair Surabaya yang ditujukan ke penulis, “Negeri ini tidak punya kedaulatan digital. Negeri yang tidak bisa menegakkan hukum yang kejahatannya luar biasa di dunia maya, dunia internet.”
Selanjutnya beliau bertutur, “Saya teriak sendirian.”

Memang benar apa yang disampaikan oleh Prof Henri Subiakto bahwa di era globalisasi dan digital ini banyak masyarakat memiliki akun media sosial entah itu WhatsApp, messenger, Tik Tok, Facebook, IG, X, dan lain-lain. Rakyat Indonesia ramai-ramai posting dan komunikasi dengan sesama teman-teman di dunia maya. Tanpa mereka sadari dibalik maraknya penggunaan akun media sosial, ada penjahat cyber crime yang siap mencari mangsa. Mereka penjahat dan perampok yang setiap detik, menit, jam dan hari selalu melemparkan umpan. Ibarat memancing dan menunggu mangsa agar memakan umpannya. Pasti setiap umpan yang sengaja disebar oleh perampok di semua aplikasi media sosial dan aplikasi keuangan yang ada di dunia maya.
Masyarakat yang lengah sedikit akan terkena umpan dan selanjutnya menjadi korban penipuan dan perampokan. Dana atau uang tunai ratusan ribu hingga ratusan juta bahkan miliaran rupiah hilang diambil perampok melalui internet di dunia maya. Yang penulis sampaikan ini fakta tidak omong kosong. Kalau sudah tertipu kemudian lapor ke pihak kepolisian terutama ke bagian Direktorat Reserse Kriminal Khusus kejahatan “Penipuan Melalui Media Online” hanya sekedar laporan kemudian dibuatkan berita acara pemeriksaan dan selanjutnya pelapor atau korban disuruh menunggu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun tidak ada tindakan selanjutnya.
Karena ya pihak Ditreskrimsus tidak bisa melacak nomor WhatsApp, messenger atau akun media sosial tersebut. Karena nomor WhatsApp dan akun medsos menggunakan nama samaran dan data pribadi perampok tidak ada di nomor WA tersebut. Para perampok tidak mencantumkan nomor telepon resmi, nomor induk kependudukan dan alamat asli. Semua data pribadi perampok memakai nama dan identitas palsu. Bahkan mengatasnamakan artis atau ustadz terkenal dan semua data pribadi pesohor negeri ini disadap oleh perampok. Korban tahunya telah dihubungi oleh selebgram, artis atau pesohor negeri ini, eh tidak tahunya penggunaan nama pesohor hanya untuk mengelabuhi korban. Perampok menawarkan kerja sama bisnis dengan bagi hasil yang menggiurkan atau menawarkan hadiah yang fantastis dengan bermodal rayuan maut si korban masuk perangkapnya dan disitulah penjahat mulai beraksi untuk menguras harta benda korban sebanyak-banyaknya.
Hal inilah yang selalu disuarakan oleh Prof Henri agar negara hadir untuk melindungi data-data pribadi penduduknya yang ada di media sosial.
Pemerintah dalam hal ini kementerian komunikasi dan digital (Komdigi) mengawasi laman judi online, mengawasi prostitusi online, game online, platform medsos Facebook, WhatsApp, messenger, Tik Tok, Instagram, X dan lainnya. Komdigi seharusnya mau dan mampu memblokir laman-laman yang telah disalahgunakan oleh penjahat cyber crime untuk mendapatkan keuntungan dari ketidakmampuan korban melindungi data-data di dunia maya, sehingga banyak korban berjatuhan. Mereka tidak mendapatkan keadilan dan perlindungan. Jangankan keadilan, mengharapkan kembalinya uangpun hanya mimpi di siang bolong.
Menurut Prof Henri pemerintah sulit memberantas judi online, penipuan online dan semua kejahatan yang dilakukan di dunia maya. Ya karena pihak Komdigi tidak mampu untuk menepis dan men-take down konten-konten yang digunakan oleh perampok untuk menjerat para korbannya. Padahal Undang-undang nomor 19 tahun 2016 UU ITE Revisi 1 pasal 40 ayat 2A berbunyi: “Pemerintah wajib mencegah peredaran informasi elektronik yang muatannya melanggar Undang-undang.”
Judi online, penipuan online dan kegiatan lain yang melanggar UU ITE wajib dicegah dan wajib diblokir. Dan pelaku penipuan online harus dikejar oleh pihak berwajib. Itu merupakan suatu kewajiban dan kewenangan dari Komdigi.
Tapi nyatanya Komdigi dan pihak-pihak di bawahnya tidak mampu melindungi data-data pribadi pemakai medsos. Selain itu Komdigi tidak bisa melacak data-data pribadi perampok yang telah melakukan kejahatan di dunia maya.
Pejabat negara tidak bekerja secara maksimal, hanya sekedar menduduki jabatan dan tidak bisa bekerja secara profesional dan maksimal untuk melindungi rakyat yang benar-benar membutuhkan keadilan. Rakyat dibiarkan sendiri bersuara dan mencari ke sana sini untuk mendapatkan perlindungan hukum. Yang didapat hanya kesedihan yang mendalam, uang sudah habis terkuras oleh perampok, lapor ke pihak kepolisian hanya suatu yang sia-sia. Karena pihak kepolisian tidak punya kewenangan dan hak yang dimiliki oleh Komdigi. Yaitu memblokir situs-situs judi online dan akun-akun bodong yang digunakan untuk penipuan dan menguras harta korban.
Kepada Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Komunikasi dan Digital tolong bantu Prof Henri Subiakto dalam menyuarakan “Kedaulatan Digital.” Pak Prabowo Subianto sebagai presiden bersama Komdigi harus mampu membuat kebijakan dan regulasi yang memperkuat kedaulatan digital. Tentunya kedaulatan digital ini dimiliki oleh negara lewat pengembangan platform medsos sendiri milik perusahaan Indonesia, agar data warga negara bisa lebih aman terlindungi.
Presiden dan Komdigi harus memiliki misi dan visi bagaimana pemerintah ke depan mampu melindungi data-data pribadi penduduknya di dunia online. Mampu melindungi uang warganya yang ada di rekening bank agar tidak mudah dibobol oleh perampok melalui kecanggihan teknologi.
Presiden dan Komdigi harus mampu memiliki pemikiran untuk membuat regulasi baru terkait dengan perkembangan teknologi terkini dan mampu pula menyelesaikan persoalan-persoalan kedaulatan digital di negeri ini.
Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Komunikasi dan Digital tolong bantu Prof Henri Subiakto menyuarakan sendiri tentang “Kedaulatan Digital.” Bantu dan wujudkan impian dari Prof Henri agar rakyat Indonesia terlindungi data-data pribadi dan tidak mudah terkena penipuan online.
Rakyat terus diedukasi tentang pemakaian media sosial yang benar dan aman, sementara penjahat dan perampok di media sosial dibiarkan dan merajalela. Terus kapan kedaulatan digital di negeri ini terwujud?
Nurul Azizah penulis buku Muslimat NU Militan Untuk NKRI.
