Dunia Pendidikan Indonesia Berterima Kasih Pada Pandemi Covid-19

Penulis: Erika Ebener

Prof. Renald Kasali mengungkapkan pandangannya tentang ledakan kreativitas. Salah satunya membahas tentang manusia-manusia cerdas yang non-degree. Katanya, celakalah orang yang berpikir baru menjadi manusia yang berilmu kalau sudah pergi ke Pendidikan tinggi dan memperoleh gelar. Dan dari durasi 7 menit 32 detik Prof Renald Kasali bicara, saya hanya melihat satu kata kunci mengapa Prof Renald Kasali bisa berbicara demikian. Apa itu? Yaitu kalimat: “Selama masa pandemi…”. Pandemi apa lagi kalau bukan pandemi Covid-19.

Tanggal 2 Maret 2022 nanti, pandemi Covid-19 akan berulang tahun yang ke-2 di Indonesia. Selama hampir 2 tahun ini banyak ‘kebudayaan’ yang dipaksa harus berubah. Dari sekian budaya yang berubah itu, salah satunya adalah budaya Pendidikan kita.

Dari budaya yang konservatif dipaksa harus mengadopsi budaya yang modern. Selain pasar, tempat umum pertama yang sangat terimbas oleh munculnya pandemi covid-19 adalah sekolah. Hampir semua, bahkan seluruh sekolah di dunia secara serentak dinyatakan dihentikan demi memangkas rantai penyebaran virus yang mematikan. Manusia di seluruh dunia dipaksa untuk mengubah kebiasaan kesehariannya.

-Iklan-

Hingga tahun pertama berlalu, pemerintah terus mengupayakan agar Pendidikan anak bangsa tidak terputus di tengah gencarnya serangan virus korona. Tak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali mulai menerapkan system sekolah dari rumah secara online. Padahal dulu pun system Pendidikan online ini sudah mulai dikenalkan oleh pemerintah Indonesia, namun penolakan terjadi di mana-mana. Berbagai macam alasan disajikan. Mulai dari minimalnya fasilitas hingga tak sanggupnya membeli pulsa internet. Sistem TIK atau Teknologi Informasi berbasis computer yang bisa dilakukan di tingkat administrasi saja. Hanya sekolah-sekolah swasta yang bayarannya mahal yang baru mampu menyelenggarakan Pendidikan berbasis TIK.

Tapi dengan munculnya pandemi covid-19, masyarakat benar-benar tak diberi pilihan. Itupun pada awalnya mendapatkan penentangan dengan alasan bermacam-macam, mulai dari alaan tak semua siswa memiliki gadget hingga fakir kuota. Tapi masuk ke tahun kedua, kekeraskepalaan masyarakat mulai meleleh. Semua sekolah tak bisa lagi menghindar dari kewajiban memberikan Pendidikan secara online. Yang muncul kemudian adalah sindiran-sindiran dari pihak orangtua yang tidak terbiasa harus mendampingi dan membantu anak selama bersekolah online.

Dunia Pendidikan Indonesia wajib berterima kasih pada pandemi covid-19 yang telah berhasil memaksa penduduknya yang lebay dan malas untuk merangkul teknologi dan berlari mengejar ketinggalan dalam berpendidikan.

Dalam waktu 2 tahun, pencapaian kemajuan budaya Pendidikan sangat melesat. Pekerjaan mengenalkan, mensosialisasikan, menerapkan dan menggunakan teknologi sebagai basis utama Pendidikan yang selama bertahun-tahun terus diupayakan, seakan diambil alih oleh pandemi covid-19.

Di sisi lain, seperti yang Prof Renald Kasali katakan, selama masa pandemi, banyak bermunculan orang-orang yang non-degree yang justru merasakan keuntungan. Perpaduan antara teknologi dan keadaan membuat para orang non degree bermunculan menjadi selebriti dunia maya.

Pandemi covid-19 tidak hanya memunculkan orang-orang non-degree yang cemerlang, tetapi juga sudah membongkar education boundaries. Sekolah-sekolah di seluruh dunia bersaing di tempat yang sama dalam waktu yang bersamaan. Anak bisa menjadi siswa sekolah bagus di Jakarta bahkan di Singapura dari rumah mereka tanpa harus pindah dan tinggal di Jakarta atau tinggal di Singapura. Persaingan sekolah semakin terbuka. Tantangan berat bagi sekolah formal menganga, termasuk sekolah negeri, yang dikenal menerapkan budaya konservatif. Teknologi telah benar-benar mendapatkan keuntungan yang maksimal dari pandemi covid-19.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here