Profesionalitas Tukang Becak di Kota Tua Jepang

Penulis: Lutfi Bakhtiyar

Kemarin gowes ke Asakusa (Tokyo), lumayan sekali jalan 25 km, kota tua di Tokyo, Jepang 秋 (aki:musim gugur), udara sejuk cenderung dingin. Alhamdulillah, meski gowes dari pagi hingga siang, kulit tidak terbakar.

Sebuah 人力車(jin riki sya:Becak Jepang), melintas dengan Mbak-mbak penumpang di atasnya. Sepertinya jomblo ngenes pantas cucok menjadi tukang becak sebagai modus. Biasanya laki-laki Indonesia, lemah di hadapan “para dewi.”

-Iklan-

Kelemahan sekaligus kekuatan yang selalu membuat Mbak-mbak Jepang jatuh hati.

Akan tetapi tidak mudah lho bekerja di sini. Bedakan dengan tukang becak Indonesia yang tuwir-kumuh-dekil plus cuma tiduran di becaknya, kalaupun gerak paling teriak-teriak memanggil penumpang. Para 東京力車(Tokyo rikisha: Becak Tokyo), didominasi kaum イケメン(ikemen: gacoan). Meski ditulis dalam huruf kata kana tetapi “ikemen” ini tidak ada di dalam kamus bahasa asing.

イケ (ike) berasal dari kara 行ける(ikeru:cocok), sedang メン(men) diambil dari kata メンス(mensu:gentlemen). Orang jepang memang gemar mengkawin paksa kata-kata. Gara-gara urusan beginian saya pernah teler, gelut sama kamus.

Etos kerja Jepang selalu mengajari kita agar bersungguh-sungguh dalam bekerja, bukan malah merendahkan sebuah profesi sedang dia sendiri nganggur. Bagi orang Jepang, pekerjaan adalah jalan hidup mengejajar prestasi dan eksistensi. Orang akan dihormati karena keprofesionalitasannya.

Di 雷門(kaminari mon: Thunder Gate), pintu masuk 浅草寺(senseouji: Wihara Asakusa), para tukang becak berkumpul dengan kaos putih tertutup apron, model emak-emah mo masak. Mereka menyapa pelanggan dengan ramah sambil menawarkan jasa pengambilan foto gratisan.

Kota Tua Asakusa, Jepang. Photo by Lutfi Bakhtiyar

Kali ini saya tidak masuk ke Sensouji karena harus melewati 仲見世商店街(naka mise shoutengai: pasar) yang jalannya padat. Konsepnya sangat bagus. Orang foto-foto di kaminari mon, belanja, baru ibadah….

Tari Asakusa kita bisa melihat tempat parkir becak, harganya juga tercantum di sana model ojek pengkolan. Di seberang 隅田川(Sumida gawa:Sungai Sumida), terdapat “tai emas,” sebenarnya menggambarkan buih bir, landmark perusahaan minuman. Tidak jauh dari itu Sky Three terlihat tinggi menjulang. Dari Asakusa, pemandangan sky Three terlihat paling indah jika terlalu dekat malah susah. Lagi-lagi di sini ada tukang becak yang menawarkan jasa.

Menyenangkan badan tidak harus wah, cukup gowes sambil mencari yang seger-seger. Insya Allah, dunia mulai menunjukkan kembali titik keseimbangan.

Tidak ada yang patut diratapi dari corona, bila ia didatangkan sebagai ujian agar kita selalu menjaga kesehatan dan berfikir mengikuti perkembangan zaman.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here